Semua Berawal dalam Kekacauan

By , Senin, 22 Juli 2013 | 12:31 WIB

Petunjuk pertama berasal dari Pluto. Benda ini melenceng jauh di atas dan di bawah bidang datar yang dilalui kedelapan planet. Pluto menukik dalam orbit lonjong yang mem­bawanya ke tempat 30-50 kali jarak Bumi ke matahari. Tetapi, yang paling menarik soal Pluto adalah hubungannya dengan Neptunus. Hal ini disebut resonansi: Setiap tiga kali Neptunus mengorbit matahari, Pluto mengorbit dua kali, dan sedemikian rupa sehingga kedua planet ini tidak pernah berdekatan.

Pada 1993, Renu Malhotra menyusun teori soal kemungkinan cara berkembangnya sinkronisasi tersebut. Dia mengajukan bahwa ke­tika tata surya masih muda serta dipenuhi aste­roid dan komet, Neptunus lebih dekat dengan matahari. Jika ada benda langit yang men­dekati Neptunus, gravitasi planet yang kuat dapat melemparkannya ke arah matahari atau keluar sama sekali dari tata surya.

Karena aksi menimbulkan reaksi, orbit Neptunus juga ber­geser sedikit. Model komputer Malhotra me­nunjukkan bahwa biasanya hal itu menyebabkan Neptunus bergerak menjauhi matahari. Dalam skenarionya, hal inilah yang menyebabkan planet ini “menangkap” Pluto, yang sudah ber­ada lebih luar, dan memasukkannya ke dalam barisan gravitasi.!break!

Malhotra terbukti benar satu dasawarsa ke­mudian. Di sabuk Kuiper, wilayah gelap yang mem­bentang jauh melampaui Neptunus, teleskop menemukan banyak Plutino—dunia kerdil beku yang sama-sama memiliki resonansi dua banding tiga dengan Neptunus. Menurut Malhotra, hal itu hanya mungkin terjadi jika Nep­tunus mendekati Sabuk Kuiper seperti pukat gravitasi, menjaring banyak planet kerdil ke orbit baru.

“Begitu Plutino ditemukan, teori ini tidak terbantahkan lagi,” ujar Malhotra. “Migrasi planet jadi pemikiran yang diakui umum.”   

Gagasan migrasi planet ini muncul saat para ilmu­wan planet dibingungkan oleh beberapa fitur tata surya lain. Pada awal 2000-an, mereka telah lama menyadari bahwa pembentukan tata surya penuh prahara. Planet-planet membesar hingga ukuran saat ini dengan menyerap pla­nete­simal—asteroid berbatu, komet es, dan benda yang lebih besar—yang menabraknya dengan kecepatan tinggi. Ini mungkin terjadi dalam 100 juta tahun pertama.

Yang membingungkan, prahara besar ini tidak berakhir di sini. Ratusan juta tahun ke­mudian, bulan mengalami serangkaian benturan besar yang menyebabkan permukaannya bo­peng dengan kawah-kawah besar. Masa yang disebut Late Heavy Bombardment (Bombardir Berat Akhir) ini mem­berondong Bumi dengan lebih dahsyat lagi.

Para ilmu­wan tidak punya penjelasan yang baik soal pemicunya, karena pada saat peristiwa itu planet telah menyapu sebagian besar puing di orbitnya. Teleskop mengungkap teka-teki yang sama di sabuk Kuiper. Selain Plutino, sabuk itu dipenuhi benda-benda dengan orbit yang sangat berbeda-beda.

Beberapa benda itu berkelompok dalam cakram datar, beberapa dalam awan berbentuk donat gembung; beberapa memiliki orbit yang bahkan jauh lebih eksentrik (istilah teknis untuk lonjong) daripada orbit Pluto. “Seperti kapal pecah,” kata Harold Levison, rekan Stern di Southwest Research Institute. Migrasi mulus Neptunus ke luar, yang digunakan Malhotra untuk menjelaskan Plutino, tidak mungkin me­nebarkan puing seluas ini.

Sementara itu, para astronom mulai me­nemu­kan planet di sekitar bintang lain—dan mu­lai secara radikal memperluas pemikiran me­reka tentang apa saja yang sebenarnya mung­kin terjadi dalam sebuah sistem planet. Ada yang orbitnya berdempetan, jauh lebih dekat daripada planet-planet di tata surya kita. Bahkan, ada planet yang melayang bebas di ruang antarbintang.!break!

Semua planet ini tidak sesuai dengan kon­sep bahwa planet lahir di cakram berputar di sekitar bintang lalu duduk manis di tem­pat kelahirannya. Proses itu seharusnya meng­hasil­kan orbit hampir lingkaran yang berjauhan, seperti yang ditampilkan orrery kuningan.

Jelas ada banyak planet yang bermigrasi, tetapi migrasi tenang tampaknya tidak menjelaskan orbit ekstrem dan Bombardir akhir, setidaknya menurut anggapan Levison. Dia mulai curiga bahwa sejarah tata surya kita sama sekali tidak tenang. Pada 2004, dia berkumpul dengan tiga rekan saat cuti panjang di Nice, Prancis, untuk berusaha memikirkan kejadiannya.