Manatee Sayang Manatee Malang

By , Selasa, 26 Maret 2013 | 18:11 WIB

Tulisan papan selamat datang di wilayah bantaran Sungai Crystal bukanlah hal yang biasa Anda lihat: “Informasi manatee: Putar ke gelombang 1610 AM.” Jarang ada Balai Kota dengan patung mamalia laut langka bercat merah-putih-biru di depannya.

Tanyakanlah di mana pesohor akuatik ini bisa ditemui, dan puluhan toko selam setempat akan menawarkan tur snorkeling di Teluk Kings. Anda juga bisa menyewa kayak dan mendayung ke salah satu mata air hangat tempat manatee berkumpul selama musim dingin. Atau jika Anda ingin menonton dari darat, langsung datangi saja kanal barat Mata Air Three Sisters.

Setibanya di sana, dalam beberapa menit Anda akan melihat manatee pertama meluncur bagaikan hantu pucat di air kanal sehijau zamrud. Mereka sendirian, atau bersama seekor anak, atau kadang bertiga atau berempat. Orang bergantian datang dan pergi menyaksikannya.

“Mirip kaleng minyak besar karatan yang mengambang di air,” kata seorang pria. Bila ada kontes kecantikan fauna, sosok-sosok tambun yang melintas di bawah jembatan itu tidak akan menjuarainya. Satu-satunya warna yang terlihat adalah merah jambu bekas luka akibat sambaran baling-baling kapal.

“Tidak ada lagi ruang untuk manatee,” kata pria lain mengomentari binatang yang harus berbagi kanal sempit itu dengan lalu lintas kapal. “Ini sebuah keniscayaan.” Dia menggeleng-geleng. “Jika suatu tempat dikomersialkan, orang-orang menjadi abai.”

Penduduk Teluk Kings punya pendapat kuat tentang manatee. Suaka Margasatwa Sungai Crystal melingkupi sebagian besar Teluk Kings, danau seluas 240 hektare yang ber­muara di Teluk Meksiko, 150 kilometer di utara Tampa.

Secara geografis, Kota Sungai Crystal menghubungkannya—atau bisa di­bilang merengkuhnya, walau ini tak selalu ber­makna kiasan. Sesungguhnya ada masa saat se­bagian penduduk menganggap manajer suaka marga­satwa Michael Lusk sebagai penjelmaan iblis.

Ketika tiba di Sungai Crystal pada 2009, Lusk langsung terjun ke tengah kemelut: peraturan pemerintah versus kebebasan pribadi, akses publik versus kepemilikan pribadi, perubahan versus tradisi, idealisme versus uang. Kendati konflik lokal merupakan cerminan isu nasional, penyebabnya unik dan keunikannya ironis: manatee, makhluk sejinak beruang teddy.!break!

Memiliki bobot hingga lebih dari 500 kilo­gram, manatee hindia barat tampak mirip lumba-lumba gemuk atau paus kecil, meskipun tidak memiliki hubungan dengan keduanya. Faktanya, manatee justru berbagi leluhur dengan gajah. Manatee tidak memiliki lapisan lemak seperti paus, yang memungkinkan paus bertahan dalam suhu dingin.

Di air bersuhu kurang dari 20oC mereka akan melemah dan mati. Subspesies yang hidup di Amerika Serikat adalah manatee florida, yang merambah area pesisir Samudra Atlantik dan Teluk Meksiko; pada musim dingin ketika temperatur laut anjlok, mereka berkumpul di mata air alami di darat dan sumber kehangatan lainnya, termasuk pipa pembuangan pembangkit listrik.

Di Teluk Kings, manatee memperoleh tempat pengungsian musim dingin yang nyaris sempurna. Puluhan manatee menyebar di sekitar mata air alami bersuhu stabil di kisaran 22oC sepanjang tahun. Area Teluk Kings sangat sesuai untuk manatee, sehingga populasi musim dinginnya bertambah dari sekitar 30 ekor pada 1960-an menjadi lebih dari 600 ekor kini, sejalan peningkatan hingga 5.000 ekor di seluruh Florida.

