Berburu Harta Karun Makam Peru

By , Senin, 19 Mei 2014 | 13:47 WIB

Ketika pembangunan berakhir, mungkin antara tahun 900 dan 1000, El Castillo me­nyampai­kan pesan politik yang dahsyat kepada orang hidup: Bangsa penyerbu Wari kini adalah penguasa yang sah.!break!

Di dalam ruangan kecil bertembok, Wiesław Więckowski membungkuk di atas lengan manusia mumi, menyapu pasir dari jemari­nya yang kurus. Sudah hampir satu jam ahli bioarkeologi dari Uniwersytet War­szawski itu membersihkan ruangan bagian ini, mengumpulkan serpih dari selubung pe­makaman Wari dan mencari bagian lain jenazah itu. Saat menyodokkan tepi sekop ke sudut ruangan, dia menyingkapkan bagian tulang paha manusia yang tersangkut di tembok. Więckowski merengut. Dia menjelaskan, mungkin ada penjarah yang mencoba menarik keluar mumi dari ruangan sebelah, tetapi mumi itu malah tercerai-berai. “Yang kita ketahui hanyalah bahwa mumi itu lelaki dan cukup tua.”

Sebagai spesialis yang mempelajari jasad manusia, Więckowski sudah mulai menganalisis tulang-belulang semua orang yang ditemukan di dalam dan di dekat makam kerajaan. Jaringan lunak manusia di dalam ruangan tertutup itu tidak terawetkan dengan baik, kata Więckowski, tetapi kajiannya mulai menghasilkan perincian penting tentang kehidupan dan kematian para perempuan bangsawan ini serta penjaganya.

Hampir semua orang yang dimakamkan di dalam ruangan adalah perempuan, anak dan dewasa, yang tampaknya meninggal dalam masa beberapa bulan, kemungkinan besar akibat sakit atau tua. Petugas pemakaman mendandani mereka dengan tunik dan selendang tenun mewah, merias wajah dengan pigmen merah keramat, dan mempersolek mereka dengan per­hiasan berharga, dari ornamen telinga emas hingga kalung manik kristal yang indah. Lalu, petugas mengatur jenazah dalam posisi duduk bercangkung yang lazim di tengah bangsa Wari, dan membungkus setiap jenazah dalam kain besar, membentuk selubung pemakaman.

Derajat sosial mereka, kata Więckowski, tetap penting setelah mati, seperti semasa hidupnya. Petugas meletakkan perempuan berderajat ter­tinggi—mungkin ratu atau putri raja—di tiga ruangan-samping pribadi di dalam makam. Sosok terpenting, perempuan sekitar 60 tahun, terbujur dikelilingi oleh kemewahan langka, dari beberapa pasang ornamen telinga hingga kapak ritual perunggu dan cawan perak. Para arkeolog terpukau oleh kekayaannya dan aksi pamer ke­mewahannya. “Apa pekerjaan perempuan ini?” Makowski merenung.

Di luarnya, di area umum yang luas, petugas mengatur para perempuan bangsawan yang lebih rendah derajatnya di sepanjang tembok. Di samping setiap jenazah, dengan sedikit pe­ngecualian, mereka meletakkan wadah yang ukuran dan bentuknya mirip kotak sepatu. Terbuat dari potongan rumput, wadah itu berisi semua keperluan alat tenun untuk membuat kain bermutu tinggi. Kaum perempuan Wari mahir menenun, meng­hasilkan kain bak permadani dengan jumlah benang lebih banyak daripada kain buatan penenun Flandria dan Belanda pada abad ke-16.

Setelah ruangan siap ditutup, petugas mem­bawa sesajen terakhir menaiki lereng El Castillo: kurban manusia. Seluruhnya enam orang, tiga anak dan tiga dewasa muda. Menurut Więckowski, para kurban ini mungkin anak-anak kaum bangsawan yang ditaklukkan. “Kalau kita penguasa dan ingin orang mem­buktikan kesetiaan pada garis keturunan kita, ambil anak mereka,” katanya. Petugas me­lempar­kan jasadnya ke dalam makam. Lalu, mereka me­nutup ruangan itu, meletakkan ja­sad seorang lelaki dewasa muda yang masih ga­gah dan seorang perempuan tua—keduanya ter­bungkus—di pintu masuk sebagai penjaga. Kaki kiri kedua jasad itu dibuntungkan, mungkin untuk memastikan agar mereka tidak bisa meninggalkan tugasnya.

Więckowski sedang menunggu hasil analisis DNA dan uji isotop untuk menimba informasi lebih jauh tentang para perempuan di dalam makam dan kemungkinan asal mereka. Tetapi, bagi Giersz, bukti-bukti mulai membentuk gambar terperinci tentang serangan bangsa Wari ke pantai utara. “Kenyataan bahwa mereka membangun kuil penting di sini, di wilayah penting di bekas perbatasan dengan bangsa Moche, menyiratkan bahwa bangsa Wari menaklukkan wilayah ini dan berniat menetap.”

Di Museo de Arte de Lima, para arkeolog El Castillo berseri-seri saat memeriksa be­berapa temuan yang baru dibersihkan. Sudah berminggu-minggu para konservator mengelupas noda hitam tebal yang melapisi banyak artefak logam, menampakkan corak yang berkilauan. Terlindung dalam tisu, ter­dapat tiga ornamen telinga emas, masing-masing kira-kira sebesar kenop pintu dan ber­gambar dewa bersayap atau makhluk mitos. Anggota tim Patrycja Prządka-Giersz, arkeolog Uniwersytet Warszawski yang juga istri Giersz, mengamatinya dengan senang. Hiasan ini, katanya, “semua berbeda-beda, dan baru dapat dilihat setelah proses konservasi.”

Saat mengintip ke dalam kotak kardus besar di atas meja, Giersz menemukan salah satu temuan utama tim: buli-buli keramik. Dilukis dan dihiasi meriah, buli-buli ini menggambarkan penguasa Wari yang berpakaian mewah dan naik rakit dari kayu balsa, mengarungi perairan pantai yang penuh paus dan makhluk laut lain. Buli-buli berusia 1.200 tahun itu tampaknya melukiskan suatu peristiwa—setengah mitos, setengah nyata—dalam sejarah pantai utara, yaitu kedatangan seorang penguasa Wari yang penting, mungkin bahkan kaisar Wari sendiri. “Jadi, kami mulai menyusun cerita tentang kaisar Wari yang melaut naik rakit,” kata Makowski, “kaisar yang mangkat di pantai Huarmey, ditemani istri-istrinya.”

Untuk sementara, ini hanya cerita, tebakan arkeo­logis berdasarkan informasi yang ada. Tetapi, Giersz masih berpikiran bahwa mungkin, di tengah labirin tembok dan ruangan bawah tanah itu, terdapat makam seorang penguasa besar Wari. Dan jika para penjarah belum men­dahuluinya, dia bertekad menemukannya.