Cheetah di Ujung tanduk

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 13:08 WIB

Kerumunan itu bersiap sedia. Jari-jemari semakin erat mencengkeram teropong. Lensa kamera difokuskan. Tidak kurang dari 11 bus safari berkanopi, penuh turis berpakaian cerah dan lensa panjang, berkumpul di dekat pohon akasia tunggal di Taman Nasio­nal Serengeti Tanzania.

Selama setengah jam se­belumnya, seekor induk cheetah bernama Etta duduk berteduh bersama empat anaknya yang masih kecil, mengincar kawanan antelop Thomson yang muncul di busut di dekatnya. Se­karang dia bangun dan bergerak, mengitari kawanan dengan gaya tak acuh. Tetapi, tidak ada yang teperdaya, apalagi kawanan rusa yang menatap gugup ke arahnya.

Tiba-tiba salah seorang pemandu berteriak, saat kawanan rusa kabur menjauh dan Etta sang cheetah tiba-tiba berlari kencang. Gerakan satwa ramping itu terlalu cepat untuk diikuti mata, berkelebat melintasi rumput seperti pe­luru.

Drama ini selesai dalam hitungan detik, berakhir dengan kepulan debu dan cekikan pada leher anak rusa yang malang. Saat Etta menyeret bangkai rusa itu, anak-anaknya bermunculan dari semak, siap makan besar. Beberapa detik kemudian bus-bus safari pun menyusul tiba, para sopir berebut untuk mendapatkan sudut kamera terbaik bagi para penumpangnya.

Cheetah kini menempati tempat unik dalam imajinasi manusia. Selain statusnya sebagai satwa liar, makhluk yang cantik, eksotis, se­cepat mobil sport, dan terkenal jinak ini juga merupakan bintang media, pujaan pembuat film dan iklan di seluruh dunia.

Coba masukkan “gambar” dan “cheetah” ke bilah pencarian per­amban internet, akan muncul hasil lebih dari 10 juta—mulai dari foto busana, iklan mobil mentereng, sampai foto cheetah peliharaan di kursi belakang Mercedes konvertibel.

Meluasnya budaya pop ini bisa menimbulkan kesan bahwa nasib cheetah di alam bebas se­baik satwa ini dalam gambaran media. Tidak demikian keadaannya. Malah, cheetah me­rupakan kucing besar yang paling terancam di dunia, sangat langka dan kian bertambah langka.

Beberapa abad yang lalu cheetah berkeliaran dari anak benua India hingga tepi Laut Merah dan di sebagian besar Afrika. Namun, sekali­pun bisa berlari kencang, makhluk ini tidak bisa menyelamatkan diri dari serbuan manusia. Saat ini, cheetah Asia—subspesies anggun yang dulu menjadi peliharaan di istana kerajaan India, Per­sia, dan Arab—nyaris punah.

Di Afrika, jumlah cheetah anjlok lebih dari 90 persen selama abad ke-20, saat petani, peternak, dan penggembala menggebah satwa ini dari habitatnya, pemburu menembaknya demi kesenangan, sementara anaknya ditangkap secara ilegal untuk dijual sebagai hewan peliharaan eksotis berharga mahal. Saat ini terdapat kurang dari 10.000 cheetah yang masih bertahan hidup di alam liar.!break!

Bahkan di taman margasatwa Afrika sekali­pun, cheetah mengalami tekanan yang berat. Satwa pemalu, bertubuh ramping, dan satu-satu­nya kucing besar yang tidak bisa mengaum ini terdesak oleh singa, yang jauh lebih besar baik badan maupun jumlahnya.

Misalnya di Taman Nasional Serengeti Tanzania dan Suaka Margasatwa Masai Mara di Kenya yang ber­dekatan. Secara keseluruhan, dua suaka itu di­huni lebih dari 3.000 singa, sekitar 1.000 macan tutul, dan hanya 300 cheetah.

Meskipun terkenal, pamor cheetah dalam pariwisata juga masih kalah oleh singa. “Cheetah biasanya baru dicari orang pada safari keduanya,” kata sang pemandu Eliyahu Eliyahu. “Pertama kali datang, semua ingin melihat singa. Masalahnya, jika terdapat populasi singa yang besar, cheetah sulit berkembang.”

Jika ada yang merasa bahwa cheetah sangat berbeda, itu karena memang demikian adanya. Satwa ini bukan saja berbeda spesies dengan kucing besar lainnya, tetapi juga berbeda genus, genus yang hanya memiliki satu anggota: dia sendiri.

