Kapal Romawi

By , Kamis, 20 Maret 2014 | 15:54 WIB

Pada masa lalu, bangsa Romawi menghadapi masalah sampah yang serius, meski sebetulnya sampah itu terbilang indah: amphorae (guci). Mereka membutuhkan jutaan guci tanah liat untuk mengirimkan anggur, minyak zaitun, dan kecap ikan ke seluruh penjuru negeri. Di Roma terdapat bukit setinggi lima puluh meter, seluas dua hektare, Monte Testaccio, yang seluruhnya terbuat dari pecahan amphorae. Arkeolog Spanyol meyakini bahwa gundukan ini pertama kali muncul pada abad pertama Masehi.

Pada sekitar waktu itu, di Arles, di Sungai Rhône, kini Prancis selatan, kuli pelabuhan melakukannya dengan sedikit ber­beda: Mereka melemparkan guci kosong ke sungai. Pada abad pertama, Arles adalah kawasan subur, pintu masuk ke provinsi Romawi di Galia. Kargo dari seluruh Laut Tengah di­pindah­kan ke situ dengan menggunakan tongkang yang mengarungi sungai, untuk me­masok kawasan utara kekaisaran.

“Kota itu berada di persimpangan semua jalan, yang menerima produk dari mana-mana,” kata David Djaoui, arkeolog di museum barang antik setempat. Julius Caesar menganugerahkan kewarganegaraan Romawi kepada warga Arles sebagai imbalan atas dukungan militer mereka. Di pusat kotanya dewasa ini, di bantaran kiri Sungai Rhône, kita masih dapat melihat amfi­teater berkapasitas 20.000 penonton per­tarungan gladiator. Namun, dari kota pe­labuh­an yang membiayai semua ini, dan yang mem­bentang sekitar satu kilometer atau lebih sepanjang bantaran kanan, tidak banyak yang tersisa—hanya bayangan di dasar sungai, dalam bentuk gundukan tebal sampah Romawi.

Sampah bagi mereka, tetapi bukan sampah menurut kita. Pada musim panas 2004, seorang pe­nyelam menyurvei gundukan itu untuk men­cari harta karun arkeologi. Ia melihat tumpukan kayu menyeruak dari balik lumpur pada ke­dalaman empat meter. Ternyata, itu adalah burit­an tongkang sepanjang 31 meter. Tongkang itu boleh dikatakan masih utuh; sebagian besar masih terkubur di bawah lapisan lumpur dan amphorae yang menaunginya selama hampir 2.000 tahun. Kapal ini masih ber­isi kargo terakhirnya, dan bahkan beberapa barang pribadi yang ditinggalkan awaknya. Melalui serangkaian keajaiban kecil lainnya, kapal itu muncul dari balik sampah—kali ini dengan selamat, ke sayap baru gedung Musée Départemental Arles Antique.!break!

Pada Juni yang lalu, saat pakar restorasi bergegas mempersiapkan perahu itu untuk penampakan perdananya di depan publik, saya menghabiskan waktu seminggu di Arles, di sebuah rumah batu kecil yang menghadap ke Sungai Rhône.

Angin barat laut berembus tanpa henti. Dari atap teras, saya bisa melihat ke seberang sungai menuju dermaga di bantaran kanan; pada kunjungan sebelumnya, di bantaran itu saya dan fotografer Rémi Benali menemukan dua buah paku besar, berkarat, hasil tempaan tangan—mungkin lebih tepat disebut pasak kecil.

Saat itu, seperti sekarang, dermaga tampak kosong. Hanya terlihat sebuah peti kemas berukuran besar. Namun, selama tujuh bulan pada 2011, peti kemas itu pernah menjadi wadah untuk para penyelam dan arkeolog yang hilir-mudik keluar-masuk sungai setiap hari, menyedot lumpur yang menutupi tongkang Romawi, meng­gergajinya menjadi sepuluh bagian, dan meng­angkatnya satu per satu dari dalam air dengan menggunakan derek. Paku itu pasti terjatuh dari salah satu kayu yang meneteskan air. Ini berarti paku tersebut berasal dari zaman yang sama, bahkan mungkin serupa dengan paku yang menyalib Yesus.

Sambil menatap ke Sungai Rhône, yang tampak kelabu menyeramkan dan beriak dengan pusaran air kecil yang terus bergerak dan menggegelak—sungai ini adalah sungai paling dahsyat di Prancis—saya berusaha mem­bayangkan menyelam ke dalamnya, tetapi tak sanggup. Begitu pula Luc Long, pada awalnya. Long adalah arkeolog yang timnya menemukan tongkang itu. Dia sudah menyelam di Sungai Rhône selama puluhan tahun, tapi saat pertama melakukannya masih terus menghantuinya.

