Untunglah ada marka jalan bertakik di sepanjang bahu jalan, karena Tim Samaras tidak dapat terus memperhatikan jalan.
Saat itu musim panas dan dia mengendarai mobil pikap Denali hitam besar yang penyok-penyok bekas hujan es batu. Mobil ini menarik sebuah trailer berukuran lima meter yang dilengkapi kamera berkecepatan tinggi dan peralatan elektronik lainnya. Sebuah komputer jinjing dipasang di sisi kanan kemudi, dan dengan satu tangan di kemudi dan satunya lagi di tombol bola gulir, Samaras memperhatikan sebuah peta radar cuaca di Oklahoma Panhandle. Sekumpulan warna—merah di tengah dikelilingi lapisan jingga, kuning, hijau dan biru—menunjukkan sebuah badai kilat yang sedang terbentuk di timur laut kota Boise.
“Beberapa petir hebat mulai terjadi,” katanya, ketika melihat beberapa silang kuning kecil di radar. Dia kembali melihat komputernya, di mana sebuah jendela sedang menelusuri posisi kami dengan GPS. Lalu terdengar suara roda beradu marka jalan yang bertakik, dan dia dengan tenang mengarahkan laboratorium berjalan ini kembali pada jalurnya.
Bersama serangga yang kerap menabrak kaca mobil dan retakan kaca yang perlahan semakin membesar, kami melewati kota Boise, mengikuti badai bergerak ke timur ke arah Guymon. Di depan kami, awan berbentuk kembang kol. Pertanda klasik adanya aliran naik udara hangat dan basah yang memisahkan butiran air bertenaga negatif dan partikel es bertenaga positif (tak ada yang tahu dengan pasti bagaimana). Lalu, menciptakan potensi berjuta voltase—seperti yang baru saja meledak di langit di hadapan kami.
“Apakah kamu barusan melihat serangan tadi?” tanya Samaras. Lalu, datang serangan berikutnya, dan berikutnya. Dia menahan kacamata bacanya dengan gigi, yang dipakai ketika melihat radar, namun dilepasnya ketika melihat ke jalan. “Apakah kamu melihat bagaimana badai itu berpusat tepat di sana? Itulah yang kita inginkan.”!break!
Kilatan terjadi setiap beberapa detik sekali, dan truk itu lagi dan lagi melaju keluar jalur. Namun ketika dia mulai mencari lokasi untuk berhenti, gumpalan warna di radar mulai menyusut. Samaras menambah kecepatan, tetapi ketika kami sampai di Guymon, 95 kilometer sesudahnya, matahari mulai muncul, dan pela-ngi membusur di langit.
“Ketika kamu melihat pelangi, habislah sudah,” katanya.“Sudah selesai. Saya tidak percaya ini.” Akan tetapi, keberuntungannya baru dimulai pukul 6 sore. Radar menunjukkan sebuah gumpalan terbentuk di atas Kansas bagian selatan, 130 kilometer jauhnya.
Akhir musim panas merupakan musim badai guntur di bagian negara ini. Sejak 2006, Samaras mencoba melakukan hal yang tidak mungkin: menangkap imaji serangan petir ketika momen itu terjadi. Umumnya, proses itu dimulai saat sebuah listrik bermuatan negatif turun secara zigzag—disebut stepped leader—bergerak dari awan ke tanah. Ketika cukup dekat, bagian positif akan naik dari bumi. Ketika keduanya bertemu, sebuah arus dahsyat—misalnya 30.000 amper pada sepertiga kecepatan cahaya—melompat ke langit. Kilatan cahaya “serangan balasan” ini adalah apa yang Anda lihat dengan mata telanjang, yang sering diinterpretasikan se-bagai gerakan ke bawah. Dari awal hingga akhir, keseluruhan proses ini hanya butuh waktu 200 milidetik.
