Kerajaan Batu

By , Jumat, 27 Juni 2014 | 13:11 WIB

Merunduk di tengah lumpur di dasar salah satu ruang gua terbesar di Tiongkok, salah satu yang terbesar di dunia, kami tidak mendengar apa-apa selain bunyi napas dan tik-tik-tik air di kejauhan. Kami tidak melihat apa-apa selain kehampaan. Lalu, kami memandang layar laptop yang tersambung ke pemindai laser, dan Ruang Hong Meigui pun menampakkan diri. Kami membubung ke atapnya, yang membentuk lengkung katedral 290 meter di atas lumpur retak tempat kami merunduk, untuk menghindari berkas laser pemindai. Kami melayang di atas danau. Kami mendarat di pantai seberang.

“Seperti The Matrix,” kata Daniela Pani, seorang ahli ilmu bumi dari Sardinia yang mengoperasikan laptop.

Versi digital gua itu lebih nyata daripada ke­hidupan nyata. Gua nyata itu gelap. Gulita. Di ruang besar, bahkan dengan lampu kepala LED, kita hanya bisa melihat sekitar 50 meter ke depan atau ke atas, dan tidak lebih banyak lagi. Kabut atau kehampaan mengalahkan sinar paling terang sekalipun. Wajar saja kalau ingin melihat lebih.

Keinginan melihat lebih itulah yang memikat Andy Eavis datang ke Tiongkok selatan lebih dari 30 tahun lalu. Di sini, di negara yang masih tertutup ini, terdapat konsentrasi terbesar di bumi untuk topografi ajaib yang disebut karst: lubang tampung, menara batu, hutan menara, dan sungai menghilang yang terbentuk selama berabad-abad ketika air hujan melarutkan batuan yang dapat larut, biasanya batu gamping. Dan, di dalam dan di bawah pemandangan gunung menghijau ini tersembunyi konsentrasi terbesar gua tak terdokumentasi di planet ini.

Itu pula sebabnya Eavis datang sekali lagi ke Tiongkok, kali ini membawa tas penelusuran gua yang lawas, penuh berisi laptop baru, baterai, dan pemindai laser 3-D yang bernilai lebih dari satu miliar rupiah. Di dalam gua, teknologi dapat melihat hal yang tidak terlihat manusia. Dia berencana melewatkan waktu selama sebulan di tiga ruang gua terbesar di dunia, menyalakan pemindai—dan mengukur secara tepat untuk pertama kalinya.

Eavis, orang Inggris berambut putih dan berbadan pendek gemuk pada usia akhir 60-an, sering disebut telah menemukan wilayah lebih panjang daripada manusia mana pun yang masih hidup. Ekspedisi yang dipimpinnya telah mendokumentasikan 530 kilometer lorong gua baru, dan angkanya masih terus bertambah. “Itu sebabnya saya menelusuri gua,” katanya. “Untuk menjelajah. Dalam penelusuran gua, kita masih bisa menjadi orang pertama. Andai masih tersisa negara yang dapat dijelajahi, benua yang dapat dijelajahi, tentu saya lakukan.”

Eavis, yang kini menjabat sebagai ketua British Caving Association, datang ke Tiongkok pertama kali pada 1982. Kunjungan ke ibu kota karst, yakni Guilin, di tenggara jauh yang lembap di negara ini, merupakan persinggahan singkat dalam perjalanannya pulang dari ekspedisi di Indonesia. Kota di tengah puncak gunung dan wilayah Guangxi di sekitarnya dulu berbeda: banyak sepeda tetapi sedikit mobil, petani berbaju kerja biru, pendamping untuk orang asing. Eavis dan rekannya melewatkan sebagian besar program wisata untuk bertemu dengan pejabat di Institut Geologi Karst, awal hubungan yang kemudian membawa penelusur gua Inggris dan Tiongkok memasuki batu gamping selama tiga dasawarsa selanjutnya. Kecepatan penemuannya hampir sama cepat dan memukau seperti perubahan Tiongkok sendiri selama tahun-tahun itu.!break!