Kapan pun dari November hingga Maret, warga di bantaran Sungai Crystal dapat secara harfiah berjalan keluar dari pintu rumah mereka dan melihat puluhan manatee berenang, bersantai, dan tidur di kanal kota bagai anjing malas yang meringkuk di halaman.

“Ini pada dasarnya adalah spesies satwa liar urban yang hidup di halaman belakang kami, 15 meter dari tempat tidur kami,” ujar pakar biologi USGS Robert Blonde. “Walaupun seliar gajah bebas, mereka toh ada di sini.”Kepadatan ini secara de facto menjadikan Sungai Crystal ibu kota manatee di Amerika Serikat, gelar yang ditunjang oleh keunikan lainnya.

Hanya di sinilah manusia berani menceburkan diri ke air dan berenang bersama manatee: menghampiri, berinteraksi, bahkan menyentuh. Keakraban dengan satwa liar langka yang dilindungi tidak akan diizinkan jika proposalnya diajukan sekarang, tetapi aktivitas ini sudah menjadi daya tarik wisatawan Sungai Crystal sebelum Endangered Species Act ditetapkan pada 1973 dan pencanangan suaka margasatwa satu dasawarsa kemudian.

Program “berenang-bersama” hanya salah satu dari beberapa isu yang dihadapi oleh para pelestari, pengguna kapal, pemilik lahan, politikus, dan operator tur untuk menentukan masa depan Teluk Kings. Dinas Perikanan dan Satwa Liar AS yang mengawasi sistem suaka margasatwa dan mengatur populasi manatee berdiri di tengah berusaha menjaga perdamaian.

“Ada banyak isu satwa liar, yang sama kontro­versi­alnya,” kata Michael Lusk, “tetapi emosi yang dihadirkan hewan ini luar biasa.”!break!

Saat akhir pekan di musim dingin, Mata Air Three Sisters sama sekali tak menyerupai suaka margasatwa. Kapal pesta, perahu bermotor, kayak, dan perenang memadati kanal sempit. Orang-orang menyaksikan sekhidmat mungkin saat mamalia laut berbobot satu ton itu be­renang melintas.

Kapten kapal tur telah memberi tahu pelanggan: Jangan mengganggu manatee yang beristirahat; jangan menghalangi saat mereka meninggalkan area berbatas tali yang terlarang bagi manusia. Tetapi anak-anak gemar menjerit-jerit. Orang dewasa… Yah, ter­kadang mereka lebih dari sekadar menjerit-jerit.

Mike Birns memandu tur di Three Sisters dan titik penampakan manatee lain di sekitar Teluk Kings. “Ini kerap terjadi dalam tur saya,” katanya. “Seseorang kembali ke kapal dan menjerit, ‘Oh, asyik sekali! Ia ada di depan mukaku!’ Akibat emosi yang meluap-luap, dia tak sabar untuk ikut dalam misi menyelamatkan binatang itu. Sebenarnya, bagi banyak orang, bertemu manatee adalah pengalaman spiritual.”

Pembela manatee sependapat bahwa dari 150.000 lebih pengunjung Sungai Crystal yang datang setiap tahun untuk berenang bersama (atau berkayak di atas) manatee, sebagian besar pulang dengan peningkatan apresiasi terhadap binatang itu—walau fakta ini tak bisa dijadikan pembenaran atas kegaduhan yang ditimbulkan.

Pada 2006, aktivis setempat Tracy Colson mulai membuat video tentang perilaku buruk terhadap manatee, termasuk orang-orang yang menungganginya dan para pemandu wisata yang mengambil bayi manatee dari induknya untuk diedarkan di antara para turis.

Video yang diunggah di YouTube itu mengejutkan pecinta manatee dan membantu penetapan batasan interaksi yang lebih ketat. Patrick Rose, ahli biologi akuatik dan direktur eksekutif kelompok berpengaruh Save the Manatee Club, dengan enggan mendukung program berenang-bersama, walaupun tetap bertekad untuk melihat perubahan.

“Sebagian besar manatee tak ingin berurusan dengan manusia,” katanya. “Mereka mencari tempat tenang untuk beristirahat, terutama saat musim dingin, ketika kehangatan menjadi prioritas utama bagi mereka.”

