Jejak Hutan di Tanah Rakyat

By , Kamis, 20 Februari 2014 | 14:16 WIB

Nisro, ketua asosiasi menegaskan, petani salak perlu sentuhan yang berbeda. “Di sini cukup makmur dari hasil salak. Kalau tidak butuh, petani justru tidak mau menebang pohonnya,” jelas mantan kepala desa Kalimendong ini.

Kini, dengan berbekal potensi salak, Asosiasi membentuk Koperasi Simpan Pinjam Hutan Rakyat Lestari yang memiliki 63 anggota. “Ini koperasinya hutan rakyat yang harapannya mau mengerti dan melayani petani hutan rakyat. Dengan agunan pohon, entah salak, sengon, atau apa saja yang memiliki nilai ekonomi,” Nisro mengisahkan.

Koperasi sudah mendapatkan pinjaman  100 juta rupiah dari Bank Jateng, dan akan kem­bali mengajukan kredit. Koperasi telah me­nyalurkan kredit ke petani baru sejumlah 50 juta rupiah. Sebanyak 35 anggota Asosiasi juga telah mendapatkan kredit dari Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Kehutanan dengan nilai 200 juta rupiah. Kredit itu untuk tunda tebang dengan jaminan pohon sengon.

bernandus sad windratno menjawil pundak saya. “Minggir, sebentar lagi tumbang,” tutur Win, sapaan akrabnya. Ia adalah ketua Koperasi Wana Lestari Menoreh. Pohon mahoni berdiameter 50 sentimeter lebih dengan tinggi 20 meter itu telah miring. Sang penggergaji Heru Sutrismianto saksama mengarahkan gigi gergaji mesin, menggerus takik agar rebah. Lima orang menarik tali yang diikatkan di pucuk buat mencegah mahoni roboh ke arah sebaliknya. Detik-detik rebahnya pohon menjadi waktu kritis: mahoni bisa menimpa sebuah rumah yang membatasi lahan tegalan.

Krakkk…bedebum! Daun-daun berguguran, empasan pohon menggetarkan udara. Mahoni tumbang ke arah tengah lahan. Kru penebang dari Koperasi Wana Lestari Menoreh, Kulon­progo, Yogyakarta, menghela napas lega.

Penilai kayu (grader) Min Cahyono mulai mengukur diameter dan membagi panjang pohon milik Sumanah di desa Pagerharjo, Samigaluh. Dengan pensil arang, ia menerakan panjang dan diameter, juga keterangan pada tonggak kayu, yang tercatat pula pada lembar laporan pemanenan hasil.

Sumanah yang mengirimkan ransum camilan siang hari itu enggan menuturkan mengapa memanen delapan mahoni di persilnya itu. “Ada butuh,” tuturnya lirih sambil tersenyum malu-malu. Dari rekan Win saya tahu, hasil penebangan digunakan untuk membiayai sekolah cucunya di Cileduk, Tangerang.

 Win menuturkan hutan rakyat yang di­miliki perseorangan, saat menanam pertama kali memang diniatkan untuk dipanen kala ada kebutuhan. “Bila dikelola sebagai unit mana­jemen, memang harus ada pendidikan. Artinya, menumbuhkan satu pandangan bahwa pemanenan harus lestari. Kerja kerasnya adalah mendidik pemilik hutan rakyat untuk saling bersinergi,” terang lelaki berkacamata tebal ini.

Koperasi yang telah bersertifikat hutan lestari dari Forest Stewardship Council (FSC— sebuah organisasi nirlaba dunia yang mempromosikan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab) ini mencakup hutan rakyat di empat kecamatan: Samigaluh, Kalibawang, Nanggulan, dan Girimulia dengan 1.127 anggota.

Luas areal tebang tahunan mencapai 647 hektare dengan potensi seluruhnya 852 hektare. Untuk menjamin kelestarian hasil, koperasi menentukan jatah tebang tahunan yang menjadi batas pemanenan. Jatah tebang tahunan jati misalnya, 566 meter kubik, atau mahoni, 470 meter kubik setahun. Total jatah tebangan sebesar 1.700 meter kubik meliputi jati, sengon, sonokeling dan mahoni. “Empat jenis pohon itu yang masuk dalam sertifikat FSC. Dan kita tidak bisa melebihi jatah tebangan untuk menjaga kelestarian kayu,” jelas Win.

Untuk mencegah tebang butuh yang me­langgar tata laksana pengelolaan, koperasi bekerja sama dengan Credit Union Kharisma Taliasih (Cukata) yang modalnya dari anggota. “Untuk mempertahankan kelestarian, memang tak cukup dengan sebatas visi. Kita juga harus mampu menjawab tantangan kebutuhan masyarakat,” ungkapnya.

Dari koperasi simpan pinjam itu, pemilik yang hendak membalak pohon yang belum masak tebang mendapat dana talangan. Karena itu, koperasi mendorong anggotanya sekaligus menjadi anggota Cukata. Itu juga tidak mudah. Hingga kini, belum sampai 20 persen anggota koperasi yang tergabung dalam Cukata. “Baru sekitar 35 anggota Koperasi yang mendapat kredit tunda tebang dengan jaminan kayu-kayunya. Besarnya kredit senilai 60 persen harga taksiran kayu. Kalau harga taksiran senilai Rp10 juta misalnya, kreditnya enam juta rupiah.”!break!