Nama genusnya, Acinonyx, berasal dari bahasa Yunani yang berarti “duri” atau “cakar” dan mengacu pada cakar cheetah yang dapat ditarik sebagian, ciri khas yang tidak ditemui pada keluarga kucing lainnya. Tidak seperti singa dan macan tutul—yang cakarnya dapat ditarik penuh, dipakai untuk merobek daging dan memanjat pohon—cakar cheetah seperti paku pada sepatu lari.

Fungsinya pun se­rupa: untuk jejak yang mantap dan akselerasi cepat. Semua yang dimiliki cheetah dirancang untuk kecepatan—untuk mencapai kecepatan tinggi dalam sekejap mata. Jika cheetah diadu dengan Lamborghini di jalan bebas hambatan, keduanya berpeluang sama untuk lebih dahulu menembus batas kecepatan.

Dari keadaan diam, keduanya dapat mencapai kecepatan 100 km/jam dalam waktu kurang dari tiga detik, namun cheetah dapat mencapai 70 km/jam dalam beberapa langkah pertama. Dan langkahnya pun luar biasa. Berkat tulang belakangnya yang lentur dan panjang, serta kakinya yang gesit, cheetah bisa melesat melebihi 7,5 meter sekali lompat.

Sekali saja seorang atlet bisa melompat sejauh itu—setelah berlari kencang—dijamin lolos ke Olimpiade. Sementara cheetah pada kecepatan puncaknya dapat melakukan lompatan seperti itu hingga empat kali setiap detik.

Kemampuan super seperti itu memberi cheetah aura gaib di zaman kuno. Orang Mesir merupakan yang pertama menjadikannya hewan peliharaan dan mengabadikannya dalam gambar di makam dan kuil, hampir 4.000 tahun yang lalu. Di India, Iran, dan Arab, berburu dengan membawa cheetah—atau “macan tutul pemburu”, demikian sebutannya—menjadi olah­ raga yang sangat populer di kalangan bangsa­wan.!break!

Dalam istana sultan Mughal, cheetah men­jadi tema lukisan, permadani, dongeng, dan syair. Cheetah kesayangan sultan berhias kalung permata dan menjadi bintang dalam arak-arakan kerajaan. Cheetah tetap populer di Arab Saudi dan negara-negara Teluk.

Di sana, anakannya berharga hampir seratus juta rupiah. “Para anak muda kaya membeli cheetah dan mobil sport demi gengsi,” kata Mordecai Ogada, ahli biologi marga­satwa Kenya yang meneliti hubungan antara cheetah dan manusia serta perdagangan margasatwa. “Ini khas OKB zaman sekarang.”

Di tempat seperti Uni Emirat Arab, tidak ada ketentuan yang pasti mengenai cheetah. “Impor dilakukan secara sembunyi-sembunyi,” kata Ogada, “tapi begitu tiba di sana, diperdagangkan secara terbuka. Cheetah selundupan dapat dengan mudah ‘dicuci’ dan dibuat seolah-olah hasil penangkaran legal. Sulit untuk menentukan asal-usulnya kecuali kita melakukan analisis gene­tik dan mengenalinya sebagai anggota sub­spesies endemik daerah tertentu.”

Banyaknya cheetah liar yang diperdagangkan tidak diketahui dengan pasti, tetapi ada bukti bahwa perdagangan anak cheetah liar merupa­kan bisnis besar. Bahkan pencarian sepintas di internet memunculkan banyak tawaran anak cheetah dari “peternak” di tempat-tempat seperti Dubai.

Banyak penyelundup cheetah yang ditangkap tahun lalu di Tanzania dan Kenya, dan kabarnya penjualan anak cheetah meruyak hingga ke Kamerun. “Saya menduga masalah ini lebih besar dari­pada perkiraan kita,” kata Yeneneh Teka, kepala Direktorat Perlindungan dan Pengembangan Suaka Margasatwa Etiopia.

“Melibatkan banyak uang, dan seperti penyelundup narkoba dan senjata, pihak yang menyelundupkan satwa liar juga memiliki jaringan kuat.”

Tahun lalu, pemerintah Etiopia melakukan tindakan keras terhadap penyelundupan satwa liar dan membentuk program pelatihan bagi penjaga perbatasan dan petugas bea cukai. Pe­ngetatan hukum ini membuahkan hasil ketika petugas mencegat kiriman anak cheetah yang akan diselundupkan ke Somalia.

