Emas Tibet

By , Senin, 23 Juli 2012 | 12:38 WIB

Benda yang dicari OLEH Silang sambil merangkak di tanah, 4.700 meter di atas permukaan laut di Dataran Tinggi Tibet, sungguh ajaib.

Bagian yang berada di atas tanah berupa jamur kecil tanpa tudung. Hanya batang cokelat sekecil korek api, mencuat beberapa sentimeter di tanah becek. Sebelas jam sehari, dari awal Mei sampai akhir Juni, Silang Yangpi dan istrinya serta serombongan besar kerabat dan temannya merangkak di lereng gunung yang curam. Mereka mengais semak, ranting, bunga liar, dan rumput, mencari jamur kecil yang sulit ditemui.

Ketika Silang menemukannya, dia berteriak kegirangan. Istrinya, Yangjin Namo, bergegas menghampiri. Dengan sekop kecil, Silang menggali sekeliling batang itu dan secara hati-hati mengangkat tanahnya. Dia menyikat kotoran yang menempel. Di telapak tangannya ada sesuatu mirip ulat berwarna kuning terang. Mati. Di kepalanya menempel jamur cokelat pipih. Dari sakunya, Silang mengeluarkan kantong plastik merah. Dia memasukkan temuannya, lalu dengan hati-hati melipat kantong itu. Silang berusia 25 tahun; istrinya 21 tahun. Mereka punya seorang bayi perempuan. Jamur ulat adalah sumber sebagian besar pendapatan tahunan mereka.

Di seantero Dataran Tinggi Tibet, jamur ulat ini mengubah ekonomi pedesaan. Jamur ini memicu demam emas modern. Bahkan, saat Silang tiba di toko-toko yang gemerlap di Beijing, isi kantongnya bisa laku keras dengan harga lebih dari dua kali lipat emas dengan berat yang sama.

Jamur ini bernama yartsa gunbu. Nama dalam bahasa Tibet ini berarti “rumput musim panas, ulat musim dingin”, sekalipun secara teknis makhluk ini bukan rumput atau ulat. Makhluk ini sebenarnya larva beberapa jenis ngengat hantu yang hidup di dalam tanah dan terinfeksi spora jamur parasit Ophiocordyceps sinensis. Jamur ini menggerogoti tubuh sang ulat dan hanya menyisakan rangka luar yang utuh. Kemudian saat musim semi tiba, mekarlah batang cokelat atau stroma yang tumbuh di kepalanya. Ini hanya terjadi di padang rumput pegunungan tinggi yang subur di Dataran Tinggi Tibet dan Himalaya.!break!

Selama berabad-abad, yartsa gunbu dianggap sebagai obat mujarab dan obat kuat yang luar biasa. Salah satu deskripsi paling awal mengenai yartsa berasal dari teks Tibet abad ke-15, berjudul Samudra Kenikmatan, yang membahas “pusaka sempurna” yang “menganugerahkan manfaat tak terbayangkan”. Cukup didihkan beberapa batang bersama secangkir teh, atau direbus bersama sup, atau dipanggang bersama bebek, dan semua penyakit akan sembuh—setidaknya begitu kata orang.

Ulat itu, demikian orang biasa menyebutnya, diresepkan oleh tabib untuk menyembuhkan sakit punggung, lemah syahwat, sakit kuning, dan kelelahan. Untuk mengobati tuberkulosis, asma, bronkitis, hepatitis, anemia, dan emfisema. Pengobatan untuk HIV/AIDS. Bah­kan dapat menyembuhkan kerontokan rambut.

Seiring melesatnya perekonomian China, permintaan yartsa semakin meningkat—benda ini menjadi simbol status di pesta makan malam dan menjadi hadiah pilihan untuk menyenangkan hati pejabat pemerintah. Pada 1970-an, setengah kilogram ulat ini berharga 2.000-5.000 rupiah. Pada awal 90-an, harga setengah kilogram masih kurang dari dua juta rupiah. Sekarang harga setengah kilogram yartsa kualitas terbaik pada tingkat eceran dapat mencapai 475-an juta rupiah.

Permintaan yang sangat besar tersebut memicu kekhawatiran bahwa panen tahunan, sekarang sekitar 400 juta batang, akan berkurang karena lahan yartsa dipanen secara berlebihan. Kata ahli ekologi Daniel Winkler, agar panen jamur ulat ini dapat berkesinambungan, pemanen harus menyisakan beberapa batang agar bisa tumbuh dewasa dan menginfeksi larva musim selanjutnya. Hal yang terjadi malah sebaliknya, kebanyakan penduduk desa mengambil semua jamur yang ditemukannya.

Akibat rezeki nomplok tahunan dari yartsa, ribuan penggembala yak Tibet yang dulu miskin sekarang memiliki sepeda motor, iPhone, dan TV layar datar. Perebutan lahan yartsa—kebanyakan wilayah hanya memperbolehkan panen oleh warga yang memiliki izin—me­nyebabkan bentrokan, termasuk tujuh pem­bunuhan di Nepal utara, tempat sebagian kecil yartsa dunia berasal. Di kota Chengdu, Provinsi Sichuan, pencuri pernah menggali terowongan ke toko yang menjual yartsa. Mereka menggondol barang senilai lebih dari 14 miliar rupiah. Polisi China mendirikan pos-pos pemeriksaan di pinggir jalan untuk mencegah para pemanen gelap menyelinap ke lereng bukit yang diperuntukkan bagi desa-desa setempat.!break!

