Semua Berawal dalam Kekacauan

By , Senin, 22 Juli 2013 | 12:31 WIB

Butir debu itu diambil dari ekor komet yang terletak lebih dari 350 juta kilometer dari Bumi. Sekarang, di bawah mikroskop elektron di sebuah lab bawah tanah, debu itu membesar, sampai memenuhi layar komputer. Menilik suatu petak gelap yang me­nyerupai tebing bergerigi, Dave Joswiak me­naikkan perbesaran hingga 900.000.

Petak itu berubah menjadi butir-butir mungil hitam pekat. “Sebagian butir ini hanya berukuran be­berapa nanometer—itu amat-sangat kecil,” kata Joswiak. “Kami menduga debu ini bahan purba yang membentuk segala sesuatu di tata surya, dan tidak berubah sejak dulu.”

Butir debu itu diberi nama: Inti, seperti dewa matahari bangsa Inca. Mungkin hampir selama 4,5 miliar tahun ini debu itu membeku di luar Neptunus, di dalam komet Wild 2 (diucapkan VILT). Puluhan tahun lampau, entah bagai­mana, Wild 2 mulai bergerak dalam orbit yang membawanya melewati Yupiter, dan di sana mulai hancur terkena panas matahari.

Pada Januari 2004, pesawat antariksa NASA ber­nama Stardust melesat lewat Wild 2 dan men­jaring ribuan butir debu dengan perangkap yang terbuat dari aerogel—bahan kaca yang meng­gembung. Dua tahun kemudian, kapsul yang membawa kargo rapuh ini berparasut ke padang pasir Utah, Amerika Serikat. Tim Stardust mengeluarkan debu itu dari gel tersebut dengan hati-hati, meletakkannya di mikroskop elektron. Mereka tercengang melihatnya.

Kalangan ilmuwan sudah lama tahu bahwa planet, komet, dan benda langit lain yang me­ngitari matahari lahir sekitar 4,5 miliar tahun silam dari cakram debu dan gas yang berputar, disebut nebula matahari. Mereka sudah lama berasumsi bahwa benda-benda itu terbentuk kira-kira di tempatnya kini mengorbit. Di alam dingin di luar Neptunus, bahan yang tersedia untuk membentuk komet diduga merupakan campuran es dan debu halus yang kaya karbon.

Tetapi, butir-butir hitam Inti mengandung mineral eksotis—butir batu dan logam keras seperti wolfram dan titanium nitrida, yang hanya mungkin terbentuk di dekat matahari yang baru lahir, pada suhu di atas 1700 derajat Celsius. Tentu ada proses dahsyat yang me­lontarkannya ke tata surya luar.

“Kami terkesima,” kata Donald Brownlee, kepala tim Stardust dan atasan Joswiak. “Men­cengangkan bahwa bahan bersuhu tertinggi ini ditemukan dalam benda terdingin di tata surya. Tata surya kita benar-benar kacau-balau.”

Semasa kita kecil, tata surya tampaknya tak pernah bertingkah. “Sembilan planet beredar dalam orbit yang ajek dan tak berubah, se­lamanya,” kata Renu Malhotra dari University of Arizona. Alat mekanis yang indah bernama orrery mencerminkan konsep ini, yang berasal dari Isaac Newton. Pada akhir abad ke-17, Newton menunjukkan bahwa orbit planet dapat di­hitung dari interaksi gravitasinya dengan mata­hari.!break!

Tak lama kemudian para pembuat jam pun membuat orrery yang semakin rumit, dengan planet perunggu mengitari matahari pada lintasan yang tak pernah berubah. Newton sendiri tahu bahwa kenyataannya lebih amburadul. Dia menyadari bahwa planet juga tentu berinteraksi satu sama lain.

Tarikan gravitasinya jauh lebih lemah daripada matahari, tetapi seiring waktu berpengaruh juga pada lintasan tetangganya. Akibatnya, seperti kata Brownlee, “tidak ada yang namanya orbit lingkaran.” Pada prinsipnya, tarikan gra­vitasi yang tiada henti dapat memperbesar pe­nyimpangan kecil ini sehingga orbit berpindah, ber­potongan, atau kacau dalam segi lain.

Newton menyimpulkan bahwa Tuhan tentu turun tangan dari waktu ke waktu untuk me­mulihkan ketertiban. Namun, dia tidak tahu kapan. Dia tidak punya rumus untuk meng­hitung orbit beberapa benda langit yang tarik-menarik untuk waktu yang jauh ke depan. Pada kenyataannya, tidak ada yang melihat bukti bahwa orbit planet pernah berubah. Jadi, konsep tata surya yang ajek tetap bertahan.

Namun, dalam sekitar satu dasawarsa ter­akhir berkembang pandangan yang jauh lebih dramatis. Ratusan juta tahun setelah terbentuk, planet-planet terbesar tersapu ke orbit baru, meng­hembalangkan bebatuan besar dan komet ke segala arah.

“Siapa sangka bahwa planet raksasa bisa ber­pindah, bahwa seluruh susunan tata surya bisa berubah?” kata Alan Stern dari Southwest Research Institute di Boulder, Colorado. Tanda-tandanya memang ada, kata Stern. Namun, meng­ungkapkannya diperlukan survei teleskop baru, serta “orrery digital”—algoritme pintar yang menggunakan ketangguhan kemampuan hitung komputer untuk menghitung orbit planet di masa lalu dan masa depan.