Si Hebat Pengarung Lautan

By , Kamis, 20 Februari 2014 | 15:04 WIB

Sesaat, di bawah permukaan laut, semua tampak biru sejauh mata memandang. Matahari berayun dibuai gelombang di atas kepala. Berkas sinarnya membias syahdu menembus air. Tiba-tiba, samudra itu dipenuhi para raksasa, tuna sirip biru meluncur laksana rudal.

Panjang ikan terbesar lebih dari empat meter, berbobot lebih dari setengah ton. Sinar matahari yang menembus laut memperlihatkan bagian lambung yang berkilat keperakan. Sirip belakang bawah dan sirip punggung kedua yang panjang melengkung—berkelebat. Sirip ekor yang me­ngibas cepat meluncurkan formasi itu pada kecepatan 18,5 kilometer per jam. Kecepatan maksimumnya 46 kilometer per jam. Kemudian, dengan sama mendadaknya, kawanan itu meng­hilang. Laut kembali lengang. Di sana-sini ter­lihat taburan sisik tempat tuna sirip biru me­mangsa ikan haring. Sisik itu berputar dalam pusaran air, akibat tuna yang bertolak menjauh dengan kecepatan tinggi. Kemudian olakan air melambat dan berhenti. Sisik yang tenggelam tampak bersinar. Semakin lama semakin redup, hilang ditelan kegelapan laut dalam.

Tuna sejati, genus Thunnus, amatlah kuat, berbentuk hidrodinamis. Ciri khas Thunnus di antaranya memiliki ukuran besar, kawasan luas, gerakan renang efisien, tubuh hangat, insang besar, pengaturan suhu kompleks, pengambilan oksigen cepat, konsentrasi hemoglobin tinggi, serta fisiologi jantung yang cerdas. Semua ini mencapai puncaknya pada tuna sirip biru.

Tiga spesies tuna sirip biru—atlantik, pasifik, dan tatihu di selatan—punya tempat tinggal utama masing-masing. Tuna sirip biru adalah ikan modern, namun hubungannya dengan manusia sudah berlangsung sangat lama. Nelayan Jepang telah menangkap tuna sirip biru pasifik selama lebih dari 5.000 tahun. Suku Haida dari Barat Laut Pasifik setidaknya memburu spesies yang sama selama itu juga. Artis Zaman Batu menggambar tuna sirip biru atlantik di din­ding gua Sisilia. Nelayan Zaman Besi—Funisia, Kartago, Yunani, Romawi, Maroko, Turki—mengawasi kedatangan kawanan tuna sirip biru yang ditunggu-tunggu ke tempat pembiakan di Mediterania dari atas tanjung.

"Tuna sirip biru ikut membangun peradaban Barat," kata profesor Barbara Block, pakar tuna terkemuka dari Stanford University. "Di seantero Mediterania, semua orang menjaring tuna raksasa. Setiap tahun, tuna sirip biru biasa bermigrasi melintasi Selat Gibraltar, dan be­rita kedatangannya menyebar ke semua orang. Di Bosporus, ada 30 kata untuk tuna sirip biru. Semua orang mengeluarkan jaring sero yang memiliki nama berbeda di tiap negara. Nelayan menangguk untung. Sirip biru pun jadi komoditas perdagangan. Koin Yunani dan Celt sama-sama berhias gambar tuna sirip biru raksasa."

Carl Linnaeus, bapak klasifikasi ilmiah modern, memberi nama ilmiah untuk tuna sirip biru atlantik pada 1758. Thunnus thynnus untuk tuna sirip biru atlantik: tuna di atas tuna.!break!

Fajar menyingsing merah di ufuk Cape Breton, Nova Scotia. Cuaca terasa dingin di dermaga desa Port Hood. Kami bertolak, dan Dennis Cameron, kapten Bay Queen IV, mengarahkan perahu ke utara menuju Teluk St. Lawrence. Laut lepas yang kami tuju adalah tempat tertangkapnya ikan tuna sirip biru terbesar di dunia.

