Melanglang di Kandang

By , Selasa, 26 Februari 2013 | 16:36 WIB

Lalu naik lagi, ke­cepatannya melambat sehingga tampak se­perti terbang stasio­ner di atas kami. Smith me­nyeringai ke arah saya. “Pesawat ini benar-benar dapat ber­akrobat,” katanya. Beberapa kilometer dari Wright-Patterson terdapat Air Force Institute of Technology, pusat penelitian PTTA militer. Pintu masuk­nya dihiasi patung perunggu berbentuk le­laki bersayap yang kusut, Icarus—lambang keberanian penerbangan dan kesalahan terbang yang fatal.!break!

Di salah satu laboratoriumnya, John Raquet sedang merancang sistem navigasi baru untuk PTTA. GPS itu rawan gangguan, jelasnya. Sinyalnya dapat terhalang oleh gedung atau dikacaukan orang dengan sengaja. Pada Desember 2011, saat PTTA CIA jatuh di Iran, pihak ber­wenang di sana menyatakan bahwa mereka me­nyesatkannya dengan meretas GPS-nya.

Tim Raquet sedang menggarap sistem yang me­mungkinkan PTTA juga melakukan navi­gasi visual, seperti pilot manusia, dengan meng­gunakan kamera dan perangkat lunak pengenal pola. Sasaran laboratorium itu, sebagaimana yang ditegaskan Raquet berulang kali, adalah menciptakan “sistem yang dapat dipercaya.”

Menurut Raquet, PTTA yang dilengkapi dengan sistem navigasi visual bahkan mungkin dapat mengenali kabel listrik dan menyedot listrik dari kawat itu dengan “kait batman”, mengisi ulang daya baterainya sambil terbang. (Ini terhitung mencuri, jadi Raquet tidak meng­anjurkan orang sipil melakukannya.)

Dia memperlihatkan teknik itu kepada saya dengan PTTA segi empat yang memiliki rotor di setiap sudut. Saat percobaan pertama, PTTA yang men­dengung seperti sarang tawon mengamuk itu terbalik. Saat mencoba kedua kali, PTTA itu menabrak tembok. “Ini menunjukkan perlu­nya rasa percaya,” kata Raquet sambil ter­senyum canggung.

Akhirnya quadrotor itu berhasil terbang dan mencantolkan kait pada kabel yang terentang di ruangan.Di ujung lorong dari lab Raquet, Richard Cobb berusaha membuat PTTA yang bisa “luput dari pandangan”. DARPA, Defense Advanced Research Projects Agency, me­nantang para pe­neliti membuat PTTA dengan ukuran dan perilaku yang menyerupai kumbang dan burung.

Cobb menjawab tantangan itu dengan membuat robot ngengat, yang sayapnya ter­buat dari serat karbon dan Mylar. Mesin piezo­elektriknya me­ngepakkan sayap 30 kali per detik, demikian cepat sampai sayapnya tampak kabur. Namun, untuk mem­buat PTTA seukuran kumbang yang dapat terbang lebih dari beberapa menit, masih perlu banyak pengembangan dalam teknologi baterai. Cobb memperkirakan perlu waktu sepuluh tahun lebih.

Namun, Angkatan Udara sudah membuat “mikroaviari” di Wright-Patterson untuk uji terbang PTTA kecil. Mikroaviari tersebut be­rupa ruangan raksasa—tinggi 10 meter lebih dengan luas sekitar 350 meter persegi—dengan tembok berlapis bantalan.

Para peneliti mikroaviari, yang sebagian besar melakukan pe­kerjaan rahasia, tidak mengizinkan saya me­nyaksikan uji terbang. Tetapi, mereka menunjukkan video animasi PTTA mikro yang mirip dengan kawanan serangga bersayap dan ber­kaki banyak. PTTA itu terbang ber­­gerombol me­nyusuri gang, merayap di kosen jen­dela, dan bertengger di kabel listrik.

Salah satunya mendekati diam-diam se­orang lelaki sangar yang se­dang memegang pistol, lalu menembak kepala lelaki itu. Video itu berakhir, “Senyap, selinap, lenyap: PTTA mikro.”!break!

Orang mungkin terpikir, apa yang menghalangi teroris dan penjahat memiliki PTTA maut semacam ini? Meski­pun pejabat Amerika jarang membahas ancaman itu di depan umum, mereka me­nangani­nya secara serius. Ke­lompok Islam militan Hiz­bullah, yang berbasis di Lebanon, mengatakan me­reka mendapat PTTA dari Iran.

November lalu, pe­ngadilan federal AS men­jatuh­kan hukuman penjara 17 tahun kepada seorang lelaki Massachusetts karena me­rencanakan menyerang Washington, D.C., dengan PTTA berpeledak C-4. Kata sebagian insinyur, an­cam­­an serangan PTTA harus dilawan dengan PTTA juga.