Kali ini Eavis berada di Guilin bersama tim beranggotakan sepuluh penelusur-gua internasional. Ketika tiba, kami disambut oleh dengung taksi dan skuter di kota yang membengkak hingga kira-kira sejuta jiwa. Tiongkok baru—jalan bebas hambatan, supermal mewah, puncak gunung menjadi tambang batu untuk memenuhi kebutuhan ledakan ekonomi—terasa mencengangkan, terutama bagi dua anggota tim. Richard Walters dan Peter Smart menemani Eavis di Guilin pada tahun 1985 dan ‘86, ekspedisi pertama dari dua puluh empat ekspedisi yang menjadi cikal-bakal China Caves Project. Keduanya baru sekarang datang lagi ke sini.

Walters, wiraswasta telekomunikasi, akan mem­bantu mengoperasikan pemindai bersama Pani, yang dalam pekerjaan sebelumnya menemukan kapal-kapal laut Perang Dunia Kedua yang karam di Laut Tengah dan mem­bantu mendukung pelatihan astronaut di gua-gua di Sardinia tempat kelahirannya. Smart, ilmuwan karst terkemuka yang pensiun dari University of Bristol pada tahun 2009, memiliki jenggot khas profesor dan kacamata yang senantiasa miring. Dia bersemangat soal inovasi pemindai laser. Meski Tiongkok berubah banyak, kami mendapati bahwa seiring kami melanjutkan perjalanan ke barat dari Guilin menuju ruang-ruang gua terbesar, perumpamaan jeli Smart tentang pemandangan itu masih sesuai. “Dari atas,” katanya, “pemandangannya mirip kotak telur.”

Berdasarkan luasnya, ruang hong meigui, ruang gua pertama yang akan kami pindai, diperkirakan sebesar sekitar delapan lapangan sepak bola. Gua ini nomor delapan pada daftar ruang gua terbesar di dunia yang diketahui pada 2012, di belakang pesaing di Malaysia, Spanyol, Oman, Belize, dan di tempat lain di Tiongkok—tetapi urutannya berdasarkan volume adalah pertanyaan yang kami harap dapat mulai dijawab dalam 3-D. Markas kami untuk bagian awal ekspedisi ini bukan kemah bawah tanah, melainkan hotel ukuran industri yang sudah tua di kota Leye, yang berpenduduk 5.000 jiwa saat pertama kali dikunjungi oleh China Caves Project. Sekarang jumlah warganya berkali lipat, dan lebih dari 160.000 wisatawan per tahun datang untuk melihat Dashiwei Tiankeng di dekat sini, sebuah lubang tampung selebar 610 dan sedalam 610 meter yang pertama kali diketahui ilmuwan Institut Karst pada tahun 1998 dan dijelajahi oleh China Caves Project dua tahun kemudian. Foto Eavis dipajang di museum setempat.

Untuk mencapai Hong Meigui setiap hari, kami mengemudi ke lapangan parkir tak jauh dari kota, lalu bersalin baju wearpack serta me­ngenakan tali pengaman, helm, dan lampu kepala, kemudian berjalan satu-dua menit ke sebuah lubang yang berpenampilan biasa, di lereng gunung berhutan. Melewati bak beton yang digunakan petani untuk menampung tetesan air dari atap yang menjulur, gua itu dengan cepat semakin dingin, terjal, dan gelap. Sebentar kemudian, kami berada di dunia lain.

Dua peluncuran pendek—kira-kira lima meter dan 15 meter—telah diatur oleh penjelajah gua paling mahir di kelompok kami, Tim Allen dan Mark Richardson. Selain itu, kami berjalan kaki. Hampir sejam dalam penurunan pertama, saya mengikuti istri Tim, Jane Allen, yang juga penelusur gua piawai, menuruni tangga kolam yang berkilauan tertimpa cahaya lampu kepala, lalu memasuki lorong seperti terowongan yang permukaannya mirip—dan kadang memang berupa—sungai lumpur.

Perasaan yang timbul saat kami masuk ke Ruang Hong Meigui itu sendiri memusingkan sekaligus akrab. Saya tahu ruang itu besar semata-mata karena saya tidak bisa melihat banyak; cahaya lampu saya tidak lagi terpantul pada langit-langit atau dinding. Partikel melayang-layang di udara, karena angin pun tak mampu sampai ke sini. Sebuah batu sebesar truk angkut pernah jatuh ke lantai dari suatu tempat yang sangat tinggi, kawahnya dikelilingi gelombang kejut lumpur; tim kami menamainya “meteorit.” Saat saya mulai memanjat lereng berkerikil, barulah pengalaman ini terasa akrab. Lereng itu begitu besar, medannya begitu kasar, rasanya seperti memanjat gunung pada malam tak berbintang.!break!

