Damaskus: Benteng Budaya Suriah

By , Kamis, 20 Februari 2014 | 15:09 WIB

Di halaman Masjid Umayyah, jantung kota Damaskus Tua, kaum wanita berbusana hitam tengah duduk mengobrol di lantai batu berwarna krem​​. Lantai itu terpoles halus oleh jejak kaki manusia selama sekian generasi. Anak-anak berkejaran ke sudut yang teduh, sementara merpati menukik dan melesat naik lagi, karena, menurut kaum wanita berbusana hitam tadi, tertarik oleh kesucian tempat ini.

Pada dasarnya, di dalam tembok masjid yang dibangun pada zaman Romawi itu ter­dapat perpaduan antara keagungan kuno, ke­tenangan, dan hiruk pikuk yang berlangsung setiap hari. Masjid tetap tidak terganggu hingga kini, walau terdengar gemuruh tembakan di ke­jauhan—kegaduhan akibat perang saudara yang meluluhlantakkan pinggiran kota. Saat me­langkahkan kaki keluar dari gerbang masjid, kita akan menyadarinya. Kota Tua Damaskus, meski sebagian besar tidak rusak secara fisik, kini telah berubah.

Di bawah sisa-sisa barisan pilar Romawi, Mohammad Ali, 54, memotret foto keluarga ber­wajah muram yang sejenak mengasingkan diri dari suasana kota Aleppo yang dilanda perang. Para kliennya sudah lama menghilang. Di pusat kota, lelaki bersenjata tampak ber­patroli di jalanan. Me­reka merupakan anggota milisi yang terus ber­tambah banyak dan di­percayai oleh sejumlah warga, tetapi juga di­takuti warga lainya. Dalam keadaan bersiap-siap menghadapi hal yang tak terduga, Kota Tua itu kini meringkuk di balik tembok kuno, yang memperoleh kembali peran aslinya sebagai benteng per­lindungan bagi warga kota. Di luar tembok itu, pos pemeriksaan militer menciptakan penghalang lain, menjaga pemberontak agar tidak masuk ke dalam pusat Damaskus yang dikuasai pemerintah.

Di sepanjang jalan bergaya Prancis, di pasar sayur yang hiruk pikuk, di klub malam yang sebagian besar kosong, terasa suasana yang mencekam. Selongsong mortir semakin sering mendarat di pusat kota Damaskus, serangan yang dituduhkan pemerintah ke pihak pemberontak. Gunung Qasiyun, latar belakang kota yang berkelap-kelip di malam hari, adalah tempat para sejoli berpesta menikmati buah-buahan di kafe yang menghadap ke Damaskus. Kini, gunung itu menjadi benteng yang ditempati pasukan pemerintah untuk menghamburkan tembakan ke pihak musuh.

Banyak yang hilang. Namun, budaya Damaskus, yang dipandang berabad-abad lamanya di dunia Arab sebagai mercusuar ke­indahan dan pera­daban, menawarkan salah satu dari sedikit harapan untuk menyelamatkan Suriah. Bagi penduduk Suriah, Damaskus pa­ling mencerminkan gambaran nasionalisme yang dirasakan bersama. Selama berabad-abad, aliran Sunni, Syiah, Kristen, dan Yahudi berniaga, bekerja, dan tinggal bersama di sini. Mereka tidak terbebas dari konflik, tetapi memiliki keinginan yang sama untuk menjalani kehidupan dan berbisnis di kota. Kemudian, setelah tahun 1970, gelombang kaum Alawi, datang ke Damaskus. Mereka tertarik oleh peluang baru di bawah kekuasaan keluarga Presiden Bashar al Assad, yang juga berasal dari sekte mereka, cabang Islam Syiah.

Mereka yang tinggal di Damaskus dan sangat menyukai kota itu bersatu-padu dalam hasrat untuk mempertahankannya. Namun, pandangan warga Damaskus masih terbagi dua tentang pihak mana yang paling mengancam dunia mereka. Tepat di bawah gumpalan rasa takut—pada pemberontak, pemerintah, intervensi asing, dan kekacauan—gelembung pandangan politik begitu bermacam-macam. Sulit membayangkan bagaimana kesenjangan ini dapat dijembatani. (Tidak mengherankan, hanya sedikit warga kota yang bersedia nama lengkapnya dicantumkan untuk artikel ini.)

"Setiap batu merupakan warisan, langit biru di atas tampak berbentuk persegi panjang juga." kata Ghazi H., seorang Kristen sekuler berusia 30-an yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Kota Tua. Teman-teman sekolahnya dari semua agama menggunakan halaman Masjid Umayyah sebagai ruang belajar. Saat masih remaja, dia kerap menjelajahi daerah Muslim yang baru dibuka untuk dunia luar: Kafe tumbuh subur, anak lelaki dan perempuan berjalan bersama dengan riang—meskipun orang tua menaruh curiga. Namun, cara orang mendefinisikan warisan Kota Tua tergantung pada pandangan politik mereka. Ghazi berujar, "Semua orang menggunakan sejarah untuk membuat kesimpulan masing-masing."!break!

