Berburu Harta Karun Makam Peru

By , Senin, 19 Mei 2014 | 13:47 WIB

Dalam cahaya senja di pantai Peru, arkeolog Miłosz Giersz dan Roberto Pimentel Nita membuka sederet ruangan kecil tertutup di dekat sebuah makam kuno. Tersembunyi selama seribu tahun lebih di balik selapis batu bata berat, ruang-ruang kecil ini berisi kendi keramik. Ada yang berlukisan kadal, ada yang bergambar muka manusia menyeringai.

Giersz meringis. “Bau sekali di sini,” katanya. Dia mengintip ke dalam guci besar tak berhias. Guci itu penuh puparium busuk, sisa-sisa lalat yang dulu terpikat pada isi guci. Arkeolog itu mundur dan berdiri, menepiskan debu 1.200 tahun dari celananya. Selama tiga tahun menggali di situs ini, yang disebut El Castillo de Huarmey, Giersz menjumpai ekosistem kematian yang tak terduga—dari sisa serangga yang dulu makan daging manusia, ular yang bergelung dan mati di dasar guci, hingga lebah madu afrikanisasi yang bergerombol keluar.

Dulu banyak orang memperingatkan Giersz bahwa menggali reruntuhan El Castillo itu sulit, dan hampir pasti hanya membuang-buang waktu dan uang. Selama setidaknya seabad, pen­­jarah membuat terowongan ke dalam lereng bukit besar ini. Mereka mencari kuburan yang berisi tulang-belulang kuno yang dihiasi emas, dan dibalut selimut tenun terindah sepanjang sejarah. Bukit yang terletak empat jam berkendara di sebelah utara Lima itu bagaikan perpaduan antara permukaan bulan dan tempat pembuangan sampah—berlubang-lubang, tulang-belulang manusia kuno berserakan, sampah modern dan kain rombeng bertebaran. Penjarah biasanya membuang pakaian sebelum pulang, takut membawa penyakit dari mayat kepada keluarga mereka.

Tetapi Giersz, si eksentrik ramah berusia 36 tahun yang mengajar arkeologi Andes di Uniwersytet Warszawski, bertekad tetap meng­gali di sana. Ada peristiwa penting yang terjadi di El Castillo 1.200 tahun silam, Giersz yakin sekali. Di lerengnya bertebaran serpih tekstil dan tembikar pecah dari peradaban Wari di Peru, peradaban yang tidak terlalu dikenal, yang pusat wilayahnya terletak jauh ke selatan. Jadi, Giersz dan tim penelitian kecilnya mulai membuat citra bawah tanah dengan magnetometer, dan me­ngambil foto udara dengan kamera pada layangan. Hasilnya mengungkapkan sesuatu yang luput dari sekian generasi penjarah kuburan: batas samar tembok terkubur yang merentang di sepanjang bukit selatan berbatu.

Giersz dan tim Polandia-Peru pun meng­ajukan izin untuk mulai menggali. Batas samar itu ternyata merupakan labirin raksasa menara dan tembok tinggi yang terhampar di seluruh ujung selatan El Castillo. Dulu dicat merah terang, kompleks luas itu tampaknya merupakan kuil Wari untuk penyembahan leluhur. Saat menggali di bawah lapisan batu bata trapezoid berat pada musim gugur 2012, tim itu menemukan sesuatu yang tidak pernah diduga para arkeolog Andes: kuburan kerajaan yang belum dijarah. Di dalamnya terkubur empat ratu atau putri Wari, setidaknya 54 bangsa­wan lain, dan lebih dari seribu benda Wari elite, dari hiasan telinga emas besar hingga mangkok perak dan kapak aloi-tembaga, semuanya bermutu tinggi.

“Ini salah satu penemuan terpenting dalam beberapa tahun terakhir,” kata Cecilia Pardo Grau, kurator seni pra-Columbus di Museo de Arte de Lima. Sementara Giersz dan timnya terus menggali dan menjelajahi situs itu, analisis tentang temuannya mengungkapkan informasi baru tentang bangsa Wari dan kelas penguasa mereka yang kaya. !break!

