Kuda Indian

By , Kamis, 28 Agustus 2014 | 12:39 WIB

Pada September 1874, di utara Texas, kerajaan berkuda Comanche yang agung menemui akhir yang memilukan. Peristiwa ini menandakan perubahan mendalam di Great Plains, karena suku Comanche termasuk suku-suku yang pertama dan yang paling berhasil memanfaatkan kuda setelah kedatangannya bersama para conquistador Spanyol. Mereka men­jadi terampil, mahir, ganas, dan bahkan gagah sebagai prajurit berkuda, meneror te­tangga Indian, melancarkan serbuan beringas untuk menghambat laju pemukiman kulit putih dan pembantaian bison. Dan, akhirnya merecoki tentara AS.

Lalu, pada 28 September 1874, kumpulan ter­besar prajurit Comanche yang tersisa ditangkap, di tengah tipi (tenda Indian) mereka, bersama keluarga, di tempat bernama Ngarai Palo Duro.

Serangan itu dilancarkan oleh Kavaleri Ke­empat di bawah Kol. Ranald Slidell Mackenzie, yang bertugas di West Texas. Setelah menyergap suku Comanche, lalu mengusir mereka dari perkemahan, anak buah Mackenzie membakar semua tipi, dan berkumpul kembali di tepi ngarai, dengan membawa lebih dari seribu kuda tangkapan. Bangsa Indian melarikan diri tanpa kuda. Mackenzie memimpin pasukannya berbaris pulang ke perkemahan. Esok paginya, dia memerintahkan agar kuda-kuda ditembak, dengan menyisakan beberapa ratus ekor saja untuk digunakan. "Pasukan Infanteri mengikat kuda-kuda yang menggila itu dan menuntun mereka ke depan pasukan tembak," menurut buku S. C. Gwynne tentang suku Comanche, Empire of the Summer Moon.

"Hasilnya adalah setumpuk besar bangkai kuda"—1.048, menurut arsip. Sisa-sisa suku Comanche, yang dipimpin ketua perang agung Quanah Parker, berjalan kaki 320 kilometer ke timur menuju Fort Sill, di daerah yang saat itu masih Wilayah Indian, dan menyerah.

Hampir satu setengah abad kemudian, se­jarawan suku Comanche bernama Towana Spivey, yang berdarah keturunan Chickasaw, duduk di halaman depan rumahnya di Duncan, Oklahoma, dan menuturkan semua peristiwa ini kepada saya. Dengan pembantaian kuda itu, katanya, "tulang punggung perlawanan" pun hancur. Semua jubah bison, semua makanan, sarana bertahan hidup, sarana transportasi dan pertempuran dan mobilitas nomad mereka—lenyap. Quanah sendiri ditahan. "Pukulan besar bagi suku Comanche."

Itulah kisah suram Palo Duro yang terkenal. Tetapi, menurut Spivey, kenyataannya lebih buruk. Pada Juni 1875, Tentara AS telah me­ngumpulkan 6.000-7.000 kuda Comanche di Fort Sill. Kolonel Mackenzie telah menjadi komandan di sana. "Menembak kuda satu demi satu menjadi masalah besar," kata Spivey. Pekerjaan yang mubazir, merepotkan, dan konyol. Akhirnya, diadakanlah lelang. Kuda poni Comanche menjadi milik para penawar kulit putih. Ketika lelang tidak berhasil mengosongkan kandang kuda, penembakan pun berlanjut.!break!

kedua pembantaian pada 1874 dan 1875 telah menghancurkan perlawanan Comanche. Akan tetapi, belum mengakhiri kisah tentang kuda di kalangan Amerika Pribumi. Ini baru akhir suatu awal. Suku-suku lain juga mulai berkuda. Dari dataran selatan, hewan yang baru ini, teknologi yang baru ini, cara yang baru berburu, bertarung, dan bepergian ini, telah menyebar ke utara, dari suku Comanche, Jumano, Apache serta Navajo ke suku Pawnee, Cheyenne, Lakota, Crow, dan lain-lain.

Kuda membuka berbagai kemungkinan baru. Dengan kuda, orang dapat berburu bison secara lebih produktif, berkelana lebih jauh, melancarkan serangan lebih merusak ter­hadap suku lain. Kuda meringankan be­berapa tugas berat kaum perempuan, seperti meng­angkut harta benda dari kemah ke kemah. Kuda mengubah keseimbangan, dalam hal pertumbuhan penduduk dan perluasan wilayah, antara suku berburu dan suku bertani, menguntungkan golongan pertama. Kuda juga menggantikan satu-satunya hewan jinak sebelumnya di Amerika Utara, yaitu anjing, yang jauh lebih kecil dan lemah serta harus diberi makan daging. Kuda dapat hidup dari alam, makan sesuatu yang tidak diinginkan manusia dan anjing: rumput.

Hewan baru ini begitu dihargai, sehingga mulai mengisi peran budaya yang lebih ab­strak: sebagai unit kekayaan. Jika seseorang pintar, ambisius, dan beruntung, dia dapat me­ngumpulkan sekawanan besar; kelebihan kuda lalu dapat dijual, dibarter, atau dihadiahkan. Atau, jika dia lengah, dicuri.

Unit kekayaan menimbulkan stratifikasi sosial, dan untuk pertama kalinya di Great Plains ada Indian kaya dan Indian miskin. Kebaruan itu diiringi kebaruan lain: perolehan senjata api dari pedagang kulit putih, biasanya melalui barter dengan kulit berang-berang, jubah bison, atau kuda. Ini perubahan besar, mendatangkan kejayaan gemilang dan efek samping suram, ter­masuk perburuan bison berlebihan, bahkan se­belum pemburu pasar tiba. Perkudaan juga mem­perparah peperangan antarsuku, serta perlawanan terhadap pemukim kulit putih dan Tentara AS, dan akhirnya berujung di akhir cerita sedih di tempat-tempat seperti Ngarai Palo Duro.

