Melanglang di Kandang

By , Selasa, 26 Februari 2013 | 16:36 WIB

Di tepi ladang yang baru dipotong dan dikeringkan di luar Grand Junction, Colorado, Deputi Sheriff Derek Johnson menyipitkan mata. Ia memandang bintik yang bergerak perlahan di langit cerah berawan tipis. Itulah Falcon—merek baru pesawat terbang tanpa awak, atau singkatnya PTTA, yang sedang diterbangkan Johnson.

Kantor sheriff di Mesa County ini sedang mempertimbangkan potensi Falcon untuk mencari pendaki gunung yang tersesat dan buronan. Perancang pesawat itu, Chris Miser, berdiri di belakang Johnson yang sedang mengamati Falcon.

Dengan paras kaku, tangan terlipat, dan kacamata bertengger di atas kepala gundulnya, Miser adalah mantan kapten Angkatan Udara yang menggarap PTTA militer sebelum keluar dari ketentaraan tahun 2007 dan mendirikan perusahaannya sendiri di Aurora, Colorado.

Falcon memiliki rentang sayap dua setengah meter, tetapi beratnya hanya 4 kilogram. Di­tenagai mesin listrik, PTTA ini membawa dua kamera—cahaya tampak dan inframerah—yang dapat digerakkan, serta autopilot yang di­pandu GPS. Falcon cukup canggih sehingga tidak boleh diekspor tanpa seizin pemerintah AS.

Menurut Miser, PTTA ini kira-kira se­banding dengan Raven, PTTA militer yang di­luncurkan dengan tangan—tetapi jauh lebih murah. Dia berencana menjual dua PTTA dan perlengkapan pendukungnya dengan harga setara mobil polisi.

Undang-undang yang ditandatangani Pre­siden Barack Obama pada Februari 2012 me­merintahkan Federal Aviation Adminis­tration (FAA) agar membuka ruang udara AS selebar-lebarnya bagi PTTA sebelum 30 September 2015. Tetapi, sementara ini, Mesa County dengan langitnya yang lengang merupakan salah satu dari sedikit yurisdiksi yang diizinkan FAA untuk menerbangkannya.

Kantor sheriff me­miliki PTTA helikopter selebar satu meter yang bernama Draganflyer, yang hanya dapat terbang selama 20 menit. Falcon dapat terbang selama sejam, dan mudah dioperasikan. “Kita tinggal memasuk­kan koordinat, lalu dia bisa terbang sendiri,” kata Benjamin Miller, yang menangani pro­gram PTTA di kantor sheriff itu.

Johnson cukup memasukkan ketinggian dan kecepatan udara yang diinginkan di laptop, lalu mengklik target pada peta digital; sisanya diurus sendiri oleh autopilot. Untuk meluncurkan Falcon, tinggal lemparkan ke udara. Akselerometer baru akan menghidupkan baling-baling se­telah pesawat itu mengudara. Jadi, tidak akan memapas tangan yang meluncurkannya.

“Ayo kita suruh dia mendarat,” kata Miser ke­pada Johnson. Setelah sheriff mengklik di laptop, Falcon menurunkan ketinggian, me­ngeluar­kan parasut jingga terang, dan turun perlahan ke tanah, hanya beberapa meter dari titik yang diklik Johnson.!break!

Dampak 11 SeptemberDua belas tahun silam, hanya ada dua komuni­tas yang menggeluti PTTA. Yang pertama, ka­lang­an penggemar yang menerbangkan pe­sawat dan helikopter dengan kendali radio, se­bagai hobi. Yang lainnya kalangan militer, yang melakukan misi pengintaian dengan PTTA se­perti Predator buatan General Atomics.

Lalu terjadilah peristiwa 11 September 2001, disusul serangan AS ke Afganistan dan Irak. PTTA pun segera menjadi alat penting bagi tentara AS. Pentagon memasang rudal pada Predator dan pesawat pengintai tanpa awak yang lebih besar, Reaper, sehingga operatornya—yang du­duk di kantor di tempat seperti Nevada atau New York—dapat menghancurkan dan me­mata-matai target yang terletak ribuan kilo­meter jauhnya.

