Pada 2050, ada dua miliar mulut lagi yang harus diberi makan. Seri khusus selama delapan bulan ini akan membahas cara kita melakukannya—tanpa merusak planet ini.
—
Dia tidak pernah menduga akan kedatangan traktor besar. Traktor itu meratakan kebun pisangnya, jagung, kacang, singkong, dan ubi jalarnya. Ladang setengah hektare di dekat Xai-Xai, Mozambik, yang menyediakan pangan bagi Flora Chirime dan kelima anaknya, diratakan oleh sebuah perusahaan Tiongkok. Mereka tengah membuat perkebunan seluas 20.000 hektare.
“Tanpa permisi sama sekali,” kata Chirime yang berusia 45 tahun, suaranya keras terbakar amarah. “Tiba-tiba saja ada traktor yang datang ke ladang saya dan menghancurkan semua isinya. Tidak seorang pun di antara kami para pemilik machamba [ladang kecil] yang mendapat ganti rugi!” Kelompok masyarakat madani setempat melaporkan bahwa ladang dan mata pencaharian ribuan orang telah dirampas oleh Wanbao Africa Agricultural Development Company—semua atas persetujuan pemerintah Mozambik, yang sudah berulang kali mengabaikan hak tanah para petani lokal demi investasi perusahaan besar. Mereka yang diterima bekerja di pertanian raksasa tersebut bekerja tujuh hari seminggu tanpa upah lembur. Seorang juru bicara yang mewakili Wanbao membantah tuduhan tersebut, dan menekankan bahwa mereka melatih petani lokal untuk menanam padi.
Situasi yang menimpa Chirime dialami banyak pihak lain. Dia hanya salah satu peran kecil dalam kisah terbesar pertanian global: upaya unik untuk mengubah Afrika sub-Sahara, yang sepanjang sejarah merupakan salah satu tempat paling kekurangan pangan di planet ini, menjadi lumbung utama baru bagi dunia.
Sejak 2007 harga jagung, kedelai, gandum, dan beras yang mendekati rekor memicu demam lahan global di kalangan investor perusahaan. Mereka ingin menyewa atau membeli lahan di negara yang harga tanahnya masih murah, pemerintahnya bisa diajak kongkalikong, dan hak milik sering diabaikan.
Tempat ini juga memiliki “kesenjangan produktivitas” terbesar di bumi: Sementara petani jagung, gandum, dan beras di AS, Tiongkok, serta negara zona Euro menghasilkan sekitar enam ton per hektare, petani di Afrika sub-Sahara rata-rata menuai satu ton. Meskipun pernah beberapa kali dicoba, revolusi hijau tidak berhasil diterapkan di Afrika, akibat prasarana yang buruk, pasar terbatas, pemerintahan yang lemah, dan perang saudara.
Sebagian besar rintangan tersebut sekarang mulai dapat diatasi. Ekonomi Afrika sub-Sahara tumbuh secara stabil pada laju sekitar lima persen per tahun selama dasawarsa terakhir, mengalahkan AS dan Uni Eropa. Utang nasional menurun, dan pelaksanaan pemilu kian damai. Lebih dari sepertiga orang Afrika sub-Sahara kini memiliki ponsel dan menggunakannya untuk perbankan seluler, usaha kecil, atau mengirim uang kepada keluarga di kampung. !break!
Benua ini menjadi laboratorium untuk menguji pendekatan baru dalam meningkatkan produksi pangan. Jika petani Afrika sub-Sahara dapat meningkatkan hasil mereka menjadi empat ton per hektare saja dengan teknologi yang ada, sebagian ahli percaya bahwa mereka bukan hanya bisa berswasembada pangan, tetapi bahkan dapat mengekspor hasilnya. Artinya, negara itu bisa mendapat devisa sekaligus turut memberi makan dunia.
Ini jelas visi yang sangat optimistis. Namun, pertanyaan peliknya, Siapa yang akan melakukan pertanian di Afrika pada masa depan? Apakah petani gurem seperti Chirime yang mengolah lahan setengah hektare, yang merupakan sekitar 70 persen tenaga kerja di benua itu? Atau perusahaan raksasa seperti Wanbao, yang menggunakan metode pertanian industri seperti yang dilakukan di Midwest Amerika?
Kelompok kemanusiaan dalam masalah kelaparan global dan hak petani menyebut transaksi tanah antara perusahaan besar dan negara tersebut sebagai neokolonialisme dan agro-imperialisme. Namun, banyak pemain lama dalam pembangunan pertanian yang menyatakan bahwa gelontoran dana, teknologi, dan prasarana yang dibawa ke kawasan pedesaan miskin dapat menjadi katalis bagi pembangunan. Kuncinya, kata Gregory Myers dari USAID, adalah melindungi hak tanah rakyat. “Ini dapat mengurangi kemiskinan global secara signifikan, dan bisa menjadi peristiwa besar abad ini.”!break!
“Jika kita memohon kepada tuhan agar diberi tanah dan kondisi iklim yang terbaik untuk pertanian, inilah yang akan dikaruniakan-Nya,” kata Miguel Bosch, seorang ahli agronomi Argentina yang mengelola Hoyo Hoyo, perkebunan kedelai hampir seluas 10.000 hektare di Mozambik utara. “Tempat ini surga bagi petani. Saya sudah bertahun-tahun bertani di Brasilia dan Argentina, tetapi belum pernah melihat tanah seperti ini.”
Tanah yang subur, melonjaknya permintaan kedelai dan beras, serta kesediaan pemerintah, menjadikan bekas koloni Portugis ini pusat demam lahan yang melanda benua ini. Pada 2013, negara tersebut merupakan negara termiskin ketiga di muka bumi. Penemuan cadangan gas alam dan batu bara, serta konsesi pertambangan dan kehutanan secara perlahan mengubah nasib negeri ini. Hal itu mendongkrak ekonomi Mozambik yang tumbuh sekitar tujuh persen pada 2013. Proyek prasarana besar-besaran bermunculan. Jepang membangun jalan dan jembatan. Perusahaan Portugis membangun pelabuhan dan jalur kereta api. Tiongkok membangun bandara baru, gedung parlemen, stadion sepak bola, bahkan istana presiden baru.