Manatee Sayang Manatee Malang

By , Selasa, 26 Maret 2013 | 18:11 WIB

“Mayoritas toko selam di sini berusaha ber­sikap sebaik mungkin,” kata Rose. “Jika mereka ingin bertanggung jawab dan mempertahankan hak istimewa yang unik, silakan. Jika tidak, program berenang-bersama harus dihapus.”Tracy Colson sependapat.

“Pengunjung se­harusnya dilarang mengelus atau menyentuh,” katanya. “Mereka bisa melakukannya pada anjing. Manatee adalah satwa liar. Biarkanlah mereka tetap liar.” Isu ini juga berhubungan erat dengan uang. Pendapatan dari sektor pariwisata yang ber­hubungan dengan manatee diperkirakan men­capai sekitar 200 miliar hingga 300 miliar rupiah per tahun.

Beberapa pemilik toko selam mengklaim akan kehilangan banyak penghasilan jika konsumen mereka tidak bisa bersesumbar, “Aku pernah menyentuh manatee,” kepada teman-teman mereka di rumah. Pada 2011, menyadari bahwa mata pencaharian mereka bisa jadi berada di ujung tanduk, 16 operator tur mendirikan Asosiasi Ekoturisme Manatee (META), bekerja sama dengan suaka margasatwa nasional dan Save the Manatee Club untuk mencari keseimbangan antara akses dan proteksi.

Dipimpin Mike Birns, META secara sukarela menyusun peraturan interaksi manatee —manusia yang dalam beberapa hal lebih ketat daripada undang-undang federal. Berenang bersama manatee menghadirkan kekisruhan, namun itu bukanlah isu utama yang menyebabkan kontroversi di Sungai Crystal.

Kemarahan, tuduhan, dan hinaan yang memecah belah masyarakat, sebagian besar berakar dari di mana dan seberapa cepat, orang-orang diizinkan memacu perahu mereka. Sebagai mamalia yang menghirup oksigen dari udara, manatee menghabiskan sebagian besar waktu di dekat permukaan air, menjadikan mereka rentan terhadap laju kapal.

Seiring kian banyaknya manatee yang hidup di Teluk Kings sepanjang tahun, Dinas Perikanan dan Satwa Liar AS pada 2012 memperketat larangan di zona olah raga berkecepatan tinggi, memotong luasnya, dan menurunkan batas kecepatan dari 55 kilometer per jam menjadi 40 selama musim panas.

Bagi warga yang sudah kesal akibat pembatasan pemanfaatan teluk di halaman belakang mereka, peraturan ini mencerminkan bagian dari rencana besar pelestari. Yaitu me­mandang peningkatan populasi manatee sebagai kesempatan memperluas suaka margasatwa.

Juga semakin jauh membatasi tak hanya laju kapal, tetapi juga perkembangan ekonomi dan hak properti pribadi. “Isu besarnya menjadikan seluruh teluk suaka margasatwa,” ujar Lisa Moore, salah satu penduduk.!break!

Pendapat bahwa penduduk Sungai Crystal malah dihukum akibat keberhasilan mereka melindungi manatee memicu kemarahan. “Menurut saya tidak ada yang akan setuju bahwa upaya perlindungan terhadap manatee sudah berhasil,” kata Michael Lusk.

“Tetapi per­nyataan tersebut mengungkapkan fakta bahwa satwa itu memang dilindungi. Pen­dapat bahwa mereka tidak perlu dilindungi lagi bagai­kan perkataan, ‘Hei, kota kami sedang berkembang, jadi kami tidak memerlukan peraturan lalu lintas dan kesehatan lagi.’”

Isu merisaukan lainnya berasal dari masa depan Sungai Crystal sendiri. Walaupun kapal tur membawa pesnorkel dan peselam beberapa lokasi di sekitar Teluk Kings, kanal sempit di sepanjang Mata Air Three Sisters sejauh ini paling populer.

Pada waktu tertentu, lebih dari 200 manatee memadati area itu untuk beristirahat dan menghangatkan diri, sementara puluhan kayak dan rombongan perenang me­nyerbu, dan 20-an kapal tur berlabuh di kanal. “Yang saya dengar dari berbagai pemegang kepentingan—Save the Manatee Club, dewan kota, tetangga, pengguna kayak, pesnorkel—adalah kami harus mengatur akses menuju Mata Air Three Sisters saat manatee memenuhi tempat itu,” kata Lusk.