Long tampak seperti anak kecil pada usia 61 tahun, dengan rambut cokelat mirip anggota The Beatles. Dia bekerja untuk DRASSM, de­par­temen di pemerintahan Prancis yang ber­tugas melindungi warisan bawah air. Long telah meneliti sejumlah bangkai kapal di seluruh Laut Tengah ketika, pada 1986, temannya, penyelam dan pemburu reruntuhan, Albert Illouze, menggodanya untuk menyelam di sungai di kampung halamannya.

Warga Arlés sudah berabad-abad berpaling dari Sungai Rhône, ujar Long menjelaskan, bahkan sebelum jalan raya dan rel kereta api mengurangi impor komersialnya. Mereka kini takut pada sungai itu karena merupakan sumber banjir dan penyakit—dan dia dibesarkan dalam pandangan seperti itu. “Saya tidak berhasrat menyelam di Rhône,” katanya.

Long dan Illouze terjun ke sungai pada Sabtu pagi di bulan November, tepat di seberang tempat berdirinya museum barang antik saat ini. Suhu air sungai saat itu sekitar sembilan derajat Celsius, berbusa dan bau—terdapat pembuangan limbah di dekatnya. Long tidak bisa melihat lebih dari satu meter ke depan, yang sudah cukup jernih untuk ukuran Rhône. Arusnya yang kuat menjerat dan membuatnya gentar. Pada kedalaman sekitar enam meter, dia mendapati dirinya menempel pada sebuah dop. Dop itu melekat ke sebuah truk. Perlahan-lahan, dengan takut-takut, Long meraba-raba menuju sisi pengemudi. Dia menemukan sebuah amphorae Romawi di kursi pengemudi.

Setelah itu, dia dan Illouze berenang di atas hamparan luas amphorae. Long belum pernah melihat begitu banyak amphorae utuh, dan masa depannya tampak cerah: Dia terus memetakan gundukan sampah Romawi sejak saat itu. Namun, Rhône tidak pernah menjadi tempat kerja yang menyenangkan. Long dan para penyelam harus membiasakan diri dengan kegelapan, polutan, dan patogen. Sempat ter­jadi beberapa kali pertemuan langka yang tidak menyenangkan dengan ikan lele raksasa (Silurus glanis), di antara keranjang belanja dan rongsokan mobil. Binatang sepanjang 2,5 meter itu menyeruak keluar dari kegelapan dan menyeret sirip renang penyelam. “Ketika merasa sirip Anda ditarik,” kata Long, “rasanya seperti terbelenggu, pengalaman beberapa detik yang tidak akan pernah Anda lupakan.”

Selama sekitar 20 tahun pertama, tidak ada yang menaruh banyak perhatian pada hal-hal yang dilakukannya. Pada 2004, tatkala timnya menemukan tongkang yang diberinya nama Arles-Rhône 3, dia sama sekali tidak pernah men­duga akan tersedia dana cukup besar untuk mengangkatnya ke permukaan. Dia dan seorang rekannya menggergaji bagian yang tampak dari luar, yang kemudian dianalisis rekannya dengan sangat cermat. Pada 2007, tiga arkeolog muda, Sabrina Marlier, David Djaoui, dan Sandra Greck  mengambil alih penelitian Arles-Rhône 3.

Ketika pada tahun itu mereka mulai menyelam menuju bangkai kapal, Long me­lanjutkan survei sisa gundukan itu, sekitar 50 meter ke arah hulu. Di seberang pusat kota Arles masa kini, dia mulai menemukan potongan kota kuno: bongkahan batu raksasa, termasuk kepala tiang Korintus, yang menampilkan jejak pelapukan oleh angin barat laut. Dia juga mulai menemukan sejumlah patung. Berita mulai menyebar. Polisi pabean Prancis mem­peringatkan Long bahwa pencuri barang antik mungkin sedang mengawasi kegiatannya.

Sebelum musim menyelam usai, penyelam yang menemukan Arles-Rhône 3, Pierre Gius­tiniani, menemukan patung yang membuat tongkang itu sekarang berada di museum: patung marmer yang tampak seperti Julius Caesar. Ini mungkin satu-satunya patung yang dipahat semasa hidupnya.!break!

Anda harus mengerti, kata Claude Sintes, direktur museum barang antik: Arles adalah kota kecil, bahkan kota yang miskin. Bengkel lokomotif ditutup pada 1984, penggilingan padi dan pabrik kertas juga ditutup selama dasawarsa terakhir. Yang tersisa hanyalah pariwisata. Namun, kota itu berada di atas reruntuhan masa lalu bangsa Romawi—sekop yang disodokkan ke dalam tanah di kebun, misalnya, pasti akan mengenai batu atau ubin peninggalan zaman Romawi. Pameran yang dibangun Sintes di sekitar patung Caesar, setelah berita itu menyebar, menunjukkan bahwa beberapa barang itu memiliki nilai komer­sial. “Keberhasilan pameran itu me­nakjub­kan,” kata Sintes. “Ketika sebuah kota sederhana seperti kota kami dikunjungi 400.000 wisatawan, para politikus memahami bahwa tanda-tanda bangkitnya perekonomian cukup kuat.”