Kami melintasi pulau besar Cape Breton di sebelah kanan. Di arah sebaliknya, Pulau Port Hood yang kecil tampak rendah dan hijau, dengan beberapa gelintir rumah berdinding papan putih. Cameron dibesarkan di salah satu rumah di Pulau Port Hood tersebut. Dia ingat berburu tupai di hutan, dan menyisir pantai mencari tempuling dan pelampung bekas, serta mengumpulkan cumi-cumi yang terdampar untuk umpan pancing ayahnya—gaya hidup yang kini telah lenyap. Pabrik pengalengan lobster di pulau itu sudah lama tutup. Pelabuhan yang dahulu dipenuhi perahu nelayan pada 1920-an, sehingga mirip hutan tiang layar, kini lengang. Sekitar dua puluh keluarga nelayan dan petani bertahan selama tahun 1950-an, tetapi jumlahnya terus berkurang, dan pulau itu sekarang hanya dihuni satu penduduk tetap.

Hal semacam ini terjadi pada masyarakat ne­layan di semua tempat. Lautan sekarat. Ber­kurangnya populasi ikan: kod di Provinsi Maritime Kanada, teri di perairan Peru, salem di Barat Laut Pasifik, kakap cili di perairan Antartika, dan hiu di semua lautan.

Tuna sirip biru adalah salah satu spesies yang ditangkap paling berlebihan di bumi. Kawanan tuna yang berkembang biak di pantai barat Atlantik menyusut 64 persen sejak 1970. Tonnara—jaring sero yang selama ribuan tahun digunakan orang Sisilia untuk mengurung tuna sirip biru raksasa, yang kemudian dibantai saat klimaks kegiatan yang dinamai mattanza, berhenti beroperasi satu demi satu selama sekian dasawarsa, sebagaimana sero atau berbagai nama lainnya di seantero Mediterania.

Cameron, sebagaimana anak nelayan Kanada pada umumnya, sangat memahami asam garam profesinya. "Kami dulu tak menangkap tuna," ceritanya tentang generasi ayahnya. "Memancing tuna hanyalah untuk hiburan. Dulu mereka biasa menyebut tuna, 'ikan kembung kuda'. Gunanya cuma untuk makanan kucing, atau jadi pupuk."

Pada Januari 2013, seekor tuna sirip biru dijual di Tokyo seharga 17 miliar rupiah. Harga ekstrem ini terjadi sebagian untuk publisitas, sebagian karena kebiasaan orang Jepang: Setiap tahun, tuna pertama yang dilelang di pasar menjadi sasaran perang harga gila-gilaan, bahkan menurut standar Jepang. Namun, harga normal tuna sirip biru ukuran sedang sekalipun—antara 100 sampai 200 juta rupiah, bergantung kualitasnya—bisa memperlihatkan betapa sukanya orang Jepang abad ke-21 pada maguro, sushi tuna sirip biru. Sementara Cameron mengarahkan perahu ke laut dalam, Steve Wilson, peneliti Stanford University yang bekerja di Tuna Research and Conservation Center (TRCC) di Monterey, California, memeriksa pelacak satelit yang akan dipasangnya. Robbie Schallert, dari kelompok pelestari tuna sirip biru Tag-a-Giant dan rekan Wilson di TRCC, membuka gulungan matras-berlapis di dekat "pintu tuna" di buritan. Kami akan menandai dan mengukur tuna sirip biru.

Tiga belas kilometer di lepas pantai, salah satu pancing tonda berumpan ikan kembung kami disambar. Sheldon Gillis, asisten Kapten Cameron, berusaha menarik ikan tersebut. Senar pancing berdengung kencang setiap kali tuna sirip biru bergerak melawan. Dua puluh menit kemudian, agak jauh di belakang buritan, ikan tersebut terlihat untuk pertama kalinya. Gillis memperkirakan beratnya sekitar 300 kilogram. Dia memutar kili-kili sekuat tenaga setiap mendapat kesempatan. Badannya bersimbah peluh di pagi nan dingin itu. Setelah 20 menit, terdengar bunyi keras sirip ekor mengempas buritan. Begitu diangkat ke geladak melalui pintu tuna, ikan itu dibaringkan miring, diam meraksasa di atas matras.