Perusahaan dirgantara mem­produk­si armada PTTA kecil dengan cip komputer yang makin pintar dan sensor yang makin peka—kamera, tetapi juga alat yang mengukur zat kimia, patogen, dan bahan radioaktif di udara. Saat ini AS menggunakan lebih dari 11.000 PTTA militer. Padahal, pada 2002, jumlahnya tidak sampai 200.

PTTA ini menjalankan ber­aneka ragam misi sekaligus memangkas biaya dan korban jiwa tentara Amerika. Dalam satu generasi lagi, PTTA dapat menggantikan hampir semua pesawat militer berawak, kata John Pike, pakar pertahanan di lembaga think tank GlobalSecurity.org.

Setidaknya 50 negara lain memiliki PTTA, dan beberapa di antaranya, termasuk Cina, Israel, dan Iran, memiliki pabrik sendiri. Per­usahaan dirgantara—juga peneliti pemerintah dan universitas—sedang merancang berbagai pe­sawat generasi baru, dengan beragam ukur­an, dari robot ngengat dan kolibri sampai Phantom Eye milik Boeing. Phantom Eye merupakan raksasa ber­bahan bakar hidrogen dengan rentang sa­yap 45 meter, yang dapat terbang jelajah pada ketinggian 20.000 meter selama hingga empat hari.

Lebih dari seribu perusahaan, dari per­usaha­an kecil baru seperti milik Miser hingga kontraktor pertahanan besar, kini terjun di bisnis PTTA—dan sebagian berusaha meng­arah­kan PTTA ke dunia sipil. Predator sudah digunakan untuk membantu agen Pabean dan Perlindungan Perbatasan men­cari pe­nyelundup dan imigran ilegal yang me­nyusup ke AS. Global Hawk yang dioperasi­kan NASA mencatat data atmosfer dan meng­amati badai.

PTTA membantu ilmuwan me­ngumpul­kan data gunung berapi di Kosta Rika, situs arkeologi di Rusia dan Peru, serta banjir di North Dakota, AS. Sejauh ini, baru 12 departemen ke­polisian yang telah mengajukan permohonan izin ke FAA untuk menerbangkan PTTA. Tetapi, para pendukung PTTA—yang biasanya lebih me­nyukai istilah UAV (un­manned aerial vehi­cle, wahana udara tak berawak)—me­ngata­kan bahwa 18.000 badan pe­negakan hu­kum di AS berpotensi menjadi pe­langgan.

Mereka ber­harap PTTA juga se­gera menjadi bagian penting dalam bidang per­tanian (memeriksa dan menyemprot tanam­an, mencari ternak yang hilang), jur­nal­is­me (meliput peristiwa umum atau hala­man belakang selebriti), pra­kiraan cuaca, dan pe­ngendalian lalu lintas. “Ke­mungkinan pe­nerapannya tak terbatas,” kata Bill Borgia, in­sinyur di Lockheed Martin. “Begitu PTTA sampai ke tangan para pengguna potensial, mereka pasti bisa menemukan ber­bagai penerapan yang keren.”!break!

Menurut para pendukung, rintangan ter­besar­nya adalah peraturan FAA saat ini, yang secara ketat membatasi penerbangan PTTA oleh perusahaan swasta dan badan pemerintah (tetapi tidak berlaku untuk penggemar per­orangan). Setelah mengantongi izin FAA pun, operator tidak boleh menerbangkan PTTA di atas 120 meter, atau di dekat bandara atau zona lain yang memiliki lalu lintas udara ramai.

Mereka juga hanya boleh menerbangkan PTTA dalam batas visual. Namun, semua itu mungkin berubah di bawah undang-undang baru, yang mewajibkan FAA mengizinkan “integrasi aman” PTTA dalam ruang udara AS.

Menurut Mark Brown, jika FAA melonggar­kan peraturan, pasar sipil untuk PTTA dapat segera jauh melampaui penjualan militer, yang pada 2011 totalnya melebihi tiga puluh triliun rupiah. Brown, mantan astronaut yang kini menjadi konsultan dirgantara di Dayton, Ohio, membantu mempertemukan produsen PTTA dan pe­langgan potensial.

