Pengguna Ski Pertama

By , Kamis, 21 November 2013 | 12:51 WIB

Mereka merebus sepotong daging kuda asin dan makan dengan lahap dalam keheningan bahagia. Lalu, dengan cepat terlelap dengan ber­selimut. Sulit menemukan tempat yang nyaman di antara panas tungku dan cuaca dingin yang ganas. Saya berbaring terjaga men­dengarkan lolongan serigala, bertanya dalam hati, seberapa jauh rusa besar itu akan mengajak kami masuk ke perut gunung.

Keesokan paginya, termometer menunjukkan angka minus 40°C dan selimut kami tampak putih dan beku. Kelima pemburu muncul dari bawah selimut dengan wajah pucat bagai­kan mayat. Lingkaran salju yang meleleh di sekitar perapian telah membeku kembali men­jadi kepingan es keperakan. Kepingan es itu dibongkar, api kembali dinyalakan, teh hitam direbus. Tanpa berkata apa pun, mereka memegang mangkuk yang mengepul dengan kedua tangan. Setelah menyeruput beberapa kali, mereka pun segar kembali.

Beberapa jam setelah matahari terbit, suhu menghangat hingga minus 29, dan semua orang mulai mendaki dengan ski. Mereka tidak pernah tergelincir. Lereng sangat curam sehingga mereka menggunakan taiyak seperti dayung untuk menarik tubuh ke depan. Seperti yang diduga, saat menyisir punggung bukit, mereka menemukan jejak kaki dua ekor rusa jantan meliuk-liuk melalui pepohonan.

Kami mengikuti jejak itu ke tebing yang me­nukik tajam dari sisi belakang gunung. Tanpa ragu, Tursen melompat dari bukit dan teman-temannya langsung mengikutinya. Tubuh mereka melenting ke belakang di atas ski, kaki direntangkan lebar, lengan menggenggam taiyak seperti kemudi. Mereka bermanuver me­lalui pohon yang tebal, menerpa semak belukar, dan dengan nekat melompati batu besar yang tertutup salju. Mereka terbang enam meter di udara sebelum mendarat keras dan menghamburkan salju ke udara.

Tursen menemukan jejak rusa besar dan me­ngikutinya ke lembah berikutnya, lalu mendaki sepanjang lereng bukit yang ber­lawanan, kemudian berhenti. “Mereka dapat mencium kita,” katanya.

Dia memutuskan agar kami berada jauh di atas hewan itu, supaya angin menyapu bau tubuh kami. Kami bergerak tanpa suara, ber­baris melintasi bubungan rendah dan menikung keluar dari lereng gunung. Tiba-tiba, di depan, Serik dan Tursen berteriak dan mengacungkan taiyak. Mereka melihat kedua ekor rusa jantan jauh di bawah dekat pohon birch. Dalam sekejap, mereka terjun menuruni gunung, dengan cekatan meliuk-liuk di antara pepohonan. Dalam hitungan detik, mereka berhasil mendekati kedua rusa besar itu. Kedua­nya berlari menuju tumpukan pokok kayu yang tebal. Namun, kelima pe-ski, dengan bekerja sama, mengelilingi dan mendesak mereka kembali ke tempat terbuka. Di tempat terbuka itu, salju begitu dalam sehingga seakan-akan kedua rusa itu berenang di dalamnya.

Sambil mengayunkan laso, Serik meluncur di dekat rusa yang lebih besar. Tepat pada saat dia melemparkan talinya, rusa itu menunduk, dan laso itu pun gagal menjerat sasarannya. Saat berikutnya, rusa besar itu menerjang Tursen, yang menghalangi jalan pelariannya ke dalam hutan. Tursen terjengkang dengan skinya, menikam binatang itu dengan taiyak-nya.!break!

Saat Serik mengayunkan laso lagi, rusa besar yang marah melangkah mundur dan menjejak salju, menyapu udara dengan tanduknya, berniat untuk menusuk Tursen atau menendangnya sampai mati. Tursen, yang tergeletak, memegang taiyak-nya seperti tombak untuk melindungi diri. Bahkan, saat laso yang berputar mendarat pada tanduk, Serik tetap menariknya kuat-kuat. Rusa itu menegangkan otot lehernya yang besar, dan dengan ganas mengayunkan tanduk­nya kian-kemari, mencoba melepaskan laso itu. Setelah dua jam, kedua binatang itu bertekuk lutut, kaki terentang, dadanya kembang kempis, lubang hidung melebar setiap kali menarik napas, laso yang menjerat tanduk mereka diikatkan ke pohon. Mereka menyerah.

Saya tidak pernah memercayai sanggahan Serik dan Tursen bahwa mereka tidak pernah mem­bunuh binatang apa pun. Rusa adalah daging bagi keluarga mereka, kulit dan tanduk dijual untuk mendapatkan uang. Dalam ke­gairahan itu, saya berharap mereka akan kembali pada naluri dan warisan leluhurnya, menghunus pisau, dan menyembelih tenggorokan rusa yang kelelahan itu. Namun, mereka tidak me­laku­kannya. Kedua pemburu itu saling melirik, me­natap saya, lalu melepaskan laso dari tanduk kedua hewan itu.

Seminggu kemudian, saat meninggalkan Aukoram, terdengar berita dari kelompok lain yang menemukan bangkai dua ekor rusa jantan. Kawanan serigala telah melahap mereka.