Angin berembus menggoyang pucuk-pucuk kembang pohon jati. Musim kering datang terlambat, udara mengambang lembap. Sebagian bunga jati, yang disebut opo dalam bahasa Jawa, luruh ke tanah. Pada sekeping tanah di sudut tikungan di Girisekar, Kecamatan Panggang, Gunungkidul, Yogyakarta, Andreas Sihono menepuk-nepuk batang jati muda. “Ini tumbuh sendiri,” ujarnya bangga. Pohon itu tumbuh di atas tunggul jati yang dia tebang pada 2004. “Untuk membiayai sekolah anak, saya menebang enam pohon, dapat Rp25 juta,” tutur lelaki 62 tahun ini.
Air muka Sihono mengguratkan rasa tenteram: masa kini dan masa depannya ada di tanah itu. Saya sempat iri hati. Betapa tidak? Kerumunan jati itu baru salah satu hutan yang dia miliki. Hanya beberapa meter dari situ,di belakang rumah Sihono yang bergaya limasan, menjulang bukit kapur kecil berbatu-batu dengan sejumlah ceruk mirip gua. Bukit diselimuti jati, mahoni, akasia, dan beberapa rumpun bambu. Rimbun dan teduh memayungi rumahnya yang berdiri di sisi tanah yang datar. Ia pernah memeluk jati paling besar. Kedua tangannya tak temu-gelang ketika merangkul pohon berdiameter sekitar 70 sentimeter itu.
Tumbuhan berkayu yang muncul di tanah milik perseorangan inilah yang kerap disebut hutan rakyat atau hutan hak. Cara menanamnya macam-macam. Areal berbatu-batu ditanami penuh pepohonan, sehingga serasah menyamarkan bongkahan batu. Atau, secara tumpang sari: Pohon ditanam di tepi batas lahan, sementara di tengah lahan yang bertanah tebal ditumbuhi tanaman semusim seperti singkong dan jagung.
Sebelum era 1970-an, Sihono mengenang, lahan-lahan hanya ditanami singkong sebagai sumber bahan pangan. Pohon berkayu dipandang tidak bermanfaat. “Ya sayang kalau ditanami pohon, soalnya bahan makannya dari singkong untuk tiwul.”
Semenjak 2006, keping-keping hutan rakyat yang tumbuh di tanah-tanah milik itu menapaki sebuah lembaran baru: tercakup dalam unit manajemen Paguyuban Kelompok Tani Sekar Pijer yang bergabung dalam Koperasi Wana Manunggal Lestari.
Sejak berdiri pada 2006, Wana Manunggal Lestari telah menggenggam sertifikat pengelolaan hutan lestari dari Lembaga Ekolabel Indonesia. Pada 2012, koperasi itu meraih sertifikat verifikasi legalitas kayu. Itu berarti pengelolaan hutan rakyat anggota Wana Manunggal dijamin lestari. Selain itu kayu-kayu yang dipanen dijamin berasal dari sumber-sumber yang legal.
Selama ini, pemilik hutan rakyat memanen kayu saat ada kebutuhan mendesak yang disebut ‘tebang butuh’. Misalnya saat sekolah memulai ajaran baru, atau saat hajatan akan dilangsungkan. Tebang butuh mencederai kelestarian karena pembalakan dilakukan tanpa menimbang kepantasan diameter pohon—yang umumnya belum ‘masak tebang’.
Ketua Koperasi Wana Manunggal Lestari, Sugeng Suyanto menuturkan tak jarang pohon-pohon berdiameter kecil ditebangi untuk memenuhi kebutuhan. “Masih kecil-kecil sudah ditebang, kadang baru sebesar lengan,” tuturnya kepada saya di rumahnya di Dengok, Playen.!break!
Dari jalan di lambung bukit, gergaji mesin terdengar meraung-raung. Lebatnya kebun salak menyembunyikan arah suara. Pagi itu, Mulyadi, sekretaris II Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat Wonosobo, membonceng saya meniti jalan desa menjelajahi hutan rakyat di Kalimendong, Leksono, Wonosobo, Jawa Tengah. Pepohonan sengon tumbuh menjulang di antara tanaman salak. Mulyadi menuntun saya melewati jalan setapak menuju sumber suara gergaji yang terdengar makin lantang.