Rose yakin, situasi di Sungai Crystal adalah pelecehan manatee dalam bentuk “pelanggaran Undang-undang Perlindungan Mamalia Laut sekaligus Undang-undang Spesies Terancam Punah.”

Dia mengusulkan agar perenang dikenai peraturan lebih ketat, berhenti dalam jarak sebadan dari manatee, memungkinkannya memilih berinteraksi dengan manusia atau tidak sama sekali.!break!

“Mayoritas toko selam di sini berusaha ber­sikap sebaik mungkin,” kata Rose. “Jika mereka ingin bertanggung jawab dan mempertahankan hak istimewa yang unik, silakan. Jika tidak, program berenang-bersama harus dihapus.”Tracy Colson sependapat.

“Pengunjung se­harusnya dilarang mengelus atau menyentuh,” katanya. “Mereka bisa melakukannya pada anjing. Manatee adalah satwa liar. Biarkanlah mereka tetap liar.” Isu ini juga berhubungan erat dengan uang. Pendapatan dari sektor pariwisata yang ber­hubungan dengan manatee diperkirakan men­capai sekitar 200 miliar hingga 300 miliar rupiah per tahun.

Beberapa pemilik toko selam mengklaim akan kehilangan banyak penghasilan jika konsumen mereka tidak bisa bersesumbar, “Aku pernah menyentuh manatee,” kepada teman-teman mereka di rumah. Pada 2011, menyadari bahwa mata pencaharian mereka bisa jadi berada di ujung tanduk, 16 operator tur mendirikan Asosiasi Ekoturisme Manatee (META), bekerja sama dengan suaka margasatwa nasional dan Save the Manatee Club untuk mencari keseimbangan antara akses dan proteksi.

Dipimpin Mike Birns, META secara sukarela menyusun peraturan interaksi manatee —manusia yang dalam beberapa hal lebih ketat daripada undang-undang federal. Berenang bersama manatee menghadirkan kekisruhan, namun itu bukanlah isu utama yang menyebabkan kontroversi di Sungai Crystal.

Kemarahan, tuduhan, dan hinaan yang memecah belah masyarakat, sebagian besar berakar dari di mana dan seberapa cepat, orang-orang diizinkan memacu perahu mereka. Sebagai mamalia yang menghirup oksigen dari udara, manatee menghabiskan sebagian besar waktu di dekat permukaan air, menjadikan mereka rentan terhadap laju kapal.

Seiring kian banyaknya manatee yang hidup di Teluk Kings sepanjang tahun, Dinas Perikanan dan Satwa Liar AS pada 2012 memperketat larangan di zona olah raga berkecepatan tinggi, memotong luasnya, dan menurunkan batas kecepatan dari 55 kilometer per jam menjadi 40 selama musim panas.

Bagi warga yang sudah kesal akibat pembatasan pemanfaatan teluk di halaman belakang mereka, peraturan ini mencerminkan bagian dari rencana besar pelestari. Yaitu me­mandang peningkatan populasi manatee sebagai kesempatan memperluas suaka margasatwa.

Juga semakin jauh membatasi tak hanya laju kapal, tetapi juga perkembangan ekonomi dan hak properti pribadi. “Isu besarnya menjadikan seluruh teluk suaka margasatwa,” ujar Lisa Moore, salah satu penduduk.!break!

Pendapat bahwa penduduk Sungai Crystal malah dihukum akibat keberhasilan mereka melindungi manatee memicu kemarahan. “Menurut saya tidak ada yang akan setuju bahwa upaya perlindungan terhadap manatee sudah berhasil,” kata Michael Lusk.

“Tetapi per­nyataan tersebut mengungkapkan fakta bahwa satwa itu memang dilindungi. Pen­dapat bahwa mereka tidak perlu dilindungi lagi bagai­kan perkataan, ‘Hei, kota kami sedang berkembang, jadi kami tidak memerlukan peraturan lalu lintas dan kesehatan lagi.’”

Isu merisaukan lainnya berasal dari masa depan Sungai Crystal sendiri. Walaupun kapal tur membawa pesnorkel dan peselam beberapa lokasi di sekitar Teluk Kings, kanal sempit di sepanjang Mata Air Three Sisters sejauh ini paling populer.