Pada musim gugur 2010, saat pameran Caesar sudah hampir usai, para pejabat mencari lebih banyak peninggalan budaya untuk dijadikan investasi: Uni Eropa menunjuk Marseille dan seluruh daerah Provence sebagai Ibu Kota Budaya Eropa 2013. Arles pun menginginkan pro­mo­si tersebut. Mendadak dana sekitar Rp150 miliar tersedia untuk membangun sayap baru di museum Sintes dan menempatkan tongkang Romawi di dalamnya. Namun, ada satu syarat. Proyek ini harus rampung pada 2013.

Lumpur telah melindungi kayu tong­kang Arles-Rhône 3 dari pembusukan mikroba, tetapi air telah melarutkan selulosa dan mengisi sel-sel kayu, menyebabkan seluruh perahu men­jadi lunak, ibarat spons. “Kayu itu hanya di­topang oleh air,” kata Francis Bertrand, direktur ARC-Nucléart, bengkel restorasi dan konservasi di Grenoble. “Jika air itu menguap, semuanya akan runtuh.” Solusinya adalah me­mandikan kayu itu dengan polietilen glikol se­lama berbulan-bulan, lalu membekukan dan me­ngeringkannya dengan secara bertahap me­nyuntikkan polimer sebelum mengeluarkan air. Namun, tongkang harus dipotong menjadi be­berapa bagian kecil untuk bisa masuk ke dalam alat pembeku-pengeringan. Itu bisa memakan waktu hampir dua tahun.

Ini berarti hanya tersisa satu musim untuk bekerja di lapangan, yakni tahun 2011, untuk mengeluarkan perahu dari dalam Rhône. “Proyek ini ditakdirkan untuk gagal,” kata Benoît Poinard, seorang penyelam profesional dan mandor di lokasi. Biasanya, ujar Poinard menjelaskan, Rhône cukup aman untuk me­nyelam hanya sejak akhir Juni sampai Oktober; selain periode itu, arusnya terlalu kuat. Waktu tiga atau empat bulan tidak akan cukup.

Dan, tahun 2011 pun tiba. Arus Sungai Rhône begitu tenang sehingga tim Marlier memutuskan untuk masuk ke dalam air pada awal Mei. Jarak pandang pada bulan itu mencapai 1,5 meter, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Timnya bekerja hingga November, hanya sempat kehilangan satu minggu akibat cuaca buruk—dan menyelesaikan pekerjaan itu. “Dua jam setelah kami selesai,” kata Poinard, “Rhône tidak bisa diselami lagi sepanjang musim dingin.”

Di akhir musim kerja di lapangan itu, saat ahli restorasi dari ARC-Nucléart sedang mem­bongkar haluan perahu di dermaga, mereka me­nemukan uang dinar perak berukuran koin seribu rupiah. Para pembangun kapal telah menyematkan uang logam itu di antara dua bilah papan, untuk membawa keberuntungan. Dan, keberuntungan memang datang—2.000 tahun kemudian.!break!

Ketika Arles-Rhone 3 karam, tongkang itu sedang membawa 30 ton batu bangunan. Batu itu berupa lempengan batu kapur yang datar dan tidak beraturan, dengan ketebalan delapan hingga 15 sentimeter. Semuanya berasal dari sebuah tambang di St Gabriel, sekitar 14 kilometer di sebelah utara Arles, dan mungkin sedang menuju sebuah situs pembangunan di bantaran kanan, lahan pertanian berawa di sebelah selatan Arles. Namun, tongkang itu mengarah ke hulu, bukan ke hilir, yang menunjukkan bahwa tongkang itu sedang ditambatkan di dermaga ketika karam.

Saat banjir surut, tumpukan sedimen yang diakibatkannya kembali masuk ke dalam air, menutupi tongkang itu dengan lapisan tanah liat halus dengan ketebalan tidak lebih dari 15 sentimeter. Di dalam tanah liat itu, Marlier dan timnya menemukan barang pribadi awak kapal. Sebuah sabit yang mereka gunakan untuk memotong bahan bakar untuk tungku. Sebuah dolium atau kendi tanah liat besar, dibelah dua untuk digunakan sebagai hibachi (pemanggang). Sebuah piring dan kendi abu-abu. Tiang, dengan jejak goresan akibat tali tambang, adalah temu­an­nya yang paling berharga.

Di ruang bawah tanah museum, saya dan Djaoui berjalan menyusuri lorong panjang deretan amphorae. Para arkeolog telah me­ngembalikan 120 metrik ton pecahan keramik kembali ke dasar sungai, di lubang yang ditinggalkan oleh tongkang itu.