Evolusi Diet

By , Rabu, 27 Agustus 2014 | 14:26 WIB

Betulkah kita semua berevolusi untuk makan dengan diet yang berpusat pada daging?

Sebagian ilmuwan menganggap mengonsumsi daging adalah hal krusial bagi evolusi otak besar leluhur kita sekitar dua juta tahun silam. Dengan mulai menyantap daging dan sumsum yang sarat kalori untuk menggantikan diet primata yang berkualitas rendah, leluhur langsung kita, Homo erectus, memperoleh cukup tambahan energi dari setiap waktu makan, sebagai tambahan bahan bakar bagi otak yang lebih besar. Mencerna makanan berkualitas lebih tinggi dan serat tumbuhan yang lebih mudah terurai memungkinkan mereka memiliki lambung lebih kecil. Energi yang terbebas sebagai hasil dari lambung yang lebih kecil dapat digunakan oleh otak yang rakus, menurut Leslie Aiello, yang pertama kali mengemukakan gagasan ini bersama ahli paleoantropologi Peter Wheeler. Otak membutuhkan 20 persen energi manusia saat beristirahat; sebagai pembanding, otak primata hanya memerlukan delapan persen. Ini berarti dari masa Homo erectus, tubuh manusia sudah tergantung pada diet dengan makanan yang sarat energi—terutama daging.

Beberapa juta tahun kemudian, pola makan manusia mengalami perubahan besar akibat penemuan sistem pertanian. Domestifikasi biji-bijian semacam sorgum, jelai, gandum, jagung, dan padi menghasilkan suplai bahan pangan yang melimpah dan dapat diperkirakan, meningkatkan angka kehamilan istri petani—satu anak setiap 2,5 tahun, alih-alih satu anak setiap 3,5 tahun di kalangan pemburu-peramu. Ledakan populasi terjadi; dalam waktu singkat, jumlah petani jauh melampaui pemburu.

Ketika antropolog biologi Clark Spencer Larsen dari Ohio State University memaparkan tentang awal mula agrikultur, gambarannya suram. Seiring dengan semakin tergantungnya para petani awal terhadap hasil pertanian, keberagaman gizi makanan mereka menjadi jauh berkurang jika dibandingkan dengan pemburu-peramu. Memakan biji-bijian terdomestikasi yang sama setiap hari menyebabkan lubang dan pengeroposan gigi pada para petani awal, penyakit yang jarang ditemukan di antara pemburu-peramu, menurut Larsen. Ketika petani mulai mengembangbiakkan binatang, sapi, domba, dan kambing ternakan itu menjadi sumber susu dan daging, namun juga memperkenalkan berbagai parasit dan penyakit menular baru. Para petani menderita kekurangan zat besi dan mengalami perlambatan pertumbuhan, sehingga postur mereka menyusut.

Walaupun meningkatkan jumlah populasi, gaya hidup dan pola makan petani jelas tidak sesehat gaya hidup dan pola makan pemburu-peramu. Bahwa petani menghasilkan lebih banyak anak, menurut Larsen, justru membuktikan bahwa "kita tidak perlu bebas penyakit untuk memiliki anak."!break!

Diet paleolitikum yang asli, bagaimanapun, bukan sekadar mengonsumsi daging dan sumsum. Memang benar bahwa pemburu-peramu di seluruh dunia lebih menyukai daging daripada makanan lainnya dan biasanya memperoleh 30 persen dari kalori tahunan mereka dari binatang. Tetapi sebagian besar dari mereka juga menjalani masa paceklik ketika mereka hanya memakan secuil daging setiap pekan. Penelitian baru menyebutkan bahwa ada faktor selain ketergantungan terhadap daging yang memicu perbesaran otak.

Pengamatan sepanjang tahun memastikan bahwa pemburu-peramu kerap berperuntungan buruk. Orang-orang Suku Hadza dan Kung di Afrika, misalnya, mengalami kegagalan dalam setengah upaya perburuan mereka walaupun sudah mempersenjatai diri dengan busur dan anak panah. Ini menunjukkan bahwa keadaan lebih sulit lagi bagi leluhur kita yang tidak memiliki senjata tersebut. Tidak seorang pun menyantap daging sesering itu, kecuali orang-orang Arktik, tempat Suku Inuit dan kelompok-kelompok lainnya secara tradisional memenuhi hingga 99 persen kebutuhan kalori mereka dari anjing laut, paus narwhal, dan ikan.

Jadi bagaimakah pemburu-peramu mendapatkan energi jika tidak ada daging? Ketika daging, buah, atau madu langka, para pencari menggantungkan diri pada "makanan darurat," kata Brooks. Suku Hadza memperoleh hampir 70 persen kalori mereka dari tumbuhan. Suku Kung secara tradisional mengandalkan umbi-umbian dan kacang mongongo, orang-orang Pygmi Aka dan Baka dari Basin Sungai Congo memakan ubi jalar, orang-orang Indian Tsimane dan Yanomami dari Amazon menyantap pisang dan singkong, orang-orang Aborigin dari Australia mengandalkan bawang liar dan purun tikus.

"Sejak lama berburu dianggap menggambarkan manusia dan daging menjadikan kita manusia," ujuar Amanda Henry, pakar paleobiologi dari Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology di Leipzig. "Terus terang, menurut saya anggapan itu hanya setengah benar. Mereka memang menginginkan daging. Tetapi sesungguhnya mereka bertahan hidup dengan bahan pangan nabati." Terlebih lagi, dia menemukan butiran pati dari tumbuhan di fosil gigi dan perangkat batu, yang menunjukkan bahwa manusia mungkin telah memakan biji-bijian, juga umbi-umbian, setidaknya sejak 100.000 tahun silam—cukup lama untuk evolusi kemampuan bertoleransi terhadap jenis makanan itu.

Pendapat bahwa kita berhenti berevolusi di Zaman Paleolitikum ternyata salah. Gigi, rahang, dan wajah kita mengecil, dan DNA kita berubah sejak penemuan sistem pertanian.!break!

Salah satu bukti yang mencengangkan adalah toleransi terhadap laktosa. Semua manusia dapat mencerna air susu ibu ketika masih bayi, tetapi hingga hewan mulai diternakkan 10.000 tahun silam, anak-anak yang sudah disapih tidak perlu lagi mencerna susu. Sebagai hasilnya, mereka berhenti memproduksi enzim laktase, yang berfungsi untuk memecah laktosa menjadi zat gula sederhana. Setelah manusia mulai beternak, kemampuan untuk mencerna susu menjadi sangat menguntungkan, dan toleransi terhadap laktosa berkembang secara terpisah di antara peternak di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Kelompok-kelompok yang tidak tergantung pada hewan ternak, seperti orang-orang Tiongkok dan Thai, Indian Pima di Amerika bagian barat daya, dan Buntu di Afrika Barat, tetap menderita intoleransi laktosa.

Manusia juga memiliki beraneka ragam kemampuan untuk mengekstraksi gula dari makanan berpati saat mengunyah, tergantung pada sebanyak apa salinan gen tertentu yang mereka warisi. Populasi yang secara tradisional memakan lebih banyak bahan pangan berpati, seperti Hadza, memiliki lebih banyak salinan gen tersebut daripada pemakan daging seperti Yakut dari Siberia, dan air liur mereka membantu memecah pati sebelum makanan mencapai perut.