Evolusi Diet

By , Rabu, 27 Agustus 2014 | 14:26 WIB

Penelitian mengungkapkan bahwa penduduk suku-suku pedalaman bermasalah ketika harus meninggalkan diet tradisional mereka dan aktif menjalani gaya hidup Barat. Diabetes, misalnya, tidak dikenal di kalangan Maya di Amerika Tengah hingga 1950-an. Begitu mereka beralih ke pola makan Barat yang tinggi zat gula, angka diabetes melambung. Suku-suku nomaden Siberia seperti para penggembala rusa kutub Evenk dan Yakut menjalani pola makan sarat daging, tetapi nyaris tidak mengenal penyakit jantung sampai setelah kejatuhan Uni Soviet, ketika banyak di antara mereka berdiam di kota-kota dan mulai menyantap makanan yang dijual di pasar. Saat ini sekitar setengah dari orang Yakut yang tinggal di pedesaan mengalami kelebihan berat badan, dan hampir sepertiganya menderita tekanan darah tinggi, ujar Leonard. Dan orang-orang Tsimane yang menyantap makanan pasar lebih rawan terhadap diabetes daripada mereka yang masih berburu dan meramu.

Bagi kita yang leluhurnya telah beradaptasi pada diet berlandaskan tumbuhan—dan bekerja di belakang meja—sebaiknya tidak makan sebanyak mungkin daging seperti orang Yakut. Penelitian-penelitian baru telah menegaskan berbagai temuan yang menunjukkan bahwa walaupun manusia sudah dua juta tahun menyantap daging merah, konsumsi berlebihan akan meningkatkan penyakit aterosklerosis dan kanker di sebagian besar populasi—dan biang keroknya bukan hanya lemak jenuh atau kolesterol. Bakteri di perut kita mencerna nutrisi bernama L-carnitine dalam daging. Dalam salah satu penelitian terhadap tikus, proses pencernaan L-carnitine menghasilkan zat yang menyumbat arteri. Riset juga menunjukkan bahwa sistem imunitas manusia menyerang salah satu gula bernama Neu5Gc di dalam daging merah, yang menyebabkan peradangan berlevel rendah di dalam tubuh yang masih muda namun lambat laun dapat menyebabkan kanker. "Daging merah memang bagus, kalau Anda ingin hidup hanya sampai umur 45," kata Ajit Varki dari University of California, San Diego, penulis utama dalam penelitian Neu5Gc.

Banyak paleoantropolog yang berpendapat bahwa walaupun para duta diet Paleolitikum modern mendorong kita untuk menjauhi makanan olahan yang kurang sehat, fokus utama pada daging dalam pola makan ini tidak mencerminkan keanekaragaman makanan yang disantap oleh leluhur kita—atau penerapan gaya hidup aktif yang melindungi mereka dari penyakit jantung dan diabetes. "Masalah yang mengusik banyak paleoantropolog adalah kita sesungguhnya tidak menerapkan hanya satu macam diet manusia gua," kata Leslie Aiello, presiden Wenner-Gren Foundation for Anthropological Research di New York City. "Pola makan manusia kembali setidaknya ke dua juta tahun silam. Ada banyak manusia gua di luar sana."

Dengan kata lain, tidak ada pola makan yang ideal bagi manusia. Aiello dan Leonard mengatakan bahwa keunggulan manusia bukanlah selera kita terhadap daging tetapi kemampuan kita untuk beradaptasi di banyak habitat—dan dapat mengombinasikan berbagai macam makanan untuk menciptakan banyak pola makan sehat. Sayangnya diet Barat modern bukan salah satunya.!break!

Petunjuk terbaru mengenai mengapa diet modern kita dapat memancing penyakit datang dari ahli primatologi Harvard, Richard Wrangham, yang berpendapat bahwa revolusi terbesar diet manusia tidak terjadi ketika kita mulai memakan daging tetapi saat kita mulai belajar memasak. Leluhur manusia kita yang mulai memasak sekitar 1,8 juta hingga 400.000 tahun silam mungkin memiliki lebih banyak anak yang tumbuh sehat, kata Wrangham. Mengolah dan memanaskan makanan "mempracernanya," sehingga sistem pencernaan kita dapat menghemat energi untuk mengurainya. Kita dapat menyerap lebih banyak makanan matang daripada mentah, sehingga bahan bakar untuk otak pun bertambah. "Memasak menghasilkan makanan yang lembut dan kaya energi," kata Wrangham. Saat ini kita tidak bisa hanya menyantap makanan mentah dan bukan olahan, katanya. Kita telah berevolusi untuk tergantung pada makanan matang.

Untuk menguji gagasannya, Wrangham dan para mahasiswanya memberi makanan mentah dan matang pada tikus dan mencit. Ketika saya mengunjungi lab Wrangham di Harvard, mahasiswa pascasarjananya saat itu, Rachel Carmody, membuka pintu sebuah kulkas mini untuk menunjukkan kantong-kantong plastik berisi daging dan ubi jalar, sebagian mentah dan sebagian lainnya matang. Mencit yang diberi makanan matang memiliki bobot 15-40 persen lebih berat daripada mencit yang hanya diberi makanan mentah.

Kalau Wrangham benar, memasak tidak hanya memberi manusia purba energi yang mereka perlukan untuk memperbesar otak tetapi juga membantu mereka mendapatkan lebih banyak kalori dari makanan untuk menambah berat badan. Di konteks modern, sisi lain dari hipotesis ini adalah kita mungkin telah menjadi korban dari keberhasilan kita sendiri. Kita sudah sangat pintar mengolah makanan sehingga untuk pertama kalinya dalam evolusi manusia, terdapat banyak orang yang mendapatkan lebih banyak kalori daripada yang mereka bakar dalam sehari. "Roti gandum sudah digantikan oleh Twinkies (sejenis kudapan bergula dan berkalori tinggi), apel oleh jus apel," tulisnya. "Kita perlu lebih awas terhadap konsekuensi peningkatan kalori dari diet tinggi olahan."!break!

Pada sore terakhir kunjungan saya ke Tsimane di Anachere, salah seorang putri Deonicio Nate, Albania, 13, memberi tahu kami bahwa ayahnya dan kakak tirinya, Alberto, 16, sudah pulang berburu dan membawa sesuatu. Kami mengikutinya ke gubuk masak dan menghirup baunya itu sebelum melihatnya—tiga ekor coatis mirip rakun dipanggang di atas api.

Selagi anggota keluarga itu menyantap makanan mereka, saya mengamati anak lelaki kecil mereka, Alfonso, yang sudah sepekan sakit. Dia menari-nari di dekat perapian, dengan gembira menggerogoti seruas ekor coati matang. Nate tampak puas. Malam ini di Anachere, jauh dari perdebatan tentang pola makan, ada daging, dan itu bagus.

Ann Gibbons adalah penulis The First Human: The Race to Discover Our Earliest Ancestors. Matthieu Paley memotret Suku Kirgis dari Afganistan untuk edisi Februari 2013.

—Majalah ini berterima kasih pada Rockefeller Foundation, dan anggota National Geographic Society atas dukungan mereka terhadap seri artikel ini.