“Area, area, area….” Teriakan dalam bahasa lokal, yang berarti tahan-tahan-tahan, itu tenggelam oleh raungan gergaji mesin. Purwono bersama enam kawannya mengarahkan rebahnya pohon sengon berdiameter 45 sentimeter.
Agar tak menimpa tanaman salak, pohon yang ditebang itu mesti jatuh di tanah kosong di sela-sela tumbuhan salak yang penuh duri. Sardi dengan cekatan melingkarkan tali laso ke pohon salak; disangga tongkat yang ujungnya bercabang dua, Sardi menarik kuat-kuat laso. Dalam sekejap pelepah daun-daun salak itu menangkup terikat. “Jadi kita tidak terkena duri salak,” tuturnya.
Melalui teknik yang disebut ‘tebang kerek’, Mulyadi menuturkan penebangan dilakukan secara bertahap. “Dimulai dengan menggergaji pangkal pohon, lalu pelan-pelan direbahkan di tanah yang kosong,” jelasnya di antara keriuhan suara para penebang.
Di pagi yang mendung, saya melihat tebang butuh di Kalimendong. Penebangan dilakukan tanpa catatan administrasi kayu, seperti tanda pemilik lahan, lokasi tebang, atau diameter pohon. Mulyadi pernah menghitung tebang butuh di sana rata-rata 200 meter kubik sehari.
Nisro, ketua asosiasi menegaskan, petani salak perlu sentuhan yang berbeda. “Di sini cukup makmur dari hasil salak. Kalau tidak butuh, petani justru tidak mau menebang pohonnya,” jelas mantan kepala desa Kalimendong ini.
Kini, dengan berbekal potensi salak, Asosiasi membentuk Koperasi Simpan Pinjam Hutan Rakyat Lestari yang memiliki 63 anggota. “Ini koperasinya hutan rakyat yang harapannya mau mengerti dan melayani petani hutan rakyat. Dengan agunan pohon, entah salak, sengon, atau apa saja yang memiliki nilai ekonomi,” Nisro mengisahkan.
Koperasi sudah mendapatkan pinjaman 100 juta rupiah dari Bank Jateng, dan akan kembali mengajukan kredit. Koperasi telah menyalurkan kredit ke petani baru sejumlah 50 juta rupiah. Sebanyak 35 anggota Asosiasi juga telah mendapatkan kredit dari Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Kehutanan dengan nilai 200 juta rupiah. Kredit itu untuk tunda tebang dengan jaminan pohon sengon.
bernandus sad windratno menjawil pundak saya. “Minggir, sebentar lagi tumbang,” tutur Win, sapaan akrabnya. Ia adalah ketua Koperasi Wana Lestari Menoreh. Pohon mahoni berdiameter 50 sentimeter lebih dengan tinggi 20 meter itu telah miring. Sang penggergaji Heru Sutrismianto saksama mengarahkan gigi gergaji mesin, menggerus takik agar rebah. Lima orang menarik tali yang diikatkan di pucuk buat mencegah mahoni roboh ke arah sebaliknya. Detik-detik rebahnya pohon menjadi waktu kritis: mahoni bisa menimpa sebuah rumah yang membatasi lahan tegalan.
Krakkk…bedebum! Daun-daun berguguran, empasan pohon menggetarkan udara. Mahoni tumbang ke arah tengah lahan. Kru penebang dari Koperasi Wana Lestari Menoreh, Kulonprogo, Yogyakarta, menghela napas lega.
Penilai kayu (grader) Min Cahyono mulai mengukur diameter dan membagi panjang pohon milik Sumanah di desa Pagerharjo, Samigaluh. Dengan pensil arang, ia menerakan panjang dan diameter, juga keterangan pada tonggak kayu, yang tercatat pula pada lembar laporan pemanenan hasil.
