Everest Kian Riuh

By , Kamis, 23 Mei 2013 | 10:51 WIB

Satu jam di atas high camp di Southeast Ridge atau Punggungan Tenggara Everest, saya dan Panuru Sherpa melewati jasad pertama. Pendaki tak bernyawa itu berbaring miring, seakan sedang terlelap di salju. Sepuluh menit kemudian, kami mengitari jasad lain: tubuh perempuan itu terbungkus bendera Kanada. Saya dan Panuru sedang beriringan dengan rapat, mendaki dengan susah-payah, memanjat tali yang tertambat pada lereng terjal itu. Kini kami terjepit di antara orang asing di atas dan di bawah kami.

Sehari sebelumnya, di Camp III, tim kami merupakan bagian dari kelompok kecil. Tetapi, saat bangun pagi tadi, kami tertegun melihat barisan panjang pendaki yang lewat di dekat tenda. Kini, mengantre pada ketinggian 8.230 meter, kami terpaksa bergerak pada kecepatan yang persis sama dengan orang lain, tanpa me­mandang kekuatan atau kemampuan masing-masing. Dalam kegelapan berangin menjelang tengah malam, saya menengadah dan melihat untai cahaya, yaitu lampu kepala para pendaki, menanjak ke langit hitam.

Di atas saya terdapat seratus lebih pendaki yang bergerak lambat. Di sebuah bagian berbatu, setidaknya ada 20 orang yang terpaut pada seutas tali koyak. Tali itu tertambat pada sebatang pancang logam bengkok yang ditancapkan pada es. Jika pancang itu tercabut, tali atau karabinernya akan langsung putus akibat berat dua lusin pendaki yang jatuh, dan mereka semua akan terguling-guling menuruni lereng hingga menemui ajal. Saya dan Panuru, ketua Sherpa tim kami, me­lepaskan kaitan dari tali, menyimpang ke es yang terbuka, dan mulai mendaki solo—bagi pendaki gunung berpengalaman, pilihan ini lebih aman.

Dua puluh menit kemudian, ada jasad lagi. Masih terkait pada tali, dia sedang duduk di salju, beku membatu, wajahnya hitam, matanya terbuka lebar. Beberapa jam kemudian, sebelum Hillary Step, yaitu dinding batu 12 meter dan rintangan terakhir sebelum puncak, kami melewati satu jasad lagi. Mukanya yang berewok bersemu abu-abu, mulutnya menganga seolah mengerang akibat nyeri kematian. Belakangan, saya tahu nama keempat pen­daki ini: Ha Wenyi, usia 55, dari Cina; Shriya Shah-Klorfine, 33, Kanada-Nepal; Song Won-bin, 44, Korea Selatan; dan Eberhard Schaaf, 61, Jerman.

Ketika saya turun dari puncak dengan memakai crampon (alas bergerigi pada sepatu), melewati jasad mereka yang sedingin es, saya terpikir tentang duka nestapa yang akan dialami keluarga dan teman mereka saat mendengar beritanya. Saya juga memiliki teman-teman yang tewas saat mendaki gunung. Alasan se­benarnya akan kematian keempat orang ini masih belum jelas. Namun, banyak kematian di Everest baru-baru ini diperkirakan akibat kurangnya pe­ngalaman, hal yang berbahaya. Tanpa pelatihan yang cukup di ketinggian, sebagian pendaki tidak mampu menilai staminanya sendiri dan tidak tahu kapan semestinya berbalik dan ber­henti mendaki.

“Di antara semua orang di sini, hanya setengahnya yang memiliki cukup pengalaman untuk mendaki gunung ini,” Panuru memberi tahu saya. “Setengah yang tanpa pengalaman ini yang paling besar kemungkinan tewas.” Betapa berbedanya keadaan 50 tahun silam, ketika pada tanggal 1 Mei 1963, James Whittaker yang hanya ditemani oleh Sherpa Nawang Gombu, menjadi orang Amerika per­tama yang mencapai puncak dunia. “Big Jim” melakukannya dengan mendaki Southeast Ridge, jalur yang dirintis pada 1953 oleh orang Selandia Baru Edmund Hillary dan Sherpa Tenzing Norgay yang tiada banding.

Whittaker pernah mendaki Gunung McKinley beberapa tahun sebelumnya, dan itu perjalanan ketiga Gombu ke Everest. Tiga minggu setelah pendakian Whittaker dan Gombu, dalam langkah berani yang belum pernah terjadi, dua rekan setim Tom Hornbein dan Willi Unsoeld mendaki lewat jalur yang benar-benar baru, West Ridge. (Mereka berdua rekan satu tim pada Ekspedisi Karakoram Amerika-Pakistan 1960.) Pada hari itu juga, Barry Bishop dan Lute Jerstad me­­rampungkan pendakian Amerika kedua di Southeast Ridge. Kedua tim itu kebetulan bertemu di bawah puncak, tetapi saat itu sudah gelap. Mereka pun terpaksa berkemah di ke­tinggian 8.535 meter—pilihan terakhir yang nekat dan belum pernah dilakukan orang. Tanpa tenda, kantong tidur, kompor, Sherpa, oksigen, air, atau makanan, mereka tidak mengira dapat selamat. “Sungguh, mereka beruntung,” ujar Whittaker. “Andai waktu itu ada angin, mereka semua tentu tewas. Nasib yang mengerikan.”

