Everest Kian Riuh

By , Kamis, 23 Mei 2013 | 10:51 WIB

Andai saja sesederhana itu. Masih ada faktor-faktor lain. Ironisnya, salah satu faktor itu adalah prakiraan cuaca yang lebih jitu. Dulu, ketiadaan informasi menyebabkan ekspedisi mencoba naik ke puncak bilamana anggota timnya sudah siap. Sekarang, dengan prakiraan satelit superakurat, semua tim tahu persis kapan periode cuaca baik akan terjadi, dan mereka sering mendaki ke puncak pada hari-hari yang sama. Faktor lain: Operator berbiaya rendah belum tentu memiliki staf, pengetahuan, atau peralatan yang baik untuk menjaga keselamatan kliennya jika terjadi masalah. Operator murah biasanya mempekerjakan Sherpa lebih sedikit, dan yang dipekerjakan pun kadang tidak berpengalaman.

“Semua klien yang meninggal di Everest setahun ini berangkat bersama operator berbiaya ren­dah yang kurang berpengalaman,” kata Willie Benegas, 44, pemandu gunung tinggi Amerika-Argentina. Bersama saudaranya, Damian, mereka adalah pemilik Benegas Brothers Expeditions, yang sudah memimpin 11 perjalanan ke Everest. Kedua bersaudara itu menuntut agar operator Nepal memenuhi standar yang sama dengan ope­rator internasional.

Selain itu, Kementerian Budaya, Pariwisata, dan Penerbangan Sipil di Nepal yang mengatur pendakian di Everest, se­mestinya menggalakkan pendidikan lebih baik bagi Sherpa agar mereka dapat melakukan tugas­nya sebaik pemandu internasional. Untuk mencegah kepadatan di gunung, sebagian orang mengusulkan pembatasan tak hanya total jumlah izin per musim, tetapi juga ukuran setiap tim menjadi maksimal sepuluh klien per tim. Sebagian lain merasa skeptis. “Itu tidak mungkin terjadi,” kata orang Se­landia Baru Guy Cotter, 50, pemilik Adventure Consultants, yang telah memimpin 19 eks­pedisi ke Everest. “Everest adalah bisnis besar bagi Nepal, dan mereka tidak mungkin me­nolak uangnya.”

Di Nepal, negara yang ber­penduduk hampir 30 juta jiwa, satu dari empat warganya hidup miskin. Negara itu sendiri sedang terombang-ambing. Perang saudara sepuluh tahun antara kaum Maois dan loyalis pemerintah berakhir pada 2006. Monarki kemudian dibubarkan dan pemerintah koalisi dibentuk. Tetapi, tujuh tahun terakhir ini sarat masalah, dengan partai-partai politik yang berseteru beroperasi di bawah undang-undang sementara. Sistem politiknya “begitu korup dan tidak becus,” kata Kunda Dixit, editor Nepali Times, “sehingga ketiadaan pemerintah malah menguntungkan, karena tidak ada yang mengambil keputusan keliru.”

Menurut Ang Tshering Sherpa, pemilik Asian Trekking, ekspedisi di Everest mengeluarkan dana hampir Rp120 miliar di Nepal pada musim semi 2012. Kementerian menerima biaya izin sebesar Rp30 miliar lebih, dari pendaki dalam 30 ekspedisi asing. “Anda harus ingat, Nepal sudah hampir menjadi negara gagal,” kata Cotter. “Menambah intervensi pemerintah malah akan menambah korupsi.” Dave Hahn, pemandu gunung tinggi sepakat. Mengharapkan pemerintah Nepal menerapkan solusi tidaklah realistis, katanya. “Semua operator Everest harus bersatu dan mengatur sendiri situasi ini.” “Kementerian merupakan birokrasi yang luas dan kacau-balau,” kata Conrad Anker, 50, yang memimpin ekspedisi yang didukung National Geographic pada 2012. “Dari tiga juta dollar (sekitar 30 miliar rupiah) yang dihasilkan dari biaya izin setiap tahun, hanya sejumlah kecil yang dimanfaatkan untuk gunung ini.” (Pihak kementerian dihubungi berulang kali untuk penulisan artikel, tetapi menolak berkomentar.)

Sepuluh tahun yang lalu, Anker, bersama istrinya, Jenni, mendirikan Khumbu Clim­bing Center (KCC) di desa Phortse untuk me­ningkatkan keterampilan pendakian para Sherpa, dan dengan demikian meningkatkan keselamatan bagi semua orang di Everest. Banyak di antara 700 lebih lulusan pusat itu kini bekerja pada berbagai operator di gunung itu. Memang para Sherpa inilah yang melakukan sebagian besar penyelamatan. Danuru Sherpa, lulusan KCC yang sudah 14 kali mencapai puncak Everest, mengatakan dia telah menyeret setidaknya lima orang menuruni gunung dan menyelamatkan nyawa mereka. “Salah satu masalah yang gamblang adalah klien tidak menghargai pengetahuan dan pe­ngalaman Sherpa,” kata Anker. Di satu sisi, ini sebagian karena para Sherpa sendiri. Sebagian besar Buddha Tibet, yang prinsip agama dan budayanya menghindari konfrontasi. “Kadang-kadang klien mengabaikan nasihat mereka, lalu mati,” kata Anker. “Tahun lalu adalah contohnya. Kami sedang berusaha membantu Sherpa bersikap lebih tegas.”

Meskipun berbagai masalah ini hadir, Everest tetaplah istimewa. Akan selalu ada orang yang ingin mendaki puncak tertinggi di dunia itu, karena berada di Everest lebih dari sekadar terimpit dalam kerumunan atau menemukan tumpukan sampah. Gunung ini begitu tinggi dan tak kenal ampun, sehingga menantang setiap pendaki untuk mencapai potensi terbaik dirinya dalam pendakian. Di Everest juga bersemayam keindahan.

Saya tak akan pernah lupa pemandangan me­nakjubkan dari tempat istirahat kami di Camp III, awan berarak di Western Cwm bagaikan avalans terbalik dalam gerak lambat. Atau derak crampon di labirin kristal di Khumbu Icefall, persis di atas Base Camp. Saya akan selalu mengenang pendakian bersama teman-teman di gunung itu. Saya memercayakan nyawa kepada mereka, dan mereka memercayakan nyawa kepada saya. Saat-saat seperti itulah yang menyebabkan para pendaki terus kembali ke Everest. Ini bukan sekadar soal mencapai puncak, tetapi soal menunjukkan rasa hormat bagi gunung itu dan menikmati perjalanannya. Sekarang, kitalah yang harus memulihkan kewarasan di puncak dunia.