“Saat penjaga perbatasan sedang memeriksa dokumen truk, mereka mendengar suara meng­garuk yang berasal dari jeriken yang se­harusnya penuh bensin,” kata Teka. “Ketika dibuka, di dalamnya ditemukan lima ekor bayi cheetah nan mungil dalam kondisi yang sangat menyedihkan.” Salah satu anak cheetah itu kemudian mati.

Empat lainnya, setelah dirawat berminggu-minggu, dibawa ke cagar alam yang dikelola Born Free Foundation satu jam di utara Addis Ababa, tempat hewan ini hidup sampai akhir hayatnya. Meskipun ini akhir yang bahagia bagi keempat anak cheetah itu, tetap saja kerugian bagi spesiesnya.!break!

“Keempatnya tidak akan pernah bisa kembali ke alam liar,” kata Ogada. “Sekalipun kita bisa mengajarinya berburu, manusia tidak bisa me­ng­­ajari anak cheetah cara mengenali dan meng­hindari predator seperti singa dan dubuk.” Dan sekalipun beberapa cheetah berhasil di­kembalikan ke alam liar di suaka margasatwa besar yang berpagar di Afrika Selatan, padang rumput luas nan terbuka merupakan tempat hidup yang berbahaya bagi anak cheetah.

Cheetah yang kehilangan induk “tidak punya peluang selamat di tempat seperti Serengeti,” kata Ogada. Bahkan, induk cheetah pun kesulitan mem­besarkan anaknya di tempat itu, dengan angka kematian anak dapat mencapai 95 persen. Se­bagian besar anaknya tidak sempat keluar dari sarang tempatnya dilahirkan.

Para anak itu tewas akibat serangan singa atau dubuk, atau mati karena cuaca, atau ditinggalkan induknya yang tidak memiliki keterampilan berburu untuk menghidupinya. Malah, banyak cheetah betina yang seumur hidupnya belum pernah mem­besarkan satu anak pun hingga dewasa.

Namun, ada beberapa kekecualian, yang entah dengan cara bagaimana berhasil mengatasi kesulitan ini dan berjaya membesarkan anaknya. Beberapa bahkan merawat anak cheetah lainnya. Para induk super yang merupakan pemburu hebat dan ahli kehidupan di alam liar ini ber­hasil mendapatkan buruan hampir setiap hari sambil menjaga keamanan anak-anaknya di pang­gung terbuka padang rumput Afrika, di bawah ancaman singa dan dubuk.

Salah satu induk super tersebut, cheetah berusia tujuh tahun bernama Eleanor, diketahui membesarkan seper­sepuluh dari semua cheetah dewasa di Serengeti selatan. “Setahu saya, tidak ada karnivora lain yang ke­langsungan hidupnya begitu bergantung pada keberhasilan segelintir betina,” kata Sarah Durant dari Zoological Society of London.

Durant memimpin Serengeti Cheetah Project, salah satu penelitian karnivora tertua di dunia yang masih berjalan. Pada tahun ke-38 ini, proyek tersebut telah mencatat riwayat kehidupan dan silsilah dari jalur induk beberapa generasi cheetah di Serengeti. Semua dilakukan dalam cuaca panas dan berdebu. Termasuk ber­jam-jam terempas-empas di padang rumput dalam Land Rover tangguh, saat mencari salah satu kucing besar Afrika yang paling pemalu tersebut.

Penelitian gigih Durant-lah yang mengungkapkan pentingnya induk super ini. Meskipun silsilah induk populasi cheetah Se­rengeti kini terdokumentasikan dengan baik, tidak demikian dengan bapaknya. Ahli bio­logi margasatwa Helen O’Neill menunggu dengan sabar dalam Land Rover tidak jauh dari tempat tiga saudara cheetah—Mocha, Latte, dan Espresso, ketiganya disebut Coffee Boys—berbaring di bawah naungan pohon Balanites.

O’Neill sedang melakukan “patroli tinja”, dia mengumpulkan kotoran dari cheetah tertentu yang diketahui identitasnya. Para ilmuwan di Zoological Society of London kemudian meng­ekstrak sampel DNA dan berharap dapat mengetahui bapaknya untuk ditambahkan ke silsilah keluarga Serengeti itu.

