Kerajaan Batu

By , Jumat, 27 Juni 2014 | 13:11 WIB

Karena bentuk gua tidak beraturan, sulit menentukan tepi setiap ruang, atau menarik garis perbatasan. Apa definisi ruang gua, dan apa yang hanya lorong? Pertanyaan semantik ini akan selalu diperdebatkan oleh anggota ekspedisi, karena salah satu tujuan akhir pemindaian 3-D ini—mengurutkan ruang gua terbesar di dunia berdasarkan volume—mustahil tercapai jika penjelajah gua tidak dapat menyepakati definisinya.

Gua terbesar yang diketahui adalah Ruang Sarawak di Malaysia, yang ditemukan Eavis dan dua orang lain pada tahun 1980 dan pemindaiannya mereka bantu pada 2011. Perkiraan volumenya 9,57 juta meter kubik. Saat saya menyusul tim pemindai, mereka berada di lumpur retak di dekat meteorit. Ini salah satu dari 17 pos pemindaian di Hong Meigui.

Pemindai memancarkan denyut laser dan mengukur waktu yang diperlukan denyut itu untuk dipantulkan kembali. Jarak dihitung dengan mudah berdasarkan kecepatan cahaya. Model kami adalah Riegl VZ-400, yang digunakan dalam arsitektur, teknik, dan pertambangan, serta kini untuk pertama kalinya, dalam penelusuran gua. Alat ini berupa tabung logam kira-kira sebesar kepala manusia dan beratnya 9,5 kilogram, belum termasuk dua baterai empat kilogram atau tripod atau laptop dan kabel. Saat beroperasi, alat ini dipasang setinggi mata, berputar 360 derajat dan melakukan hingga 122.000 pengukuran per detik untuk segala sesuatu dalam radius maksimal 610 meter.

Untuk menyiapkan pos pemindaian, Walters menggunakan waterpas saku untuk memastikan tripod itu datar, mengarahkan pemindai dengan kompas, lalu mengeluarkan laptop 17 inci baru dari wadah kedap air dan menyerahkannya kepada Pani. Eavis berdiri di dekat situ. Mereka memasang kabel Ethernet biru-hijau pada laptop dan menekan tombol pada pemindai laser, lalu tiba-tiba alat itu beraksi, kepalanya berputar tanpa suara sementara tim seakan menahan napas bersama-sama.

Tiga menit kemudian hasilnya muncul di laptop Pani. Gambarnya hitam-putih dan beresolusi rendah. Tetapi memukau. Di sana, kami merunduk di lumpur dalam gelap, menatap layar terang. Pani menerbangkan kami dalam gua virtual itu—dan akhirnya saya melihat lokasi saya sendiri. Bagai pengalaman luar-tubuh.!break!

Sementara ekspedisi melanjutkan ke dua ruang besar lain, Miao dan Titan, kami teringat bahwa Hong Meigui merupakan hal langka di Tiongkok karena alasan selain ukurannya. Pertama kali dijelajahi pada 2001 oleh penelusur gua asing, ruang itu tidak memiliki jejak kaki manusia satu pun sampai mereka tiba.

Banyak gua di Tiongkok selatan memiliki sejarah manusia yang berawal setidaknya dinasti Qin dan Han, dua ribu tahun silam. Penelaahan bawah tanah pada masa itu bertujuan mencari chi, atau energi kehidupan, yang diyakini banyak terdapat di wilayah karst. Stalagmit dan kolam rimstone juga menyediakan bahan baku untuk afrodisiak dan obat-obatan awal; ruang gua menjadi tempat berdoa. Sekarang pun petani menggunakan ruang depan gua untuk menyimpan dan mengeringkan biji-bijian.

Dalam perjalanan ke Hong Meigui, kami sempat singgah di Fengshan, delapan jam di sebelah barat Guilin dan bagian dari Taman Geologi Leye-Fengshan baru seluas 930 kilometer persegi. Di sini terdapat gua kota yang besar, Chuanlongyan, yang melingkupi jalan dua jalur, museum terbuka, dan amfiteater umum.