Bermimpi di Dayton

Demam PTTA sangat terasa di Dayton, tempat kelahiran penerbangan Amerika: di sini Wright bersaudara tinggal. Di sini juga ada Pangkalan Angkatan Udara Wright-Patterson. Sebelum resesi baru-baru ini pun, Dayton sudah kesulitan keuangan. Selama dasawarsa terakhir, beberapa perusahaan besar, termasuk General Motors, menutup operasi di kota ini.

Di Dayton ada beberapa wiraswasta PTTA. “Ini salah satu dari sedikit industri baru yang berpeluang tumbuh cepat,” kata Brown. Salah seorang wiraswasta itu adalah Donald Smith. Perusahaannya, UA Vision, mem­produksi PTTA bersayap segitiga (delta) yang dinamai Spear. Terbuat dari busa polistirena yang ter­balut serat karbon anyam atau serat lain, Spear memiliki beberapa ukuran; yang terkecil me­miliki rentang sayap satu meter dan beratnya tak sampai dua kilogram.

Mirip pesawat pembom B-1 mainan. Smith membayangkan pesawat ini digunakan untuk melacak lokasi hewan piaraan, ternak, margasatwa, bahkan pasien Alzheimer—apa pun atau siapa pun yang dipasangi alat pengenal frekuensi radio, yang dapat dibaca dari jarak jauh.

Di jalan di luar pabrik UA Vision, seorang karyawan melontarkan PTTA itu ke udara, dan Smith mengendalikannya dengan sebuah perangkat geng­gam. PTTA itu melesat naik sampai nyaris tak terlihat, menukik, terbang spiral, loop, melayang rendah di atas tanah kosong di seberang jalan.

Lalu naik lagi, ke­cepatannya melambat sehingga tampak se­perti terbang stasio­ner di atas kami. Smith me­nyeringai ke arah saya. “Pesawat ini benar-benar dapat ber­akrobat,” katanya. Beberapa kilometer dari Wright-Patterson terdapat Air Force Institute of Technology, pusat penelitian PTTA militer. Pintu masuk­nya dihiasi patung perunggu berbentuk le­laki bersayap yang kusut, Icarus—lambang keberanian penerbangan dan kesalahan terbang yang fatal.!break!

Di salah satu laboratoriumnya, John Raquet sedang merancang sistem navigasi baru untuk PTTA. GPS itu rawan gangguan, jelasnya. Sinyalnya dapat terhalang oleh gedung atau dikacaukan orang dengan sengaja. Pada Desember 2011, saat PTTA CIA jatuh di Iran, pihak ber­wenang di sana menyatakan bahwa mereka me­nyesatkannya dengan meretas GPS-nya.

Tim Raquet sedang menggarap sistem yang me­mungkinkan PTTA juga melakukan navi­gasi visual, seperti pilot manusia, dengan meng­gunakan kamera dan perangkat lunak pengenal pola. Sasaran laboratorium itu, sebagaimana yang ditegaskan Raquet berulang kali, adalah menciptakan “sistem yang dapat dipercaya.”

Menurut Raquet, PTTA yang dilengkapi dengan sistem navigasi visual bahkan mungkin dapat mengenali kabel listrik dan menyedot listrik dari kawat itu dengan “kait batman”, mengisi ulang daya baterainya sambil terbang. (Ini terhitung mencuri, jadi Raquet tidak meng­anjurkan orang sipil melakukannya.)

Dia memperlihatkan teknik itu kepada saya dengan PTTA segi empat yang memiliki rotor di setiap sudut. Saat percobaan pertama, PTTA yang men­dengung seperti sarang tawon mengamuk itu terbalik. Saat mencoba kedua kali, PTTA itu menabrak tembok. “Ini menunjukkan perlu­nya rasa percaya,” kata Raquet sambil ter­senyum canggung.