Analisis sejauh ini menunjukkan bahwa cheetah betina jauh lebih nakal daripada yang diduga semua orang: Dalam sekali beranak, bayi-bayinya bisa memiliki bapak yang ber­beda-beda. “Kami menduga banyaknya pasang­an dapat memberi manfaat genetis dalam ling­kungan yang tidak pasti,” kata Durant. “Anggap saja sang induk cheetah membeli asuransi untuk memastikan bahwa sebagian anaknya dapat bertahan hidup.”!break!

Nun jauh dari padang rumput bermandikan cahaya surya di Serengeti, pada suatu petang musim dingin yang cerah, seekor cheetah jantan berjalan perlahan di punggung bukit bersalju. Dia berhenti sebentar untuk menandai pohon tamariska dengan baunya, lalu menghilang dari pandangan kamera video yang dioperasikan dari jarak jauh yang merekam kehadirannya.

Kamera tersembunyi ini salah satu dari 80 perangkap kamera yang dipasang di sekitar Dasht-e Kavir, daerah terpencil di dataran tinggi tengah Iran yang bergunung-gunung, dengan harapan dapat merekam salah satu kucing besar yang paling langka dan paling pemalu di dunia: cheetah Asia.

“Ini seperti mendapat durian runtuh,” kata ahli biologi margasatwa Iran Houman Jowkar mengenai rekaman 27 detik itu. Jowkar bekerja di Proyek Pelestarian Cheetah Asia, yang di­bentuk Departemen Lingkungan Hidup Iran tahun 2001 dalam upaya menyelamatkan populasi terakhir cheetah yang terancam punah ini. “Kucing ini sangat langka,” kata Jowkar. “Kami memiliki polisi hutan yang tinggal dan bekerja di pegunungan ini selama bertahun-tahun tetapi belum pernah melihat seekor cheetah hidup sekali pun.”

Program perangkap kamera membantu para ilmuwan Iran menentukan kira-kira berapa banyak cheetah yang tersisa serta tempat tinggal­nya—informasi vital dalam penyusunan stra­tegi konservasi. “Kami beruntung bisa me­rekam hewan yang menawan ini,” kata Jowkar. “Dengan menggunakan pola bulunya yang unik, kami bisa mengenali setiap cheetah serta menentukan populasi dan distribusinya.”

Sekalipun demikian, penyelamatan cheetah Asia bukan hal yang gampang. Kehancurannya dimulai sejak zaman kejayaan Kesultanan Mughal, ketika berburu dengan mengerahkan cheetah menjadi populer. Seorang sultan Mughal kabarnya mengumpulkan lebih dari 9.000 cheetah selama 49 tahun masa kekuasaannya.

Bandingkan zaman itu dengan zaman se­karang. Setelah sepuluh tahun memasang se­jumlah kamera, peneliti Iran sejauh ini hanya ber­hasil mendapatkan 192 gambar sekilas. Gambar-gambar itu memperlihatkan 76 cheetah kurus. Dapat dikatakan inilah sisa subspesies agung yang dulu berkeliaran di sebagian besar Asia.

Mereka yang masih bertahan sampai saat ini harus berjuang keras untuk hidup. Satwa yang memburu antelop dan kambing gunung di lereng curam dan berbatu ini harus bersaing dengan serigala dan bahkan manusia, yang men­jadikan rusa dan kambing sebagai sumber makanan yang mudah didapat.

Kembali ke Taman Nasional Serengeti, men­jelang asar, udara panas dan berdebu sementara petir bersabung menggelegar di kejauhan. Sudah sekitar satu jam Etta merayap mendekati seekor antelop jantan yang besar, sementara sang antelop masih belum menyadari kehadirannya.

Antelop itu besar dan sehat, banyak daging­nya. Etta mengendap-endap dengan cepat, kemudian mendekam dan menunggu, tampak seperti seorang sprinter di blok start yang menanti aba-aba pistol.

Satu-dua menit yang menegangkan berlalu. Tiba-tiba, seperti tanpa alasan sama sekali, Etta berdiri dan berjalan menjauh. Ada yang ganjil menurutnya—mungkin bau dubuk atau singa.

Apa pun sebabnya, bagi induk tunggal dengan empat anak yang masih kecil ini, antelop itu tidak sepadan dengan risikonya. Dia memberi isyarat agar anak-anaknya mengikutinya, lalu mereka berjalan pergi, ditelan kepulan debu lembayung.