Lumbung Masa Depan

By , Jumat, 27 Juni 2014 | 13:24 WIB

Namun, tidak banyak kekayaan yang ikut dinikmati oleh 24 juta penduduk negeri tersebut, lebih dari setengahnya hanya berpenghasilan kurang dari 15 ribu rupiah per hari. Namun, untuk sementara, aliran uang ke Mozambik hanya akan terganggu jika terjadi kerusuhan lagi. Setelah pecah kerusuhan di Maputo pada 2010 akibat mahalnya harga pangan, Presiden Guebuza memecat menteri pertanian dan meng­gantinya dengan Menteri Dalam Negeri Jose Pacheco, seorang ahli agronomi, yang mem­bujuk para investor di seluruh dunia. Dari 36 juta hektare lahan pertanian yang dimiliki negara itu, pemerintah menyatakan hampir 85 persen “belum termanfaatkan”.

Menandatangani kesepakatan dengan pejabat ke­menterian itu bagian mudah. Yang sulit adalah menjalankan pertanian korporasi besar dan meraih keuntungan di tengah tetangga yang memusuhi mereka. Hoyo Hoyo, yang terletak di Gurue, seharusnya menjadi teladan keberhasilan pertanian Afrika. Sayangnya, proyek ini justru menjadi contoh kegagalan proyek. Pada 2009 pejabat Mozambik menyewakan hampir 10.000 hektare lahan perkebunan milik negara kepada perusahaan Portugis. Mereka bertemu dengan para pemimpin desa dan menjanjikan lahan pertanian di tempat lain yang luasnya dua kali lipat, serta sekolah, klinik, dan sumur baru.

Tidak banyak janji tersebut yang ditepati. Hanya sekitar 40 orang yang mendapat pe­kerjaan bergaji rendah sebagai penjaga di per­kebunan itu. Lahan penggantian yang diterima sebagian warga ternyata jauh dari rumah, masih berupa rawa atau hutan. Salah satu warga yang menerimanya adalah Custodio Alberto. Saya berjumpa dengan petani berusia 52 tahun itu di sebuah acara perontokan kedelai, tempat likuran orang dari gereja Katolik Roma berkumpul.

“Bagi kami petani kecil, hasil panen kedelai ini menjamin pendapatan keluarga, bahkan cukup untuk menyekolahkan anak-anak hingga perguruan tinggi, agar mereka dapat menjadi insinyur atau bahkan dokter,” kata Alberto. !break!

Konflik yang terjadi di Hoyo Hoyo tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang mungkin terjadi tak lama kemudian. Pada 2009, pemerintah menandatangani per­janjian dengan Brasilia dan Jepang untuk me­ngembangkan megaproyek pertanian yang diberi nama ProSavana. Proyek ini membuka lahan hampir 14 juta hektare di Mozambik utara untuk produksi kedelai skala industri, mungkin transaksi tanah pertanian yang terbesar se­panjang sejarah.

Di koridor seluas Kalimantan Barat tersebut akan dibangun banyak pertanian modern seluas 10.000 hektare, yang dikelola oleh perusahaan agrobisnis Brasilia dan dilengkapi dengan pusat penyuluhan untuk mendidik petani lokal. Namun, ketika sekelompok petani Brasilia me­ngunjungi wilayah itu pada 2013, mereka menemukan masalah yang tak terduga.

“Mereka mendapati bahwa tanahnya memang subur, tetapi di mana-mana ada permukiman penduduk,” kata Anacleto Saint Mart, wakil organisasi nirlaba TechnoServe dari AS yang bekerja sama dengan para petani di wilayah tersebut. “Kenyataan yang mereka lihat sangat berbeda dengan yang dikabarkan kepada mereka di Brasilia.” Sebagian besar lahannya yang sudah disewakan kepada usaha pertambangan atau penebangan merupakan suaka margasatwa, atau sudah digarap oleh petani lokal. Hanya sekitar 950.000 hektare yang saat ini belum dimanfaatkan, dan tidak cocok untuk pertanian. !break!

Beberapa kilometer melalui jalan tanah yang tidak rata dari Hoyo Hoyo, sebidang per­tanian kedelai yang digarap oleh pensiunan guru merupakan contoh jalan tengah yang produktif. Awalnya Armando Afonso Catxava me­nanam sayuran di sepetak kecil tanah dan beberapa tahun kemudian meluas hingga 26 hektare. Sekarang dia menanam kedelai sebagai “petani plasma” di bawah kontrak dengan per­usahaan baru yang bernama African Century Agriculture. Sejauh ini kedua belah pihak men­dapatkan keuntungan dari sistem tersebut.

“Saya pikir rahasianya adalah pertanian skala me­nengah,” kata Catxava. “Pertanian besar meng­ambil lahan terlalu banyak, tidak tersisa tempat hidup bagi yang lain. Jika semua orang me­miliki lima hektare ladang kedelai, mereka akan berkecukupan dan tidak akan kehilangan tanah mereka.”

Rachel Grobbelaar dari Zimbabwe, me­ninggal­kan pekerjaannya yang bagus di distrik ke­uangan London untuk mengelola African Century. Dia bekerja sama dengan lebih dari 900 petani plasma—campuran petani kecil dan menengah—dengan luas hampir 1.000 hektare.

“Kemarin saya baru mengunjungi salah satu petani kecil kami di gunung, dan dia memanen 2,4 ton per hektare,” kata Grobbelaar. “Dia takjub. Untungnya sekitar 15 juta rupiah. Itu banyak. Pertanian komersial memang dapat menyediakan lapangan kerja, tetapi juga men­caplok tanah petani dan biasanya memberi upah sekecil mungkin. Saya sangat yakin kita dapat meningkatkan produksi dengan cara ini.”

Jika dijalankan dengan benar, pertanian skala besar juga dapat menguntungkan penduduk setempat. Empat belas tahun lalu, Dries Gouws, mantan ahli bedah di Zambia, menanam 12 hektare kebun pisang di luar Maputo. Dia me­­ngembangkan usaha yang kini disebut Bananalandia. Dengan luas 1.400 hektare, itu per­kebunan pisang terbesar di Mozambik. Dia mem­pekerjakan 2.800 orang sepanjang tahun. Perkebunan Gouws membantu mengubah Mo­zam­bik dari importir pisang menjadi eksportir pisang. Seiring perkembangan, Gouws meng­aspal jalan, membangun sekolah dan klinik, menggali sumur, dan memasang 55 kilometer kabel listrik,  hingga mengalirkan listrik ke desa-desa tempat para karyawannya tinggal. Upah terendah yang diterima pekerjanya 10 persen lebih tinggi daripada upah minimum; sementara so­pir traktor dan manajer perkebunan mem­peroleh lebih dari dua kali lipatnya.