Karena bentuk gua tidak beraturan, sulit menentukan tepi setiap ruang, atau menarik garis perbatasan. Apa definisi ruang gua, dan apa yang hanya lorong? Pertanyaan semantik ini akan selalu diperdebatkan oleh anggota ekspedisi, karena salah satu tujuan akhir pemindaian 3-D ini—mengurutkan ruang gua terbesar di dunia berdasarkan volume—mustahil tercapai jika penjelajah gua tidak dapat menyepakati definisinya.

Gua terbesar yang diketahui adalah Ruang Sarawak di Malaysia, yang ditemukan Eavis dan dua orang lain pada tahun 1980 dan pemindaiannya mereka bantu pada 2011. Perkiraan volumenya 9,57 juta meter kubik. Saat saya menyusul tim pemindai, mereka berada di lumpur retak di dekat meteorit. Ini salah satu dari 17 pos pemindaian di Hong Meigui.

Pemindai memancarkan denyut laser dan mengukur waktu yang diperlukan denyut itu untuk dipantulkan kembali. Jarak dihitung dengan mudah berdasarkan kecepatan cahaya. Model kami adalah Riegl VZ-400, yang digunakan dalam arsitektur, teknik, dan pertambangan, serta kini untuk pertama kalinya, dalam penelusuran gua. Alat ini berupa tabung logam kira-kira sebesar kepala manusia dan beratnya 9,5 kilogram, belum termasuk dua baterai empat kilogram atau tripod atau laptop dan kabel. Saat beroperasi, alat ini dipasang setinggi mata, berputar 360 derajat dan melakukan hingga 122.000 pengukuran per detik untuk segala sesuatu dalam radius maksimal 610 meter.

Untuk menyiapkan pos pemindaian, Walters menggunakan waterpas saku untuk memastikan tripod itu datar, mengarahkan pemindai dengan kompas, lalu mengeluarkan laptop 17 inci baru dari wadah kedap air dan menyerahkannya kepada Pani. Eavis berdiri di dekat situ. Mereka memasang kabel Ethernet biru-hijau pada laptop dan menekan tombol pada pemindai laser, lalu tiba-tiba alat itu beraksi, kepalanya berputar tanpa suara sementara tim seakan menahan napas bersama-sama.

Tiga menit kemudian hasilnya muncul di laptop Pani. Gambarnya hitam-putih dan beresolusi rendah. Tetapi memukau. Di sana, kami merunduk di lumpur dalam gelap, menatap layar terang. Pani menerbangkan kami dalam gua virtual itu—dan akhirnya saya melihat lokasi saya sendiri. Bagai pengalaman luar-tubuh.!break!

Sementara ekspedisi melanjutkan ke dua ruang besar lain, Miao dan Titan, kami teringat bahwa Hong Meigui merupakan hal langka di Tiongkok karena alasan selain ukurannya. Pertama kali dijelajahi pada 2001 oleh penelusur gua asing, ruang itu tidak memiliki jejak kaki manusia satu pun sampai mereka tiba.

Banyak gua di Tiongkok selatan memiliki sejarah manusia yang berawal setidaknya dinasti Qin dan Han, dua ribu tahun silam. Penelaahan bawah tanah pada masa itu bertujuan mencari chi, atau energi kehidupan, yang diyakini banyak terdapat di wilayah karst. Stalagmit dan kolam rimstone juga menyediakan bahan baku untuk afrodisiak dan obat-obatan awal; ruang gua menjadi tempat berdoa. Sekarang pun petani menggunakan ruang depan gua untuk menyimpan dan mengeringkan biji-bijian.

Dalam perjalanan ke Hong Meigui, kami sempat singgah di Fengshan, delapan jam di sebelah barat Guilin dan bagian dari Taman Geologi Leye-Fengshan baru seluas 930 kilometer persegi. Di sini terdapat gua kota yang besar, Chuanlongyan, yang melingkupi jalan dua jalur, museum terbuka, dan amfiteater umum.