Kini di banyak tempat seperti kota Serxu—tempat kediaman Silang dan istrinya, semua aspek kehidupan terabaikan demi mencari yartsa saat tanah menghangat dan rumput bersemi. Anak-anak, dengan mata tajam dan tubuh yang lebih pendek, sering menjadi pemanen terbaik. Beberapa sekolah tutup sepanjang satu bulan, selama liburan yartsa.

Selama puncak panen, pasar Serxu mem­bentang di sepanjang trotoar becek yang mengapit jalan utama kota. Di tempat bersuasana kota perbatasan ini, di tengah perbukitan gundul yang bertebaran tenda gembala dan kibaran bendera doa, orang terbiasa berdandan untuk pergi ke pasar.

Banyak yang memakai mantel tradisional Tibet. Lengan bajunya begitu panjang sehingga  sarung tangan tak diperlukan lagi. Kaum pria mengenakan topi koboi lebar dan sepatu bot kulit. Pisau terselit di pinggang. Wanita berjalan ke sana kemari memamerkan kalung manik-manik batu ambar seukuran bola golf. Bahkan ada juga beberapa biksu yang terbungkus jubah merah. Agama melarang mereka memanen atau makan yartsa, tapi tidak ada larangan untuk membeli dan menjual.

Tauke yartsa membawa timbangan loyang kecil dan kalkulator tenaga surya. Jamur ulat ditampung dalam kotak kardus dan keranjang anyaman, atau dihamparkan di atas lapik. Ketika tauke didekati oleh seseorang seperti Silang—lutut berlumpur, dengan sekantong yartsa yang baru digali—ulat itu diperiksa secara saksama. Harganya bergantung pada ukuran, warna, dan kepadatan. Sang tauke memeriksa satu demi satu, sering kali membersihkan tanah yang menempel dengan alat pembersih khusus yartsa yang mirip sikat gigi besar. Warga berkerumun.

Sudah menjadi kebiasaan, ketika hendak membeli, sang tauke menghujani dengan ejekan.!break!

“Saya tidak pernah membeli ulat sejelek ini.”

“Warnanya tidak bagus. Terlalu gelap.”

“Yang ini bisa bikin rugi.”

Akhirnya, tauke mengulurkan tangannya, lengan mantel Tibetnya menjuntai. Penjual pun memasukkan tangan ke dalamnya. Kemudian, dengan menggunakan jemari, keduanya  melakukan tawar-menawar dalam lengan mantel tanpa terlihat mata orang banyak. Tawar-menawar terjadi dengan cepat, kain mantel teregang dan terpuntir. Ketika jari-jari mereka berhenti dan harga disepakati, uang dibayarkan melalui lengan baju.

Silang dan Yangjin mendekati tauke yang biasa membeli barang mereka. Seorang pria yang juga bernama Silang—Silang Yixi, 33, yang sudah berkecimpung dalam bisnis ini selama delapan tahun. Kedua Silang melakukan hal yang biasa: Pada akhirnya, untuk 30 ulat mereka, sebagian besar terlalu kecil untuk mendapatkan harga terbaik, Silang dan Yangjin dibayar 580 yuan, sekitar 860 ribu rupiah.!break!

Zhaxicaiji turun dari Toyota Sequoia edisi Platinumnya yang dikemudikan sopir, menyandang tas tangan Prada, lalu berjalan ke toko utama kerajaan yartsa gunbu-nya. Dia pendiri dan presiden Perusahaan Obat Three Rivers Source. Dia mengelola 500 karyawan dan 20 toko; penjualan tahunannya bisa melebihi 565 miliar rupiah.

Saat kecil, Zhaxicaiji yang sekarang berusia akhir 40-an, sama seperti Silang dan Yangjin. Dia merangkak di perbukitan, mengambil ulat. Keluarganya memelihara yak dan domba, dan tinggal di tenda dari rambut yak. Dia memulai bisnis itu pada 1998 dengan uang sendiri sebesar 1,2 juta rupiah dan memanfaatkan tsunami yartsa menuju kesuksesan. Dia berencana memasuki pasar internasional, mengekspor yartsa ke tempat-tempat seperti Jepang, Korea, dan Malaysia. Dalam satu dasawarsa, katanya, ulatnya akan dijual di Amerika Serikat.

Tokonya di kota Lanzhou, China tengah, menempati satu blok kota; di pintu masuknya terpampang layar video raksasa yang me­nayangkan iklan ulatnya. Di dalamnya terdapat kandil mewah, air mancur, petugas keamanan berseragam, dan jambangan bunga potong segar. Yartsanya dipajang dalam puluhan kotak kaca ala museum, suhu dan kelembapannya dikontrol dengan tepat.