Sumanah yang mengirimkan ransum camilan siang hari itu enggan menuturkan mengapa memanen delapan mahoni di persilnya itu. “Ada butuh,” tuturnya lirih sambil tersenyum malu-malu. Dari rekan Win saya tahu, hasil penebangan digunakan untuk membiayai sekolah cucunya di Cileduk, Tangerang.
Win menuturkan hutan rakyat yang dimiliki perseorangan, saat menanam pertama kali memang diniatkan untuk dipanen kala ada kebutuhan. “Bila dikelola sebagai unit manajemen, memang harus ada pendidikan. Artinya, menumbuhkan satu pandangan bahwa pemanenan harus lestari. Kerja kerasnya adalah mendidik pemilik hutan rakyat untuk saling bersinergi,” terang lelaki berkacamata tebal ini.
Koperasi yang telah bersertifikat hutan lestari dari Forest Stewardship Council (FSC— sebuah organisasi nirlaba dunia yang mempromosikan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab) ini mencakup hutan rakyat di empat kecamatan: Samigaluh, Kalibawang, Nanggulan, dan Girimulia dengan 1.127 anggota.
Luas areal tebang tahunan mencapai 647 hektare dengan potensi seluruhnya 852 hektare. Untuk menjamin kelestarian hasil, koperasi menentukan jatah tebang tahunan yang menjadi batas pemanenan. Jatah tebang tahunan jati misalnya, 566 meter kubik, atau mahoni, 470 meter kubik setahun. Total jatah tebangan sebesar 1.700 meter kubik meliputi jati, sengon, sonokeling dan mahoni. “Empat jenis pohon itu yang masuk dalam sertifikat FSC. Dan kita tidak bisa melebihi jatah tebangan untuk menjaga kelestarian kayu,” jelas Win.
Untuk mencegah tebang butuh yang melanggar tata laksana pengelolaan, koperasi bekerja sama dengan Credit Union Kharisma Taliasih (Cukata) yang modalnya dari anggota. “Untuk mempertahankan kelestarian, memang tak cukup dengan sebatas visi. Kita juga harus mampu menjawab tantangan kebutuhan masyarakat,” ungkapnya.
Dari koperasi simpan pinjam itu, pemilik yang hendak membalak pohon yang belum masak tebang mendapat dana talangan. Karena itu, koperasi mendorong anggotanya sekaligus menjadi anggota Cukata. Itu juga tidak mudah. Hingga kini, belum sampai 20 persen anggota koperasi yang tergabung dalam Cukata. “Baru sekitar 35 anggota Koperasi yang mendapat kredit tunda tebang dengan jaminan kayu-kayunya. Besarnya kredit senilai 60 persen harga taksiran kayu. Kalau harga taksiran senilai Rp10 juta misalnya, kreditnya enam juta rupiah.”!break!
Tubuh ular yang menjalar di antara serasah kering itu terdengar bergerisik. Ia menyelinap cepat, turun ke sungai kecil. Bulu roma saya meremang. Kawasan hutan rakyat ini tumbuh di permukiman, pekarangan, dan tegal. Semuanya tercakup dalam radius lima hektare dari Sumber Air Ngetuk di Semoyo, Pathuk, Gunung Kidul. Kawasan itu menjadi zona inti yang melindungi mata air. Di zona ini, Suratimin bersama komunitasnya, Sarikat Petani Pembaharu, menanam tanaman buah-buahan: sirsak, manggis, avokad, dan durian. Sarikat juga melestarikan tanah dan air antara lain dengan sumur resapan, serta menahan tanah agar tak lari ke lembah bukit.
Hutan rakyat yang menghijau melindungi tanah dari tamparan langsung air hujan. Sejak 2007, Semoyo menabalkan diri sebagai desa kawasan konservasi yang digagas Suratimin bersama Sarikat. Bermula dari kesadaran konservasi itu, hutan rakyat mulai tumbuh. Kini, Sarikat turut bergabung dengan Koperasi Wana Manunggal Gunung Kidul, dan 40 hektare hutan rakyat lulus sertifikasi legalitas kayu pada 2012.
