Mereka menemukan bahwa sirkuit saraf kita terlibat untuk mencari tahu seperti apa rupa pemandangan itu. Walaupun sebenarnya, secara sadar kita tahu kalau benda sebenarnya bukanlah wajah asli.
Respons pengenalan wajah ini terjadi secepat kilat di otak kita: hanya dalam beberapa ratus milidetik.
"Kita tahu objek-objek ini bukanlah wajah yang sebenarnya, namun persepsi wajah tetap ada,” kata Profesor Alais dalam rilis.
"Kami berakhir dengan sesuatu hasil yang aneh, pengalaman paralel bahwa itu memanglah wajah, dan [itu hanya sebagai] objek yang menarik. Dua hal sekaligus. Kesan pertama dari bahwa itu adalah wajah tidak memberikan jalan pada persepsi yang kedua terhadap objek."
Alais dan tim meminta 17 partisipan percobaan untuk melihat serangkaian lusinan wajah ilusi dan manusia. Tak hanya sekali, mereka dipaparkan beberapa kali, lalu menilai kekuatan emosi masing-masing lewat komputer.
Baca Juga: Senyum Berjuta Makna, Berhati-hatilah Di Mana Kita Tersenyum
Sebagian besar para partisipan setuju dengan adanya ekspresi yang ditunjukan oleh wajah pareidolia, tulis para peneliti.
Bias persepsi itu muncul berdasarkan ekspresi wajah sebelumnya, lewat ekspresi wajah manusia juga. Akibatnya, ilusi memahami ekspresi wajah ikut bercampur dalam pandangan kita.
Misalnya, kalau Anda melihat wajah yang bahagia, akan sangat memungkinkan akan melihat ekspresi bahagia pula pada benda pareidolia berkutnya.
"Kondisi 'cross-over' ini penting karena menunjukkan proses ekspresi wajah mendasar yang sama yang terlibat terlepas dari jenis gambarnya," terang Alais. “Ini berarti melihat wajah di awan lebih dari sekadar fantasi anak-anak."
Bias ini dapat diamati pada wajah asli, dan ilusi yang terjadi menunjukkan otak memprosesnya dengan cara yang sama. Bahkan, dalam transmisi secara biologisnya juga menggunakan jaringan saraf yang sama.
Baca Juga: Eva, Robot Kecerdasan Buatan yang Dapat Meniru Ekspresi Wajah Manusia