Akhirnya quadrotor itu berhasil terbang dan mencantolkan kait pada kabel yang terentang di ruangan.Di ujung lorong dari lab Raquet, Richard Cobb berusaha membuat PTTA yang bisa “luput dari pandangan”. DARPA, Defense Advanced Research Projects Agency, me­nantang para pe­neliti membuat PTTA dengan ukuran dan perilaku yang menyerupai kumbang dan burung.

Cobb menjawab tantangan itu dengan membuat robot ngengat, yang sayapnya ter­buat dari serat karbon dan Mylar. Mesin piezo­elektriknya me­ngepakkan sayap 30 kali per detik, demikian cepat sampai sayapnya tampak kabur. Namun, untuk mem­buat PTTA seukuran kumbang yang dapat terbang lebih dari beberapa menit, masih perlu banyak pengembangan dalam teknologi baterai. Cobb memperkirakan perlu waktu sepuluh tahun lebih.

Namun, Angkatan Udara sudah membuat “mikroaviari” di Wright-Patterson untuk uji terbang PTTA kecil. Mikroaviari tersebut be­rupa ruangan raksasa—tinggi 10 meter lebih dengan luas sekitar 350 meter persegi—dengan tembok berlapis bantalan.

Para peneliti mikroaviari, yang sebagian besar melakukan pe­kerjaan rahasia, tidak mengizinkan saya me­nyaksikan uji terbang. Tetapi, mereka menunjukkan video animasi PTTA mikro yang mirip dengan kawanan serangga bersayap dan ber­kaki banyak. PTTA itu terbang ber­­gerombol me­nyusuri gang, merayap di kosen jen­dela, dan bertengger di kabel listrik.

Salah satunya mendekati diam-diam se­orang lelaki sangar yang se­dang memegang pistol, lalu menembak kepala lelaki itu. Video itu berakhir, “Senyap, selinap, lenyap: PTTA mikro.”!break!

Orang mungkin terpikir, apa yang menghalangi teroris dan penjahat memiliki PTTA maut semacam ini? Meski­pun pejabat Amerika jarang membahas ancaman itu di depan umum, mereka me­nangani­nya secara serius. Ke­lompok Islam militan Hiz­bullah, yang berbasis di Lebanon, mengatakan me­reka mendapat PTTA dari Iran.

November lalu, pe­ngadilan federal AS men­jatuh­kan hukuman penjara 17 tahun kepada seorang lelaki Massachusetts karena me­rencanakan menyerang Washington, D.C., dengan PTTA berpeledak C-4. Kata sebagian insinyur, an­cam­­an serangan PTTA harus dilawan dengan PTTA juga.

“Kontra-PTTA me­rupa­­kan bidang terbaru,” kata Stephen Griffiths, insi­nyur di perusahaan avionik (elektronika penerbangan) Procerus Technologies yang berkantor di Utah. Dengan sistem mata-buatan yang di­­­rancang oleh Procerus, PTTA dapat men­deteksi dan meng­hancurkan PTTA lain, baik dengan me­nabrak atau menembaknya.

Kelak, PTTA mungkin cukup cerdas untuk beroperasi sendiri, dengan pe­ngawasan manusia yang minimal. Te­tapi, Griffiths meyakini bahwa keputusan me­nyerang sebaiknya tetap di tangan manusia.

Mimpi buruk pihak lain

Sekalipun dikendalikan oleh operator yang mahir dan berniat baik, PTTA tetap ber­potensi menimbulkan bahaya. Catatan ke­amanan PTTA militer tidak mem­besarkan hati. Menurut Angkatan Udara AS, sejak 2001, tiga PTTA utamanya—Pre­dator, Global Hawk, dan Reaper—terlibat dalam setidaknya 120 “kecelakaan”, dan dalam 76 di antaranya hancur total.

Data statistik itu belum memperhitungkan PTTA yang di­operasikan oleh matra militer lain atau CIA. Belum pula memperhitungkan serangan PTTA yang tak sengaja menewaskan warga sipil atau tentara AS atau sekutu. Sebagian pendukung pun menegaskan bahwa keandalan PTTA harus ditingkatkan dulu, barulah PTTA siap digunakan secara luas di ruang udara AS.