Gang berkelok-kelok di Kota Tua. Gang dibuat seperti itu dengan alasan agar kantong-kantong etnik yang bertetangga, tetapi terpisah, dapat melindungi wilayah masing-masing. "Jalanan ini melambangkan bagaimana ke­lompok yang terbagi ini dapat hidup bersama, meskipun saling tidak menyukai," kata Ghazi. Saat berjalan melewati daerah Syiah, dia melihat poster di dinding yang memperingati para pejuang pembela Assad yang gugur, dan dia tahu bahwa beberapa orang Sunni yang melewati tempat itu dari daerah tetangga mungkin diam-diam menyoraki kematian mereka. Namun, kedua kelompok itu tetap saling menyapa dan mengunjungi toko masing-masing. "Itulah yang dilambangkan Kota Tua," kata Ghazi saat duduk di halaman hotelnya yang sekarang sudah sepi. "Dan jika kita membuka lembaran sejarah, kota ini selalu melambangkan hal yang sama. Warga kota ini dahulu mayoritas Kristen, dan ketika umat Islam datang, mereka mengubah banyak gereja menjadi masjid"—Masjid Umayyah, yang dahulu pernah berfungsi sebagai gereja, masih memiliki kuil untuk Yohanes Pembaptis—"dan kehidupan terus berjalan."

Pada masa-masa yang lebih tenang, Assad mewujudkan pandangan tentang identitas Damaskus. Dia menghadiri pertunjukan musik lintas agama dan menerima pujian (yang masih diperdebatkan) untuk perbaikan Kota Tua. Kebangkitan pinggiran kota ini memelopori tahapan perubahan lainnya: Sejumlah besar keluarga Muslim menjual properti mereka dan membangun rumah yang lebih besar di pinggiran kota yang kini hancur akibat perang.

Para pendukung pemerintah di Damas­kus melihat Assad sebagai pemelihara pa­ham multibudaya. Mereka memerangi pem­berontakan ekstremis yang bertekad untuk mengusir kaum minoritas dan memaksakan aturan agama. Para pendukung pemberontak menolak pemikiran ini dan menganggapnya sebagai omong kosong penuh kebencian, memandang para pejuang—sebagian besar kaum Sunni miskin dari berbagai provinsi— sebagai warga Suriah biasa yang merupakan bagian dari mosaik budaya. Warga Damaskus yang menentang Assad mengatakan bahwa dia telah memicu sektarianisme dan, agar tetap berkuasa, bersedia menghancurkan kota itu.

Itulah yang terjadi di Aleppo, sebuah kota di utara, setelah musim panas 2012. Saat itu, pemberontak masuk ke dalam Kota Tua itu, dan pemerintah tidak ragu-ragu meng­hancurkannya. Masjid Umayyah Aleppo rusak parah, bersama dengan kastil pasukan salib, peninggalan Romawi, sejumlah masjid, dan gereja di seluruh kawasan tersebut. "Jika mereka berusaha masuk, sayalah yang akan menjadi orang pertama yang menghadapi mereka," kata seorang penjaga toko Damaskus penentang Assad. Dia mengkhawatirkan penghancuran Qasr al Azm yang anggun, sebuah istana dari zaman Utsmaniyah; Khan Asad Pasha dengan kubahnya, tempat para pedagang biasa membongkar muatan kafilahnya; Kapel Ananias, situs terkenal pembaptisan Rasul Paulus. "Tidak ada sasaran militer di tempat ini. Kami membutuhkan kebebasan, tetapi tidak dengan cara ini."

Namun, di Damaskus pun, kekerasan seperti­nya menjadi kejahatan yang diperlukan. Di ruang tamu yang lusuh yang menghadap Street Called Straight—jalan tempat Alkitab menyatakan bahwa Tuhan mengutus Paulus setelah membutakan matanya di jalanan menuju Damaskus—Leena Siriani menyajikan kopi dalam cangkir. Dia meninggalkan rumahnya di Homs yang dikuasai pemberontak. Namun, saat mendengar desingan peluru dan dentuman yang menghantam sasaran, dia menyorakinya. "Saya berharap mereka berhasil menghantam para teroris dan penyabotase."

Di sepanjang gang di dekatnya, seorang penjual rempah bertubuh kurus berusia 30-an membisikkan cerita yang berbeda. Dia datang dari salah satu pinggiran kota yang dibombardir, dan sebagian besar orang yang dikenalnya di sana telah mengangkat senjata. "Sepanjang hari, kami mendengar tembakan melesat dari sini dan mendarat di sana," katanya dengan berapi-api. "Lalu, mereka mengatakan bahwa ancaman itu berasal dari sana," katanya, menunjuk ke pinggiran kota. "Haruskah saya takut pada keluarga saya sendiri?" Dia menjelaskan bahwa dia terpaksa melarikan diri untuk melindungi putrinya. Dia merasa bersalah karena tinggal di belakang garis pertahanan pemerintah, ujarnya. Dia bergumam, "Cepat atau lambat, saya akan bergabung dengan warga di sana."!break!