Suratimin menegaskan, kelestarian hutan rakyat mesti bermuara pada kesejahteraan masyarakat. “Karena itu, di zona inti ditanami tumbuhan buah-buahan. Nanti kalau besar tidak ditebang kayunya, tapi diambil buahnya.”
Itu baru salah satu solusi agar masyarakat tidak melakukan tebang butuh. Dia meyakini penyadaran dan pengetahuan masyarakat penting dalam menyeimbangkan upaya konservasi dan ekonomi masyarakat. “Kesadaran masyarakat Gunung Kidul dalam menanam sudah tinggi, namun mengelola hutan secara lestari harus melalui penyadaran,” lanjut bapak dua anak ini.
Di teras rumahnya, dia menyodorkan konsep untuk memudahkan petani hutan rakyat: Forest Bank Indonesia. “Masih merintis. Ini semacam bank kredit untuk memudahkan pemilik hutan rakyat di Semoyo, agar tak menebang pohon yang belum siap ditebang dengan jaminan,” tuturnya dengan mata berbinar.
Di belakang rumahnya terdapat bengkel kayu yang menggarap pesanan kusen, lemari, meja, dengan bahan kayu dari hutan rakyat. Untuk meningkatkan nilai tambah, kayu hutan rakyat mesti diolah, katanya, “jangan dijual gelondongan, yang untung pedagang kayu.”
Saya teringat pada Sugeng Suyanto yang telah membuka unit penggergajian dan ruang pamer produk kayu Koperasi Wana Manunggal Lestari di Dengok. Koperasi kini memasuki bisnis kayu olahan, seperti mebel, kusen, pintu, jendela. “Dari sisi bahan baku, kayu bulat dari hutan rakyat anggota koperasi telah dijamin keabsahannya. Ini berbeda dengan kayu-kayu lainnya,” ujar Sugeng Suyanto.!break!
Dua tahun silam, saya merasakan getaran gairah mengelola hutan yang tumbuh di tanah sendiri untuk kemaslahatan bersama yang telah menjadi kesadaran kolektif. Saat siang yang panas, di atas tanah berkapur di Plantungan, Blora, Jawa Tengah, saya meriung bersama sejumlah pengurus Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktanhut) Jati Mustika. Mereka mengenang masa lalunya yang suram.
Sebelum era reformasi, birokrasi tata usaha kayu di Blora memang panjang, lantaran 48 persen wilayah hutannya dikelola badan usaha milik pemerintah PT Perhutani. Untuk membedakan kayu jati dari hutan negara dengan hutan rakyat, dibuatlah peraturan ketat.
“Waktu itu, kami hanya dapat lima puluh persen dari hasil penjualan kayu jati rakyat,” kenang Suryono, wakil ketua Gapoktanhut. Sisanya, untuk membiayai izin, dan semua inspeksi pejabat ke lokasi tebang.
Kini, di Plantungan, saya menyaksikan rimbunnya hutan rakyat, bahkan berdampingan dengan hutan negara yang jarang dan merana.
Seiring makin jelasnya peran daerah dalam pengelolaan hutan, sejak tahun 2000, pemerintah daerah Blora mempermudah tata usaha kayu rakyat. Jati Mustika yang telah memiliki sertifikat legalitas kayu, kini secara mandiri bisa menerbitkan surat keterangan asal-usul kayu untuk anggotanya.
“Sekarang izin dan peredaran kayu rakyat lebih mudah. Kita akan mengatur tebang butuh, penjualan kayu dan menanam setelah tebangan,” terang Soewadji, Ketua Jati Mustika, “agar punya posisi tawar yang lebih baik.” Masa sulit untuk menikmati kayu dari tanah sendiri kini menjadi kenangan generasi tuanya. Menuturkan masa lalu yang muram dalam derai canda dan tawa, mengisyaratkan gairah menatap masa depan. Saya turut larut.