Melancong ke Mars

By , Senin, 24 Juni 2013 | 11:13 WIB

“Tidak ada negeri yang asing; sang musafirlah yang asing.” —Robert Louis Stevenson.

Saya adalah anggota sebuah tim yang berisi lebih dari 500 orang. Dari California, kami menjelajahi Mars dengan robot tercanggih yang pernah dikirim ke planet lain. Saat saya menulis, Curiosity sedang melubangi batu di kawah Gale. Pekerjaan primitif ini mungkin tidak terkesan canggih.

Tetapi, justru sebaliknya. Perlu waktu sepuluh tahun rekayasa di Bumi dan enam bulan per­siapan di Mars untuk mencapai batu itu. Pe­ngeboran lubang sedalam lima sentimeter pada batu itu, dan pengambilan serpih seukuran pil KB darinya, akan memakan waktu beberapa minggu lagi.

Kami melakukan itu semua untuk men­cari bukti kimia, bahwa Mars tidak begitu berbeda dari Bumi—bahwa dulu planet ini juga dapat dihuni makhluk hidup. Saya seorang ahli geologi dan biasa melaku­kan kerja lapangan di Bumi. Biasanya saya ke lokasi hanya bersama segelintir rekan.

Kami ber­kendara ke daerah terpencil dengan truk, atau naik helikopter, atau pesawat terbang kecil. Kemudian kami berjalan jauh. Perencanaan kegiatan lapangan hanya perlu waktu beberapa bulan, bukan satu dasawarsa. Dan, saat ingin mengambil sampel batu, saya tinggal mengeluar­kan martil, dan memecah bongkahan batu.

Pengambilan sampel hanya perlu beberapa menit, bukan minggu. Setelah kembali ke lab, kami meng­analisis sampel dalam beberapa hari, tidak sampai berbulan-bulan seperti yang dibutuhkan Curiosity. Di Bumi maupun di Mars, kerja lapangan memerlukan banyak latihan—tetapi di Mars skalanya jauh berbeda.

Pertama, kita perlu sekelompok insinyur ce­­merlang sekadar untuk memikirkan cara meng­­gunakan palu atau bor. Di Laboratorium Pro­pulsi Jet di Caltech, mereka berlatih dengan saudara kembar Curiosity selama ber­tahun-tahun.

Mereka menguji puluhan ribu baris kode komputer yang memerintahkan lengan robot sepanjang dua meter, untuk memastikan mereka dapat melakukan ratusan gerakan yang diperlukan untuk meletakkan bor 30 kilogram dengan ringan, pada target seukuran kacang polong. Kami mengebor banyak batu sungguhan, lalu kami membuat batu palsu dan itu kami bor juga, karena kami cemas bahwa batu di Mars mungkin berbeda.!break!

Kami yakin cuacanya pasti berbeda. Variasi suhu harian sebesar 100 derajat Celsius di Mars akan menyebabkan seluruh penjelajah itu, termasuk mata bornya, memuai dan me­nyusut. Jadi, kami harus memikirkan cara agar penjelajah itu tidak tersangkut. Kami juga khawatir apakah bubuk yang terbentuk akibat pengeboran akan menggumpal dan menyumbat tabung dan tapis kecil di lab kimia robot. Kami mencemaskan banyak hal kecil.

Kemudian, setelah kami menanggung “teror tujuh menit” yang terkenal saat derek langit (sky crane) meletakkan Curiosity perlahan-lahan di Mars, kami menanggung resah selama enam bulan. Kami harus sangat berhati-hati meng­operasikan kendaraan baru senilai Rp24 miliar itu.

Ketika saya mengayun palu di Bumi, se­sekali saya meleset dan mengenai tangan yang memegang pahat. Di Mars, kami benar-benar tidak mau sampai bor atau palu tumbuk mengenai si penjelajah, sedikit pun. Lengan itu dibuat dengan sesedikit mungkin ruang main pada sendinya, dan ribuan baris kode komputernya sudah diperiksa berulang-ulang—tetapi kami tetap tidak tahu bagaimana persisnya semua itu akan berfungsi di Mars, sampai mencobanya langsung.

Salah satu pe­nyebabnya, gravitasi di sana sekitar sepertiga gravitasi Bumi. Jadi, puluhan kegiatan yang sudah pernah kami latih di California, kami latih lagi di Mars, dalam langkah-langkah sangat kecil. Setelah enam bulan, kami siap mengebor.

Jadi, apa sebenarnya bubuk berharga yang kami cari ini, ibarat para penjelajah masa silam yang berburu rempah-rempah ke Nusantara? Curiosity sedang mencari bukti bahwa dulu kehidupan mungkin ada di Mars—mencari lingkungan yang dapat mendukung kehidupan mikrob dan mencari molekul organik yang mungkin dihasilkan mikrob tersebut.