Di dalam trailer Samaras ada dua Phantom, kamera berkecepatan tinggi yang mampu memotret 10.000 gambar per detik. Perangkat tersebut memungkinkannya mengambil gambar video gerak lambat nan mencengangkan yang memuat detail pergerakan stepped leader dan sesekali aliran arus naik. Namun, ketika keduanya terhubung—menginisiasi proses tautan—kilatan cahaya dari serangan balik membutakan kamera, memusnahkan detail. Para ilmuwan sangat ingin mengintip di balik layar dan melihat rentetan kejadian, dengan serangan balik yang melesat seperti roket dari daratan.
Gambar-gambar ini mungkin menyimpan petunjuk dari misteri terbesar petir. Mengapa petir kadang-kadang menyambar pohon pendek padahal di sampingnya ada menara besi tinggi? Dan, pertanyaan mendasar, mengapa petir menyambar? Berdasarkan intensitasnya, tegangan voltase yang dihasilkan dalam awan badai tidak cukup kuat untuk mengalahkan daya insulasi udara. Beberapa faktor ekstra diperlukan, dan sebuah gambar dari proses tautan mungkin menyarankan sebuah jawaban. Menguak tabir ini membutuhkan sebuah kamera khusus yang mampu menangkap lebih dari sejuta gambar beresolusi tinggi per detik. Hanya ada satu kamera seperti itu, dan itu juga tersedia di dalam trailer milik Samaras.!break!
Berbobot 725 kilogram dengan tinggi 1,8 meter ketika ditegakkan, kamera itu merupakan peninggalan Perang Dingin. Awalnya digunakan untuk memfilmkan tes nuklir di atas daratan. Pertama kali Samaras melihatnya pada 1980, tatkala dia bekerja di University of Denver Research Insitute.
Instrumen raksasa itu merupakan contoh kehebatan teknologi analog. Cahaya memasuki lensa utama dan akan menabrak cermin tiga sisi di tengah sebuah turbin yang digerakkan oleh udara tekan atau, untuk kecepatan sangat tinggi, helium. Berputar secepat 6.000 putaran per detik, cermin akan menyapukan cahaya ke arah lensa 82 buah kamera film 35 milimeter, yang terpasang bersisian mengelilingi bingkai. Hasilnya adalah urutan gambar-gambar yang berjarak kurang dari sepersejuta detik.
Pekerjaan Samaras mempelajari ledakan konvensional, dan dia menjadi penjaga kamera raksasa, mempelajari keunikannya, memperbaikinya ketika rusak. Dua puluh lima tahun kemudian, ketika ia mendengar bahwa kamera tersebut dilelang karena tidak dibutuhkan lagi oleh pemerintah, dia memasang taruhan dan memenangkannya pada 600 dolar Amerika Serikat—beda tipis dengan harga rongsokan aluminium. Nama sebenarnya adalah Beckman & Whitley 192. Samaras memanggilnya Kahuna.
Dengan bantuan pendanaan dari National Geographic, Samaras memodifikasinya. Dia mengganti teknologi film dengan sensor digital yang sangat sensitif didesain untuk eksplorasi angkasa luar dan menambah peranti lunak dan sirkuit yang dirancang khusus. Bagaimanapun modifikasinya, sebuah instrumen berbobot hampir satu ton memiliki beberapa kelemahan. Selain kekurangannya dalam bermanuver, Kahuna yang sangat cepat di sisi lain juga sangat lambat. Setiap kali ingin mengambil gambar berkecepatan sangat tinggi, harus menunggu turbin berputar sekitar sepuluh detik. Lalu hanya punya waktu semenit sebelum kecepatan turbin menurun supaya tidak kepanasan. Jika cukup beruntung mendapat gambar, diperlukan dua puluh menit untuk mengunduh data 1,8 gigabit untuk melihat apa yang didapatkan. Baru setelahnya bisa mencoba lagi.
Dengan kata lain, Samaras membutuhkan badai statis yang menghasilkan petir berulang kali, tepat di mana kameranya diarahkan. Beberapa orang berpendapat tidak ada kemungkinan sukses. Ada beberapa fasilitas pe-nelitian yang dapat mengurangi beberapa variabel dengan menempatkan Kahuna pada petir yang dipicu dengan menembakkan roket ke dalam awan badai. Namun, Samaras tidak mengingin-kan petir buatan.!break!
