Percobaan ini melengkapi penelitian di Einstein yang dipimpin Nir Barzilai, dokter Israel dengan rambut tebal memutih dan wajah awet muda, yang pada 1998 mulai meneliti tiga lansia usia 100-an di New York. Saat ini, proyek Einstein menyertakan lebih dari 500 lansia di atas 100 di New York City dan sekitarnya—semuanya dari Eropa tengah dan semuanya orang Yahudi Ashkenazi, populasi yang secara historis terisolasi dan hanya menikah dengan sesama mereka.
Dalam kelompok homogen ini, ditemukan lagi satu set gen yang berkaitan dengan umur panjang, sebagian di antaranya juga ditemukan di Italia. Dari data yang semakin banyak terkumpul, para peneliti Einstein menemukan bahwa lansia Ashkenazi yang berusia di atas 100 ini memiliki tingkat HDL, sering disebut kolesterol baik, yang sangat tinggi sementara keturunan mereka memiliki kadar HDL yang lebih tinggi lagi.
Ini membuat mereka menganalisis DNA sekitar seratus gen yang diketahui terlibat dalam metabolisme kolesterol. Mereka menemukan varian, subtipe genetis yang berbeda, dari gen yang dikenal sebagai CETP (protein transfer ester kolesterol) yang lebih banyak didapati pada lansia berusia seabad, dibandingkan pada masyarakat umum.!break!
Hasil penelitian gen CETP versi kaum seabad ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, yang menunjukkan bahwa varian ini melindungi pemiliknya dari penyakit jantung. Penelitian itu membuktikan bahwa banyak orang dengan subtipe genetis ini—termasuk Yahudi Ashkenazi yang belum berusia seabad dan bahkan penduduk Bronx non-Yahudi—mendapat hasil lebih baik dalam tugas kognitif seperti eksperimen “jalan sambil bicara”. Dua perusahaan farmasi besar sedang menguji obat yang menghambat jumlah CETP, seperti yang dilakukan varian gen lansia seabad.
Barzilai dan mitranya juga meneliti mitokondria pada lansia yang menjadi subjek penelitiannya. Mitokondria adalah pembangkit listrik dalam sel, yang memiliki fungsi metabolisme yang penting. Barzilai dan timnya telah mengidentifikasi beberapa protein mitokondria, yang mereka sebut mitosin, yang banyak ditemukan pada orang yang hidup sampai usia 90-an dan di atas 100.
Salah satu molekul tersebut, humanin, sangat menjanjikan. Barzilai mengatakan bahwa satu suntikan humanin ke tikus pengidap diabetes menormalkan kadar glukosanya, dan dapat dikatakan menghilangkan gejala diabetes beberapa jam kemudian. Protein ini juga mencegah arteriosklerosis dan Alzheimer pada tikus yang rentan terhadap penyakit ini.
Program umur panjang Albert Einstein College of Medicine yang besar dan ambisius ini merupakan bagian dari perubahan besar yang melanda penelitian genetika manusia, yang dalam 20 tahun terakhir berfokus pada pencarian “gen penyakit”.
“Semua orang sibuk mencari gen penyebab diabetes dan kegemukan, dan semacam itu,” kata Barzilai. “Saya kira salah satu alasan kita tidak dapat menemukannya adalah karena kita juga memiliki gen pelindung.” Kini banyak peneliti berfokus pada pencarian gen pelindung tersebut, yang tampaknya mengekang dampak gen yang terkait dengan penyakit atau penuaan.
Salah satu gen yang paling menarik adalah FOXO3. Peneliti dari University of Hawaii menemukan varian gen itu pada orang Amerika keturunan Jepang di pulau Oahu. Gen ini juga berada pada jalur insulin-IGF-1 yang muncul baik dalam penelitian ragi dan cacing maupun pada populasi sindrom Laron di Ekuador.
Gen pelindung juga menjadi target penelitian di Scripps Translational Science Institute di California, tempat dokter Eric Topol dan mitranya memeriksa DNA sekitar seribu orang lansia bugar yang mereka sebut wellderly. Subjek penelitian mereka adalah lansia di atas 80 yang tidak memiliki penyakit kronis, seperti tekanan darah tinggi, penyakit arteri koroner, atau diabetes, dan belum pernah makan obat resep.
“Pasti ada gen istimewa yang menyebabkan kelompok ini terlindung dari gen perusak yang memengaruhi proses penuaan,” kata Topol. “Pencarian masih berlangsung.”!break!
Perlombaan mencari kunci umur panjang bahkan membawa ilmuwan ke rahim. Para peneliti di Einstein menengarai bahwa pola penuaan kita mungkin ditentukan sangat awal, mungkin sebelum kita lahir. Untuk menguji hipotesis ini, Francine Einstein dan John Greally memeriksa tanda kimia subtil pada DNA sel induk yang diambil dari darah tali pusat bayi yang lahir di Bronx.
Mereka menemukan bahwa pola tanda DNA pada bayi besar dan kecil sangat berlainan dengan bayi yang berukuran normal. Penelitian ini merupakan bagian dari bidang populer baru dalam biologi yang bernama epigenetika. Bidang ini mempelajari cara lingkungan membuat modifikasi kimia pada DNA dan dengan demikian menyebabkan perubahan seumur hidup pada aktivitas gen.
Barzilai menjelaskannya seperti ini, “Mungkin ada pengaruh di dalam rahim yang berdampak pada mekanisme genetis yang entah bagaimana mengatur laju penuaan kita.”
Namun, penyebab umur panjang tidak bisa dijelaskan dengan gen semata, dan para ahli memetik pelajaran dari hasil penelitian terbaru mengenai pembatasan kalori. Percobaan pada 41 model genetis tikus, misalnya, menunjukkan bahwa pembatasan asupan makanan memberikan hasil yang sangat bertentangan.
Dan, Agustus lalu, percobaan jangka panjang National Institute on Aging pada primata menyimpulkan, monyet yang mendapat asupan kalori terbatas selama 25 tahun tidak berumur lebih panjang daripada yang biasa. Passarino mengutarakan sebuah pendapat bagus.
“Tidak ada gen baik dan gen buruk,” katanya. “Pada akhirnya, gen mungkin hanya berkontribusi 25 persen bagi usia seseorang. Lingkungan juga berpengaruh, tetapi itu juga tidak dominan. Dan jangan lupa pada nasib.”
Hal tersebut mengingatkan saya pada Salvatore Caruso dari Molochio, yang kini berusia 107 tahun dan masih sangat sehat. Karena kakinya patah 88 tahun yang lalu, dia tidak bisa bertugas sebagai tentara Italia saat seluruh unitnya dikirim ke Perang Dunia II.
Katanya, “Tidak ada satu pun yang kembali.” Hal ini memperlihatkan, bahwa meskipun molekul dan mekanisme yang belum ditemukan itu suatu saat kelak dapat melahirkan obat yang membantu kita mencapai usia yang sangat tua dalam keadaan sehat, nasib tetap merupakan hal yang penting.