“Kita jangan antipati terhadap FAA dalam misinya menjamin ke­amanan, sekalipun itu melambungkan biaya PTTA,” kata Richard Scudder, kepala labora­torium di University of Dayton yang menguji purwarupa.

PTTA yang jatuh di halaman rumah tentu gawat, tetapi PTTA menabrak pesawat pe­numpang lebih parah lagi. Di Dayton, per­usahaan Defense Research Associates (DRA) sedang meng­­garap sistem “deteksi dan hindari” yang akan lebih murah dan lebih kecil daripada radar, kata manajer proyek DRA Andrew White.!break!

Prinsipnya sederhana: Kamera men­deteksi benda yang membesar dengan cepat dan mengirim sinyal kepada autopilot, yang membelokkan PTTA menjauhi bahaya. White menyiratkan bahwa perangkat DRA itu dapat mencegah tabrakan seperti yang terjadi pada 2011 di Afganistan, ketika PTTA Shadow seberat 180 kilogram menabrak pe­sawat angkut Hercules C-130. Pesawat C-130 itu mendarat dengan selamat, dengan PTTA menancap di sayapnya.

Bayangan bahwa langit Amerika dipenuhi PTTA tak hanya menimbulkan rasa cemas soal keamanan, tapi juga dikhawatirkan mencederai privasi. Sensor inframerah dan pita radio yang digunakan militer dapat menembus awan dan dedaunan, bahkan—menurut lebih dari satu sumber—mendeteksi orang di dalam bangunan.

Selama beberapa tahun terakhir pen­duduk­an AS di Irak, PTTA memantau Bagdad siang-malam, sehingga seluruh kota itu tak ubahnya toserba yang dipenuhi kamera keamanan. Jika terjadi pengeboman di tepi jalan, pejabat AS dapat memutar video mundur untuk melacak para pengebom sampai ke tempat persembunyiannya.

Praktik ini disebut peng­intaian persisten. American Civil Liberties Union (ACLU) cemas bahwa seiring semakin murah dan andalnya PTTA, badan penegak hukum mungkin ter­goda untuk melakukan pengintaian persisten atas warga AS. Aman­demen Keempat UUD me­lindungi warga Amerika terhadap “pencarian dan pe­nangkapan yang tidak beralasan”, te­tapi tidak jelas bagaimana pengadilan kelak me­nerapkan hal itu dalam konteks PTTA.

“Skenario mimpi buruk” dari Jay Stanley di ACLU dimulai dengan PTTA mendukung penggerebekan dan pengejaran polisi yang “tidak terlalu menimbulkan keberatan”. Namun, tak lama kemudian jaringan PTTA dan komputer yang tersambung akan “mampu secara otomatis melacak banyak kendaraan dan orang yang bergerak di dalam kota”.

Mimpi buruk itu mencapai klimaks saat pihak berwenang meng­gabungkan video PTTA dan pelacakan ponsel untuk membuat basis data rutinitas pergerakan warga, yang kemudian dapat digunakan untuk mencari perilaku mencurigakan. Mimpi buruk Stanley bahkan belum mencakup kemungkinan bahwa PTTA polisi nanti dipersenjatai.

Siapa yang Memegang Kendali?Ciptaan manusia yang tak terkendali merupakan keresahan yang tak kunjung pudar dalam era industri. Men­contohkan senjata nuklir terlalu klise. Mari kita renungkan dampak mobil selama seabad terakhir. Wajar saja jika kita bertanya-tanya siapa yang pegang kendali, mobil atau kita.

Kebanyakan orang tentu berpendapat bahwa secara umum, mobil bermanfaat bagi manusia. Seabad lagi, mungkin orang juga ber­pendapat demikian tentang PTTA, jika kita mengendalikan risikonya sejak dini. Di kantor sheriff Mesa County, Benjamin Miller berkata bahwa dia tidak berminat pada PTTA bersenjata.

“Saya ingin menyelamatkan nyawa, bukan mencabutnya,” katanya. Chris Miser mengungkapkan pemikiran serupa. Untuk Falcon, Miser mengangankan rencana misi yang menyelamatkan jiwa. Kesuksesannya akan membuktikan manfaat Falcon.