Dia sudah terbiasa mendengar ocehan orang-orang yang berkata bahwa apa yang dia coba tidak akan berhasil. Sebelum terobsesi dengan petir, dia menghabiskan beberapa tahun mengejar tornado. Dia telah mendesain percobaan elektronik, memasang video kamera dan peralatan lainnya, yang diletakkan di area yang kemungkinan menjadi jalur tornado agar ia bisa merekam bentuknya dan merasakan berada di dalamnya. Orang-orang juga ragu tentang hal itu. Namun, dia berhasil mengumpulkan beberapa rekaman paling akurat dari kecepatan angin, tekanan udara, temperatur, kelembapan—faktor-faktor yang menghasilkan terowongan angin yang dahsyat.
Berharap dapat menangkap badai, kami melewati Liberal, Kansas, dan langsung ke utara menuju Sublette. Sekumpulan awan hitam sedang terbentuk. Ketika matahari terbenam, bagian atas awan mendingin. Hal itu berarti lebih banyak aliran naik, pemisahan antara partikel bertenaga negatif dan positif, dan lebih banyak petir. Ketika kami menepi, badai menjadi sa---n-gat kencang dan menjadi tornado kecil. Tornado dengan cepat menghilang, dan menjadi pertunjukan petir yang spektakuler. Dua kilat panjang membelah angkasa seperti huruf X yang dialiri listrik, disusul dengan rentetan serangan ke tanah. Samaras menyalakan generator bensin, dan hiduplah peralatan di dalam trailer. Layar-layar pada dinding menampilkan informasi cuaca, dan sebuah suara elektronik—Nona Petir, saya memanggilnya—mengumumkan jarak se-rangan: “17 mil, 15 mil, 11 mil.” Kemudian dia memperingatkan: “Medan listrik sangat tinggi.”
“Pengukur medan listrik menggila,” Samaras mengobservasi. Sebuah sensor yang dipasang pada lapisan luar trailer mengukur tenaga atmosfer pada sepuluh kilovolt per meter dan terus meningkat, berarti sangat berbahaya untuk berada di luar. Dua Phantom di trailer mulai bekerja, menangkap imaji milidetik sebelum dan sesudah kilatan petir. Kilat menggelegar di atas kami. Namun, selama hiruk pikuk berlangsung, Kahuna membisu off-line. Kondisinya tidak memungkinkan untuk memotret.
pada akhir pekan Hari Buruh, menuju akhir musim, saya bertemu dengan Samaras di jalan raya I-25 di Belen, New Mexico. Dia dan krunya telah menempuh lebih dari 16.000 kilometer melalui enam negara bagian, mengumpulkan ratusan megabit data dari Phantom—namun dengan Kahuna hanya sedikit yang bagus.
Hanya dengan dua hari tersisa dari ekspedisi musim panas, kami mengikuti serangkaian badai di utara Pegunungan Magdalena. Di pertengahan sore hari kami parkir, secara tidak sengaja, tepat di seberang belokan me-nuju Langmuir Laboratory for Atmosphere Research—sebuah tempat utama untuk belajar petir yang dipicu roket. Badai menggelayut di atas pegunungan seperti berpose untuk difoto, mengeluarkan petir dari kejauhan. Seekor sapi berdiri di sisi seberang jalan melihat kami dengan curiga. Menggunakan binatang tersebut sebagai titik referensi, Samaras menyalakan turbin dan mengambil arah. Langit berkilat, Kahuna menjepret, dan proses panjang unduh data dimulai.!break!
Lalu, ketika kamera off-line, ada petir yang lebih bagus lagi—kali ini tepat mengarah ke sapi. Tidak yakin dengan jepretan pertama, Samaras membuat keputusan kilat untuk menghentikan unduh dan mencoba lagi. Kesempatan tidak pernah datang. Dia tidak akan pernah tahu apakah usaha pertama berhasil mendapatkan imaji proses tautan atau sekadar siluet buram seekor sapi.