Mereka berempat selamat—tetapi Unsoeld dan Bishop kehilangan 19 jari kaki. Dan, meski dua bulan sebelumnya pendaki Wyoming John “Jake” Breitenbach tewas dalam kecelakaan di Khumbu Icefall, ekspedisi Amerika 1963 itu menjadi kisah sukses yang heroik. Tim kami berada di Everest untuk mem­peringati ulang tahun ekspedisi itu. Namun, se­bagaimana yang kami lihat, gunung itu kini melambangkan semua hal yang salah dalam pendakian gunung. Tidak seperti pada 1963, ketika hanya enam orang sampai ke atas, pada musim semi 2012 lebih dari 500 orang menggerombol di puncak.

Saat saya tiba di puncak pada 25 Mei, tempat itu begitu padat sehingga saya tidak mendapat tempat berdiri. Sementara itu, di Hillary Step di bawah, antrean begitu panjang sehingga sebagian orang menunggu dua jam lebih, sambil gemetar dan semakin lemah—padahal cuacanya cerah. Andai kerumunan pendaki ini dilanda badai, seperti yang terjadi pada 1996, jumlah korban jiwanya pastilah dahsyat. Sejak dulu, Everest merupakan dambaan. Tetapi, setelah hampir 4.000 orang mencapai puncak­nya, beberapa lebih dari sekali, prestasi itu tidak memiliki makna seperti setengah abad silam.

Kini, sekitar 90 persen pendaki di Everest adalah klien yang dipandu, banyak di antaranya tidak memiliki keterampilan dasar mendaki. Setelah membayar sekitar Rp300 juta hingga Rp1,2 miliar untuk sampai di gunung itu, terlalu banyak orang berharap mencapai puncak tanpa kesulitan. Memang banyak yang berhasil, tetapi dalam kondisi mengenaskan. Kedua jalur standar itu, Northeast Ridge dan Southeast Ridge, tidak hanya terlalu padat pengunjung, tetapi juga kotor dan jorok. Sampah menyembul dari gletser, dan gundukan tinja mencemari kemah-kemah tertinggi.

Di samping itu, maut mengancam. Selain keempat pendaki yang meninggal di Southeast Ridge, enam orang lain kehilangan nyawa pada 2012, termasuk tiga orang Sherpa. Jelaslah, puncak tertinggi dunia ini sudah cacat. Tetapi, jika Anda berbicara dengan orang-orang yang paling mengenalnya, mereka pasti mengatakan bahwa keadaan di puncak itu masih dapat diperbaiki.!break!

Russell Brice, 60, mengelola Himalayan Ex­pe­rience, operator pemandu terbesar dan ter­canggih di Everest. Himex, demikian julukan­nya, telah memimpin 17 ekspedisi ke Everest, baik di sisi Nepal maupun sisi Cina. Brice, orang Selandia Baru yang pindah ke Cha­monix, Prancis, terkenal tegas. Setiap pendaki dan Sherpa dalam tim Himex diberi radio dan diwajibkan melapor setiap hari. Setiap orang juga diwajibkan me­ngenakan transceiver avalanche yang akan me­mancarkan sinyal saat terkubur avalans, helm, harnes, dan crampon, serta mengaitkan diri pada tali pengaman. (Pada musim semi 2012, seorang Sherpa dari tim lain tidak mengait­kan diri pada tali pengaman dan tewas saat ter­jatuh ke dalam rekahan es). Agar tidak me­­ngalami masalah, klien harus menyamai ke­cepatan tim, atau pulang.

Meskipun tim Brice relatif besar—sampai 30 klien yang didampingi oleh 30 Sherpa—mereka tak meninggalkan banyak jejak di gunung dan me­nyingkirkan semua tinja dan sampah. Hal ini tak dilakukan oleh sebagian besar tim lain. Upaya pembersihan oleh Komite Kontrol Polusi Sagarmatha, semacam dewan kota Everest, telah memperbaiki kondisi di Base Camp (tinja dimasukkan ke tong lalu dibuang), tetapi mereka belum membawa banyak dampak di tempat yang lebih tinggi di gunung. Camp II, 6.474 meter, benar-benar jorok. Camp IV sedikit lebih baik: kerangka tenda terbengkalai dan compang-camping, tertiup angin. “Jumlah pendaki yang banyak pasti ter­tangani seandainya semua operator saling ber­komunikasi,” Brice bersikeras. “Yang penting adalah komunikasi yang baik.”