Bottazzi, Eavis, dan Smart menunjukkan pindaian kasar gua setempat kepada pejabat wilayah di Fengshan. Dia langsung ingin tahu apakah mereka bisa membedakan bagian gua yang tidak stabil. Eavis, yang sukses di bidang penelusuran gua sebagian besar karena dia pandai berurusan dengan pejabat, menangkap arah pembicaraan ke manfaat praktis. “Ya, tentu saja,” jawabnya. Smart menambahkan, “Anda dapat membatasi daerah berbahaya dengan tali, jadi wisatawan tetap di jalur yang aman.” Ledakan pariwisata wilayah karst—yang didorong oleh peningkatan kelas menengah Tiongkok dan nostalgia pemandangan khas—memenuhi benak semua orang.

Di Fengshan kami juga melihat keluarga-ke­luarga berjaket pelampung jingga, yang diantar tukang perahu menghulu di sungai biru, berseru riang saat melewati stalaktit di gua-gua rendah.

Saat kami tiba dari Leye dan Hong Meigui, pekerja sedang mengebor jalan setapak wisata pada dinding tinggi Gua Yanzi, yang dinamai berdasarkan burung layang yang bersarang di dinding tersebut. Jalan setapak itu berujung di lift baru. Di Getu kami memindai ruang gua yang dianggap terbesar kedua di bumi berdasarkan luas, yaitu Ruang Miao, seluas 19 kali lapangan sepak bola.

Sebelum perjalanan mobil ke selatan dari Getu ke tujuan pemindaian terakhir kami, Ruang Titan, anggota ekspedisi berkebangsaan Amerika, Michael Warner, mencoba memahami apa sebenarnya yang kami lakukan di sini. Setiap ruang yang kami kunjungi sudah pernah dikunjungi, dia berkomentar, jika bukan oleh penelusur gua, oleh petani—jadi, ekspedisi ini bukan soal penemuan. “Sebenarnya penjelajahan adalah mendokumentasikan sesuatu untuk pertama kali,” Warner memutuskan. “Dan pemindaian laser adalah cara terbaik sejauh ini untuk mendokumentasikan gua.”!break!

Titan adalah gua ideal untuk seni pemindaian laser bawah tanah yang masih muda ini. Di tengah ruangannya yang besar, terdapat lereng yang diliputi puing-puing dan kolam, merayap naik ke stalagmit kembar 15 meter yang terletak di puncak gunung bawah tanah. Kalau pemindai diletakkan di atas stalagmit besar, kita dapat memindai hampir seluruh Titan—sekitar 5 hektare, agak lebih luas daripada Hong Meigui—dalam satu pindaian 360 derajat.

Semua kembali ke permukaan, lelah ternoda dan debu. Kami mengira ekspedisi sudah selesai, tetapi Eavis menyimpan kejutan sehari sebelum kami terbang pulang: pesiar melalui karst di Sungai Li, tujuan wisata populer di Guilin, dengan persinggahan di gua yang pertama kali disurvei oleh timnya pada 1985. Dia juga mengikuti pesiar pada 1982, sewaktu hanya ada beberapa puluh perahu sungai. Sekarang bisa mencapai dua ratus per hari, yang masing-masing membawa seratus wisatawan, dan ribuan orang membanjiri Gua Mahkota.

Sungai Li masih indah, tetapi Gua Mahkota, setelah Titan, terasa mengejutkan. Kami digiring ke pintu masuk secara berkelompok 20 orang, masing-masing mengikuti pemandu yang membawa mikrofon dan speaker jinjing agar suaranya terdengar di antara kegaduhan pemandu lain. Di dalam, stalagmit dan kolam diterangi dengan lampu hijau, merah, dan ungu yang mencolok. Ada jalan setapak, pagar, dan di beberapa ruang, kios pernak-pernik. Di tengah perjalanan menembus gua terdapat lift kaca. Pemandu kami menggegas kami mengantre ke kereta bawah tanah, yang akan membawa kami ke antrean perjalanan perahu bawah tanah.

Eavis melambat, memfoto semuanya. Dahulu dia sendirian di Gua Mahkota, memetakannya, sebagai penjelajah yang menemukan lorong-lorong tersembunyi. Sekarang ini. Kami mulai berlari kecil menaiki tangga untuk menyusul kelompok. “Apakah kau merasa gamang melihat situasi ini?” tanya saya. “Tidak juga,” katanya, dan terus berlari. Para wisatawan kini mengeluarkan kamera masing-masing, kemudian mendokumentasikan setiap sudut Gua Mahkota yang terlihat dalam cahaya buatan—semacam eksplorasi. Bagi Eavis, ini hal paling alami di dunia.