Ketika saya bertemu Samaras lagi, dua tahun kemudian, dia akhirnya dengan segan memutuskan mencoba sesuatu yang dia pikir curang: mengarahkan kameranya pada petir yang di-picu roket. Dengan sebuah truk pikap baru dan Kahuna yang lebih canggih, dia dan kru telah menghabiskan dua minggu untuk mengikuti badai sepanjang kawasan Barat Daya. Sekarang dia sedang mendaki perlahan laboratorium Langmuir di atas gunung.
Langmuir didirikan pada 1963 oleh New Mexico Institute of Mining and Technology di Socorro. Laboratorium itu berada di jalur kelembapan pergantian musim yang mengalir dari selatan setiap musim panas. Berlindung dalam bungker yang dinamakan Kiva, di puncak Baldy Selatan, seorang peneliti meluncurkan roket dari jauh, yang terhubung dengan kawat panjang, menuju awan badai bertenaga besar. Rekan-rekannya merekam serangan petir itu dengan sebuah Phantom dan instrumen lainnya di dalam sebuah gedung yang disebut Annex, berjarak satu setengah kilometer.
Bill Winn, kepala laboratorium, terlihat skeptis terhadap cara Samaras ketika Samaras sedang pergi memicu petir. (“Bukankah dia hanya tertarik pada gambar yang indah?” Winn bertanya kepada saya sebelumnya.) Namun kedua pria tersebut saling bersapa akrab.
“Anda seharusnya berada di sini hari ini,” kata Winn. “Kami mendapat tiga serangan.”!break!
“Pantas saja,” kata Samaras. Salah satu ilmuwan menjelaskan bahwa saat kondisinya tepat, sebuah roket akan dinyalakan dan hitung mundur lima-detik akan dimulai. Samaras tampak khawatir karena Kahuna butuh sepuluh detik untuk berputar. Dia harus menjaga turbin berputar perlahan untuk mencegah kepanasan, kemudian mempercepatnya tatkala hitungan mundur dimulai.
Keesokan hari, sayangnya udara tenang. Namun, badai di hari ketiga membuat penantian tidak sia-sia. Pada siang hari, tujuh gumpalan dengan pusat warna merah terlihat di radar. Pukul tiga, hujan semakin deras dan deras. Kami kembali ke dalam trailer dan mengamati keadaan. Guntur, petir—kemudian panggilan radio: “Kiva menyalakan roket.” Kini sebuah badai memiliki pusat berwarna ungu, paling dahsyat. Pita-pita berwarna merah dan jingga terpampang di depan layar kami.
Ketika kru Langmuir menonton dari Annex yang aman, saya berkerumun di lantai trailer, bergantian memperhatikan cuaca di luar dan penggambaran abstraknya di radar. Angin mengayunkan kami ke depan dan belakang. Jika bukan karena Kahuna yang berat dan kokoh, saya berpikir trailer mungkin bakal melayang. Radio bersuara kembali, Kiva meminta jeda waktu penyalaan roket, dan Samaras kembali menyalakan turbin. Kemudian, “Kiva meluncur dalam lima detik.” Dia menambah kecepatan, sementara di langit atas kami sebuah roket melesat, jejak ekor panjangnya cepat menguap karena petir.
Namun, itu semua terjadi sangat cepat. Se-pe-rti yang ditakutkan Samaras, jeda waktu lima detik terlalu pendek. Selama satu jam ke depan Kiva meluncurkan lima roket lagi dan memicu tiga petir. Meskipun demikian Kahuna belum siap pada waktunya.
Samaras meninggalkan pegunungan dengan beberapa imaji indah dari Phantom. Namun sekali lagi, tanpa hasil jepretan yang sudah lama ditunggu.“Saya masih mengejar imaji itu,” katanya kepada saya. “Dan, saya tidak akan berhenti sampai berhasil.”