Tauke di pasar perbatasan menjual ke pasar yang lebih besar, selanjutnya para pe­nampungnya biasanya pergi ke pasar yartsa ter­besar di China, yang buka sepanjang tahun, sesibuk dan seramai bursa efek, dan meliputi seluruh distrik di Xining, sebuah kota di barat kantor pusat Zhaxicaiji. Banyak ulat kuning yang terbaik, terbesar, dan terpadat dipilih oleh para pembeli Zhaxicaiji. Sebelum dipajang untuk dijual, semua diperiksa dengan sinar-x—sering terjadi orang mencampurkan potongan kawat untuk menambah berat.

Sebuah Mercedes hitam berhenti di depan tokonya dan empat pria setengah baya, me­ngenakan kaus polo dan arloji besar, duduk di depan salah satu kotak kaca. Mereka sege­ra dilayani oleh staf perempuan muda. Para pria itu minum air yartsa terendam sambil memilih-milih. Ulat itu kemudian dikemas rapi dalam kotak kayu merah tua dengan bagian dalam dari kain laken dan kunci  kuningan. Kemasan itu mengubah produk yang sangat  tidak menarik—ulat kuning yang agak berbau amis dengan  makhluk aneh yang muncul dari kepalanya—menjadi sesuatu yang  mewah. Dalam waktu se­puluh menit para pria itu menghabiskan  hampir 300  juta rupiah.!break!

Di lantai lima sebuah gedung tinggi apar­temen modern di sisi timur Beijing, sambil berbaring di sofa dan diapit oleh anjing bichon frise-nya, Yu Jian menyesap  secangkir  teh yartsa gunbu yang baru diseduh. Yu berusia 40 tahun. Belum lama ini, dia menjabat sebagai eksekutif di perusahaan  makan­an kesehatan. Namun, pada Oktober 2010 dia didiagnosis mengidap kanker rahim.

Dia menjalani pengobatan modern, termasuk rangkaian panjang kemoterapi. Namun, dia juga memutuskan untuk berobat kepada sinse. Sang sinse meresepkan yartsa. Dia telah memakainya selama sekitar enam bulan. Setiap malam, ia memasukkan dua ulat ke dalam segelas air dan membiarkannya semalaman. Keesokan paginya dia mendidihkan air tersebut bersama beberapa buah kurma kering. Dia minum seduhan itu dan kemudian memakan ulat yang telah melunak.

Yu hanya membeli yartsa kualitas terbaik, dari jaringan apotek Tongrentang—salah satu dari beberapa merek yang lebih terkenal dan lebih mahal daripada Zhaxicaiji. Sekantong berisi 24 ulat ukuran sedang, cukup untuk persediaan beberapa minggu, dibelinya senilai 5,2 juta rupiah. “Saya pikir sepadan,” katanya, meskipun dia menyadari keraguan mengenai keampuhan obat tersebut. Sejauh ini kemujaraban yartsa gunbu belum terbukti.

Beberapa penelitian, yang sebagian besar dilakukan di China, mengungkapkan bahwa jamur itu memang mengandung zat peningkat sistem kekebalan tubuh yang dikenal sebagai beta-glucan dan zat antivirus yang bernama cordycepin. Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa obat itu dapat membantu meringankan banyak penyakit yang selama ini dianggap dapat diobatinya, termasuk bronkitis, asma, diabetes, hepatitis, kolesterol tinggi, dan lemah syahwat. Namun, para pengkritik mengatakan bahwa penelitian tersebut hanya dalam skala kecil dan metodologinya dipertanyakan.

“Sampai ada yang melakukan uji klinis besar menggunakan produk berkualitas tinggi, ilmu pengetahuan yang kita andalkan selama ini tak menyatakan dampak yang signifikan,” kata Brent Bauer, direktur Complementary and Integrative Medicine Program di Mayo Clinic, yang meneliti obat-obatan herbal secara mendalam.!break!

Terlebih lagi, kata ahli mikologi Paul Stamets, yartsa liar mungkin saja tercemar banyak jamur tak dikenal yang bisa jadi berbahaya. “Orang bisa keracunan,” kata Stamets. “Bagi yang tidak berpengalaman, itu semacam rolet rusia.” Buktinya mungkin memang jauh dari sahih, tetapi keyakinan akan kemujaraban yartsa begitu meluas.

Yu Jian mengaku ia bisa merasakan efek ulat itu. Dia mengatakan obat itu meningkat­kan semangat dan membangkitkan “energi kehidupan”—yang dikenal di China sebagai qi (diba­ca chi). Namun, energi aktualnya bisa saja berbeda.

Meskipun dia sangat kurus, warna kulit Yu memang agak kemerahan dan terlihat bersemangat. Saat merasa sehat, memang mudah untuk menyatakan kemustajaban ulat tersebut. Di saat lainnya, dia harus menghadapi kenyataan bahwa semua obat, sama-sama me­miliki keterbatasan. Namun, pada kunjungan terakhirnya, dokternya terkejut oleh kecepatan pemulihannya. “Dia bahkan tidak ingat saya pengidap kanker,” katanya.