Kapal Romawi

By , Kamis, 20 Maret 2014 | 15:54 WIB

Ketika pada tahun itu mereka mulai menyelam menuju bangkai kapal, Long me­lanjutkan survei sisa gundukan itu, sekitar 50 meter ke arah hulu. Di seberang pusat kota Arles masa kini, dia mulai menemukan potongan kota kuno: bongkahan batu raksasa, termasuk kepala tiang Korintus, yang menampilkan jejak pelapukan oleh angin barat laut. Dia juga mulai menemukan sejumlah patung. Berita mulai menyebar. Polisi pabean Prancis mem­peringatkan Long bahwa pencuri barang antik mungkin sedang mengawasi kegiatannya.

Sebelum musim menyelam usai, penyelam yang menemukan Arles-Rhône 3, Pierre Gius­tiniani, menemukan patung yang membuat tongkang itu sekarang berada di museum: patung marmer yang tampak seperti Julius Caesar. Ini mungkin satu-satunya patung yang dipahat semasa hidupnya.!break!

Anda harus mengerti, kata Claude Sintes, direktur museum barang antik: Arles adalah kota kecil, bahkan kota yang miskin. Bengkel lokomotif ditutup pada 1984, penggilingan padi dan pabrik kertas juga ditutup selama dasawarsa terakhir. Yang tersisa hanyalah pariwisata. Namun, kota itu berada di atas reruntuhan masa lalu bangsa Romawi—sekop yang disodokkan ke dalam tanah di kebun, misalnya, pasti akan mengenai batu atau ubin peninggalan zaman Romawi. Pameran yang dibangun Sintes di sekitar patung Caesar, setelah berita itu menyebar, menunjukkan bahwa beberapa barang itu memiliki nilai komer­sial. “Keberhasilan pameran itu me­nakjub­kan,” kata Sintes. “Ketika sebuah kota sederhana seperti kota kami dikunjungi 400.000 wisatawan, para politikus memahami bahwa tanda-tanda bangkitnya perekonomian cukup kuat.”

Pada musim gugur 2010, saat pameran Caesar sudah hampir usai, para pejabat mencari lebih banyak peninggalan budaya untuk dijadikan investasi: Uni Eropa menunjuk Marseille dan seluruh daerah Provence sebagai Ibu Kota Budaya Eropa 2013. Arles pun menginginkan pro­mo­si tersebut. Mendadak dana sekitar Rp150 miliar tersedia untuk membangun sayap baru di museum Sintes dan menempatkan tongkang Romawi di dalamnya. Namun, ada satu syarat. Proyek ini harus rampung pada 2013.

Lumpur telah melindungi kayu tong­kang Arles-Rhône 3 dari pembusukan mikroba, tetapi air telah melarutkan selulosa dan mengisi sel-sel kayu, menyebabkan seluruh perahu men­jadi lunak, ibarat spons. “Kayu itu hanya di­topang oleh air,” kata Francis Bertrand, direktur ARC-Nucléart, bengkel restorasi dan konservasi di Grenoble. “Jika air itu menguap, semuanya akan runtuh.” Solusinya adalah me­mandikan kayu itu dengan polietilen glikol se­lama berbulan-bulan, lalu membekukan dan me­ngeringkannya dengan secara bertahap me­nyuntikkan polimer sebelum mengeluarkan air. Namun, tongkang harus dipotong menjadi be­berapa bagian kecil untuk bisa masuk ke dalam alat pembeku-pengeringan. Itu bisa memakan waktu hampir dua tahun.

Ini berarti hanya tersisa satu musim untuk bekerja di lapangan, yakni tahun 2011, untuk mengeluarkan perahu dari dalam Rhône. “Proyek ini ditakdirkan untuk gagal,” kata Benoît Poinard, seorang penyelam profesional dan mandor di lokasi. Biasanya, ujar Poinard menjelaskan, Rhône cukup aman untuk me­nyelam hanya sejak akhir Juni sampai Oktober; selain periode itu, arusnya terlalu kuat. Waktu tiga atau empat bulan tidak akan cukup.

Dan, tahun 2011 pun tiba. Arus Sungai Rhône begitu tenang sehingga tim Marlier memutuskan untuk masuk ke dalam air pada awal Mei. Jarak pandang pada bulan itu mencapai 1,5 meter, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Timnya bekerja hingga November, hanya sempat kehilangan satu minggu akibat cuaca buruk—dan menyelesaikan pekerjaan itu. “Dua jam setelah kami selesai,” kata Poinard, “Rhône tidak bisa diselami lagi sepanjang musim dingin.”

Di akhir musim kerja di lapangan itu, saat ahli restorasi dari ARC-Nucléart sedang mem­bongkar haluan perahu di dermaga, mereka me­nemukan uang dinar perak berukuran koin seribu rupiah. Para pembangun kapal telah menyematkan uang logam itu di antara dua bilah papan, untuk membawa keberuntungan. Dan, keberuntungan memang datang—2.000 tahun kemudian.!break!

Ketika Arles-Rhone 3 karam, tongkang itu sedang membawa 30 ton batu bangunan. Batu itu berupa lempengan batu kapur yang datar dan tidak beraturan, dengan ketebalan delapan hingga 15 sentimeter. Semuanya berasal dari sebuah tambang di St Gabriel, sekitar 14 kilometer di sebelah utara Arles, dan mungkin sedang menuju sebuah situs pembangunan di bantaran kanan, lahan pertanian berawa di sebelah selatan Arles. Namun, tongkang itu mengarah ke hulu, bukan ke hilir, yang menunjukkan bahwa tongkang itu sedang ditambatkan di dermaga ketika karam.

Saat banjir surut, tumpukan sedimen yang diakibatkannya kembali masuk ke dalam air, menutupi tongkang itu dengan lapisan tanah liat halus dengan ketebalan tidak lebih dari 15 sentimeter. Di dalam tanah liat itu, Marlier dan timnya menemukan barang pribadi awak kapal. Sebuah sabit yang mereka gunakan untuk memotong bahan bakar untuk tungku. Sebuah dolium atau kendi tanah liat besar, dibelah dua untuk digunakan sebagai hibachi (pemanggang). Sebuah piring dan kendi abu-abu. Tiang, dengan jejak goresan akibat tali tambang, adalah temu­an­nya yang paling berharga.

Di ruang bawah tanah museum, saya dan Djaoui berjalan menyusuri lorong panjang deretan amphorae. Para arkeolog telah me­ngembalikan 120 metrik ton pecahan keramik kembali ke dasar sungai, di lubang yang ditinggalkan oleh tongkang itu.