Damaskus: Benteng Budaya Suriah

By , Kamis, 20 Februari 2014 | 15:09 WIB

Tak jauh dari Straight Street, di rumah besar berusia 400 tahun bertatahkan relief lukisan bunga dan dihiasi foto nenek moyang, Samir Naasan, 65, menyimpan sepucuk senapan Kalashnikov untuk berjaga-jaga. Dari koper kulit usang, dia mengeluarkan potret beberapa orang kepala negara, yang pernah mengunjungi rumahnya. Saat merogoh lebih dalam, dia menemukan foto pabrik kerajinan yang membuat keluarganya kaya raya satu abad yang lalu. Di pabrik itu, orang Yahudi menempa kuningan, orang Kristen mengukir kayu untuk mosaik, dan umat Muslim menenun brokat.

Baginya, keluarganya—yang juga pemilik Piano Bar, tempat menongkrong Presiden Assad—mewakili gaya hidup kosmopolitan Damaskus. Hal itu membuat cara yang ditempuhnya untuk mengatasi krisis ini menjadi lebih men­cengangkan. "Andaikan saya Bashar al Assad," katanya, "saya akan menuntaskannya dalam 20 hari, bahkan seandainya saya terpaksa harus membunuh lima juta warga Suriah." Mengenai penduduk Suriah, dia menambahkan, "mereka lebih baik mati daripada harus hidup dalam kemiskinan."

Lalu, dia berjalan keluar untuk minum-minum dan menikmati meze di Qasr al Kheir, sebuah restoran di halaman terbuka. Tempat ini sepi, meskipun tengah berlangsung sebuah pesta pertunangan. Saat musik beralih ke lagu pernikahan Arab yang energik, para wanita Kristen yang mengenakan rok pendek ber­pegangan tangan dengan wanita Muslim ber­jilbab, dan beberapa lelaki yang memutar-mutar tasbih. Semua menarikan tarian tradisional, dabke. Lagu berikutnya memuji Presiden Assad dan pasukannya. Para penari melompat-lompat dan menghentakkan kaki.

Ini adalah kompromi antara Damaskus dan Suriah: hidup di bawah tangan besi untuk memperoleh jaring pengaman sosial dan ruang kemajemukan agama dan budaya. Lalu, warga Suriah turun ke jalanan dengan damai pada awal 2011. Pemerintah menanggapi dengan kekuatan besar sehingga lawannya pun terpaksa mengangkat senjata.

Sekarang, klaim yang sudah lama di­dengung­kan Assad—bahwa kaum ekstremis Islam telah mengincarnya—terbukti benar di banyak bagian negara itu. Pertanyaan tentang "bagaimana" dan "mengapa" akan menjadi per­debatan panjang. Namun, saat kedua belah pihak kian lelah, dan dipaksa untuk menghadapi hancurnya semua hal yang mereka perjuangkan, mungkin penyelesaiannya adalah hidup berdampingan seperti di Damaskus. Atau, berada dalam kecintaan bersama pada kota tua berusia ribuan tahun yang tidak diinginkan kehancurannya oleh siapa pun.

Saat ini, Damaskus berfokus pada upaya untuk dapat bertahan. Bagi Ghazi, kenyamanan dirasa­kannya dalam ruang sempit bar Abu George. Pun, kala penembakan memaksa tempat lain di Straight Street tutup lebih awal, bar itu tetap terang benderang. Bagi Ghazi, hal yang memudar adalah cita rasa khusus Kota Tua. "Periode ini membuat saya kehilangan pe­rasaan untuk semuanya," katanya. Menurut Anda, mana yang lebih penting, orang atau batu? Kehilangan seseorang yang dekat dengan Anda atau kehilangan menara Masjid Umayyah? Sudah pasti, orang jauh lebih penting."

Kadang dia bertanya dalam hati, apakah orang seperti dirinya akan terusir. Bahkan, dia pernah membayangkan apakah pertempuran pamungkas akan setimpal, jika hal itu dapat mengakhiri periode penuh ketidakpastian ini.

Dan, jika salah satu dari hal tersebut terjadi, apakah kota kuno Damaskus akan hancur selamanya? Menurutnya tidak. "Kota Tua memang akan berubah," katanya. "Seperti yang pernah dialaminya di masa lalu."