Pada waktu tertentu, lebih dari 200 manatee memadati area itu untuk beristirahat dan menghangatkan diri, sementara puluhan kayak dan rombongan perenang me­nyerbu, dan 20-an kapal tur berlabuh di kanal. “Yang saya dengar dari berbagai pemegang kepentingan—Save the Manatee Club, dewan kota, tetangga, pengguna kayak, pesnorkel—adalah kami harus mengatur akses menuju Mata Air Three Sisters saat manatee memenuhi tempat itu,” kata Lusk.

“Karena pengalaman yang akan diperoleh di sana me­nyebalkan tak hanya bagi manatee, tetapi juga buat manusia.” Berbagai isu legal mengenai akses jalur air dan pertanyaan mengenai alokasi hak kunjungan yang adil semakin memperpelik masalah.

Beberapa toko alat selam dan bisnis lokal lainnya bisa dipastikan akan memprotes keras apa pun yang berujung pada pembatasan jumlah wisatawan. Seolah-olah sistem kuota belum cukup kontroversial, Pat Rose dari Save the Manatee Club mengusulkan untuk sepenuhnya menjadikan Three Sisters suaka bagi manatee, menjauhkan pesnorkel dan pengguna kayak dari sana, dan hanya mengizinkan pengamatan dari titian kayu di atas mata air.

Jika proposal itu diajukan, perlawanan pembatasan kecepatan di Teluk Kings akan terlihat tumpul. Sementara itu, majalah wisata dan acara te­le­visi terus memublikasikan kesempatan be­re­nang bersama manatee di Teluk Kings, menyulut imaji­nasi banyak orang dan menghadirkan hasrat sekali-seumur-hidup bergaul dengan satwa ini.

“Tak ada tempat lain serupa Teluk Kings,” kata Michael Lusk. “Justru keunikan itu­lah yang mengundang konflik, terutama akibat semakin banyak orang berduyun-duyun kemari. “Saya ingin mencari tempat yang me­mungkin­­kan manusia berinteraksi dengan manatee sekaligus memperoleh pengalaman luar biasa, dengan tetap menghiraukan ke­amanan dan keselamat­annya.”!break!

Mike Birns pernah mendengar ungkapan penuh amarah di sebuah pertemuan publik, tetapi pihak yang bertikai juga sesekali bisa berkompromi. “Yang lucu,” katanya, “manatee telah mendorong kita merenung tentang cara kita mengendalikan diri.”

Anda memutuskan untuk mengenakan pakaian selam dan masker, lalu meluncur ke kanal di Three Sisters Springs. Anda menurunkan kepala, sehingga keriuhan obrolan dan gelak tawa orang teredam air. Anda berenang men­dekati area suaka yang telah dipagari tali dan berhenti, me­nyaksikan puluhan sosok kelabu besar ber­istirahat di dekat dasar sungai.

Mereka bermandikan air yang keluar dari tanah, menghangatkan diri sebelum kembali ke teluk untuk makan. Seekor manatee menoleh ke arah Anda, lamban namun anggun, lalu menghampiri Anda dan berhenti, tepat ketika wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari masker Anda. Yang kemudian terjadi, Anda tahu, adalah kalian sama-sama berkontemplasi.

Buruk rupakah manatee? Tulang yang besar dan padat memungkinkannya bergerak luwes di air; evolusi tak memperhitungkan bahwa tulang itu berisiko kematian saat tertabrak kapal. Wajahnya yang datar dan keriput sama sensitif dan berototnya dengan lidah manusia, sempurna untuk melahap rumput air.

Rambut aneh di sekujur wajahnya? Itu vibrissae, seperti yang dimiliki anjing dan kucing, berhubungan dengan sensor yang menyampaikan rangsangan sekecil apa pun dari indera ke otak. Kucing dan anjing punya sekitar 50 vibrissae di wajah mereka; manatee memiliki 600.

Bukan salah manatee yang berevolusi tanpa predator di lingkungan bermakanan berlimpah, yang menjadikannya rapuh dan kurang was­pada, sehingga kelestariannya bergantung pada kesediaan kita untuk berbagi planet padat ini.

**Mel White mengulas burung-burung firdaus di edisi Desember. Paul Nicklen mengambil spesialisasi fotografi bawah air, kerap kali di wilayah kutub.