Bottazzi, Eavis, dan Smart menunjukkan pindaian kasar gua setempat kepada pejabat wilayah di Fengshan. Dia langsung ingin tahu apakah mereka bisa membedakan bagian gua yang tidak stabil. Eavis, yang sukses di bidang penelusuran gua sebagian besar karena dia pandai berurusan dengan pejabat, menangkap arah pembicaraan ke manfaat praktis. “Ya, tentu saja,” jawabnya. Smart menambahkan, “Anda dapat membatasi daerah berbahaya dengan tali, jadi wisatawan tetap di jalur yang aman.” Ledakan pariwisata wilayah karst—yang didorong oleh peningkatan kelas menengah Tiongkok dan nostalgia pemandangan khas—memenuhi benak semua orang.

Di Fengshan kami juga melihat keluarga-ke­luarga berjaket pelampung jingga, yang diantar tukang perahu menghulu di sungai biru, berseru riang saat melewati stalaktit di gua-gua rendah.

Saat kami tiba dari Leye dan Hong Meigui, pekerja sedang mengebor jalan setapak wisata pada dinding tinggi Gua Yanzi, yang dinamai berdasarkan burung layang yang bersarang di dinding tersebut. Jalan setapak itu berujung di lift baru. Di Getu kami memindai ruang gua yang dianggap terbesar kedua di bumi berdasarkan luas, yaitu Ruang Miao, seluas 19 kali lapangan sepak bola.

Sebelum perjalanan mobil ke selatan dari Getu ke tujuan pemindaian terakhir kami, Ruang Titan, anggota ekspedisi berkebangsaan Amerika, Michael Warner, mencoba memahami apa sebenarnya yang kami lakukan di sini. Setiap ruang yang kami kunjungi sudah pernah dikunjungi, dia berkomentar, jika bukan oleh penelusur gua, oleh petani—jadi, ekspedisi ini bukan soal penemuan. “Sebenarnya penjelajahan adalah mendokumentasikan sesuatu untuk pertama kali,” Warner memutuskan. “Dan pemindaian laser adalah cara terbaik sejauh ini untuk mendokumentasikan gua.”!break!

Titan adalah gua ideal untuk seni pemindaian laser bawah tanah yang masih muda ini. Di tengah ruangannya yang besar, terdapat lereng yang diliputi puing-puing dan kolam, merayap naik ke stalagmit kembar 15 meter yang terletak di puncak gunung bawah tanah. Kalau pemindai diletakkan di atas stalagmit besar, kita dapat memindai hampir seluruh Titan—sekitar 5 hektare, agak lebih luas daripada Hong Meigui—dalam satu pindaian 360 derajat.

Semua kembali ke permukaan, lelah ternoda dan debu. Kami mengira ekspedisi sudah selesai, tetapi Eavis menyimpan kejutan sehari sebelum kami terbang pulang: pesiar melalui karst di Sungai Li, tujuan wisata populer di Guilin, dengan persinggahan di gua yang pertama kali disurvei oleh timnya pada 1985. Dia juga mengikuti pesiar pada 1982, sewaktu hanya ada beberapa puluh perahu sungai. Sekarang bisa mencapai dua ratus per hari, yang masing-masing membawa seratus wisatawan, dan ribuan orang membanjiri Gua Mahkota.

Sungai Li masih indah, tetapi Gua Mahkota, setelah Titan, terasa mengejutkan. Kami digiring ke pintu masuk secara berkelompok 20 orang, masing-masing mengikuti pemandu yang membawa mikrofon dan speaker jinjing agar suaranya terdengar di antara kegaduhan pemandu lain. Di dalam, stalagmit dan kolam diterangi dengan lampu hijau, merah, dan ungu yang mencolok. Ada jalan setapak, pagar, dan di beberapa ruang, kios pernak-pernik. Di tengah perjalanan menembus gua terdapat lift kaca. Pemandu kami menggegas kami mengantre ke kereta bawah tanah, yang akan membawa kami ke antrean perjalanan perahu bawah tanah.

Eavis melambat, memfoto semuanya. Dahulu dia sendirian di Gua Mahkota, memetakannya, sebagai penjelajah yang menemukan lorong-lorong tersembunyi. Sekarang ini. Kami mulai berlari kecil menaiki tangga untuk menyusul kelompok. “Apakah kau merasa gamang melihat situasi ini?” tanya saya. “Tidak juga,” katanya, dan terus berlari. Para wisatawan kini mengeluarkan kamera masing-masing, kemudian mendokumentasikan setiap sudut Gua Mahkota yang terlihat dalam cahaya buatan—semacam eksplorasi. Bagi Eavis, ini hal paling alami di dunia.