Bangsa Wari, yang mulai muncul di Lembah Ayacucho di Peru pada abad ketujuh, meraih kejayaan jauh sebelum bangsa Inca, pada masa yang berulang kali dilanda kekeringan dan krisis lingkungan. Mereka menjadi insinyur piawai, mem­bangun akuaduk dan sistem kanal rumit untuk mengairi ladang teras siring. Di dekat kota modern Ayacucho mereka mendirikan ibu kota yang luas, yang kini disebut Huari. Pada puncaknya, Huari berpenduduk hingga 40.000 jiwa—kota yang lebih besar daripada Paris pada masa itu, yang penduduknya tak lebih dari 20.000 jiwa. Dari ibu kota ini, para penguasa Wari memperluas wilayah ratusan kilometer di sepanjang Pegunungan Andes dan memasuki gurun pantai, membentuk yang disebut banyak arkeolog sebagai kerajaan pertama di Amerika Selatan Andes.

Para peneliti sudah lama penasaran, bagai­mana persisnya bangsa Wari membangun dan me­merintah kerajaan yang luas dan sulit diatur ini, apakah melalui perang atau diplomasi, atau perpaduan keduanya. Tidak seperti banyak ke­kaisaran lain, bangsa Wari tidak memiliki sistem tulisan dan tidak meninggalkan sejarah tertulis. Tetapi, temuan melimpah di El Castillo, yang terletak sekitar 850 kilometer dari ibu kota bangsa Wari, menjelaskan banyak hal.

Bangsa penyerbu asing ini mungkin mulai muncul di pantai bagian ini sekitar akhir abad kedelapan. Wilayah ini terletak di perbatasan selatan para penguasa Moche yang kaya, dan tampaknya tidak memiliki pemimpin lokal yang kuat. Tidak diketahui bagaimana persis­nya bangsa penyerbu ini melancarkan serangan, tetapi cawan ritual penting yang ditemukan di makam kerajaan El Castillo menggambarkan tentara Wari bersenjatakan tombak-kapak me­lawan tentara pembela pesisir yang meng­gunakan pengumban lembing. Setelah perang usai, bangsa Wari memegang kendali penuh. Penguasa baru ini membangun istana di kaki El Castillo, dan seiring waktu dia dan para penerusnya mulai mengubah bukit terjal di atasnya menjadi kuil menjulang untuk menyembah leluhur.

Terselimuti bebatuan dan tanah yang dibawa angin selama hampir seribu tahun, El Castillo kini mirip piramida berundak raksasa, monumen yang dibangun dari bawah ke atas. Namun, sejak awal Giersz menduga bahwa El Castillo tidak sesederhana itu. Untuk mengetahui denah bangunan, dia mengundang tim pakar arsitektur untuk mempelajari tangga dan tembok yang baru tersingkap. Kajian mereka mengungkapkan hal yang sudah diduga Giersz—bahwa insinyur Wari memulai pembangunan di puncak El Castillo, yang merupakan formasi batu alami, baru kemudian pembangunan dilakukan makin lama makin menuruni lereng.

Di sepanjang puncak El Castillo, para pem­bangun mula-mula membuat ruang bawah tanah yang kemudian menjadi makam ke­rajaan. Setelah makam itu siap ditutup, buruh menuangkan 30 ton kerakal dan menutup se­luruh ruangan itu dengan selapis batu bata berat. Lalu, mereka mendirikan menara ma­kam di atasnya, dengan tembok merah terang yang terlihat dari kejauhan.

Kaum elite Wari meninggalkan sesajen me­wah di ruang-ruang kecil di dalam, dari tekstil tenun halus yang dihargai bangsa-bangsa Andes kuno lebih dari emas, hingga tali simpul yang disebut khipu, digunakan untuk mencatat harta benda kerajaan. Mereka juga meninggalkan anggota tubuh rajawali Andes, burung yang berkaitan erat dengan aristokrasi Wari. Di tengah menara terdapat ruangan yang berisi singgasana. Belakangan, para penjarah melapor kepada seorang arkeolog Jerman bahwa mereka menemukan mumi yang tersusun di relung-relung tembok di sana. “Kami cukup yakin ruangan ini dulu digunakan untuk me­nyembah leluhur,” kata Giersz. Bahkan mungkin digunakan untuk menyembah mumi sang kaisar, yang belum ditemukan oleh tim.

Para bangsawan mematok tempat di puncak untuk makam mereka sendiri. Setelah semua tempat di sana habis, mereka memperluas lahan permakaman, dengan membangun teras bertingkat di lereng El Castillo hingga ke kaki bukit, lalu memenuhinya dengan menara dan makam. Begitu pentingnya El Castillo bagi bangsa­wan Wari, kata Giersz, sehingga mereka “memanfaatkan semua pekerja lokal yang ada.” Pada semen kering di banyak tembok yang baru tersingkap, terdapat jejak tangan manusia, sebagian dibuat oleh anak-anak 11-12 tahun.