Aspek negatif revolusi kuda telah menjadi sejarah, tetapi kuda masih sangat penting bagi banyak orang Amerika Pribumi, terutama suku-suku Great Plains. Ia adalah benda kebanggaan, simbol tradisi, dan untuk nilai-nilai kuno yang turut mereka wujudkan pada masa kini yang sulit: peragaan, disiplin, kekuatan, kepedulian bagi makhluk hidup lain, dan pewarisan ke­terampilan antara generasi.!break!

Pendleton round-up adalah rodeo berskala besar yang terbuka buat umum, diadakan se­tiap bulan September di Pendleton, Oregon, tidak jauh dari Reservat Indian Umatilla. Acaranya antara lain lomba tari perang dan beberapa nomor lomba estafet Indian, serta per­tunjukan setiap malam yang disebut per­gelaran Happy Canyon. Pergelaran ini dimulai dengan pawai besar di tengah kota yang meng­hadirkan penunggang Indian dengan pakaian adat lengkap, lalu upacara masuk ke arena dipimpin para ketua setempat, diikuti para gadis berpakaian meriah yang menjadi "putri" Indian. Di karavan di balik layar, perempuan 50-an tahun bernama Toni Minthorn, pen­damping resmi para putri, menisik selimut kulit rusa lembut untuk pelana upacara sambil menceritakan tekadnya. "Tujuan saya adalah me­ngembalikan para putri ke atas kuda."

Ibunda Toni pernah menjadi putri Happy Canyon pada 1955, lalu Toni sendiri pada 1978. Sebelum itu, semasa kecilnya dia adalah anak tomboi yang senang berkuda, main kereta luncur yang dihela kuda keluarga, bertarung dengan tombak kayu, dan berkelahi main-main di atas kuda bersama saudaranya, satu lelaki dan tiga perempuan. Dari mana dia mendapat keterampilan berkuda itu? "Bawaan lahir."

Toni terus bekerja sambil berbicara, menjahit pelana, memberi nasihat tentang gaya dan rias­an, memberi petunjuk melalui Bluetooth. Rumah keluarganya semasa kecil, di tempat kecil bernama Spring Hollow, tidak memiliki ke­nyamanan modern atau mainan untuk anak-anak, tetapi daging rusa dan elk selalu me­limpah. Toni Cilik tidak punya boneka. Saat teman sekelasnya di sekolah mendengar itu, mereka mengasihaninya. Kamu tidak punya boneka? "Saya merasa saya anak paling miskin yang pernah menapaki bumi." Jadi, kamu main apa? tanya mereka. Kami berkuda. Keluargamu punya kuda? Ya, katanya kepada mereka, 47 ekor. Kamu punya 47 kuda? Kamu pasti kaya! "Dan saya tidak merasa miskin lagi."!break!

Acara penting lain adalah Crow Fair, yang di­adakan pada pertengahan Agustus di Crow Agency, Montana, memikat peserta dari Pine Ridge di South Dakota, Fort Hall di Idaho, dan tempat-tempat lain. Sewaktu saya tiba, pem­bawa acara menyambut kami di "rodeo khusus Indian" Crow Nation tahun ini, dan perkemahan pendampingnya, yang dengan bangga dijuluki "Ibu Kota Tipi Dunia".

Program ini memuat antara lain lomba berlintasan satu kilometer, lomba lari cepat, tunggang banteng, tunggang kuda, ikat banteng beregu, ikat anak sapi, dan acara yang liar mengasyikkan, Estafet Indian, yang digembar-gemborkan sebagai "lima menit paling seru di Negeri Indian". Setiap hari, lima menit itu mungkin sebenarnya hanya tiga menit, belum termasuk waktu untuk menangkap kuda dan menggotong peserta yang jatuh dari arena.

Estafet Indian adalah lomba beregu, setiap regu terdiri atas satu penunggang, tiga kuda, dan tiga rekan pemberani untuk memegang, me­nangkap, dan mengendalikan kedua kuda tambahan, sementara si penunggang bergonta-ganti kuda, memutari lintasan sekali dengan setiap kuda. Kudanya tak ada yang diberi pe­lana. Dengan sekurangnya lima regu dalam setiap babak yang berupaya berpindah kuda tanpa pelana ini, menghentikan kuda dari men­congklang dan mulai melarikan kuda lain, semuanya dalam lintasan yang ramai, Estafet Indian ini kadang terlihat kacau-balau. Namun, saat tidak kacau, benar-benar menakjubkan.

Penunggang estafet yang tangkas dapat meng­hentikan kuda, meluncur turun, berlari beberapa langkah, berayun naik ke kuda berikutnya, me­nyambar tali kekang, dan melesat. Regu yang mampu melakukan tiga perpindahan seperti itu dengan mulus dapat memenangi estafet dengan jarak sepuluh badan kuda, tak peduli siapa yang memiliki kuda tercepat. Namun, itu lomba yang ideal. Pada babak pertama yang saya tonton di Crow Fair, dua penunggang bertabrakan di awal lintasan, dan jatuh. Yang satu tidak bangkit lagi, dan pembawa acara memanggil ambulans. "Lomba ini keras," katanya, tidak terdengar nada menyesal dalam suaranya.

Kemudian saya berbicara dengan Thorton (dia dijuluki "Tee") Big Hair, pemuda berbadan besar tetapi berperangai lembut yang menjadi panitia seksi lomba untuk Crow Fair itu. Dia me­ngenakan kaus biru, topi koboi jerami, dan gesper sabuk juara dunia untuk Estafet Indian, yang diraihnya di Sheridan, Wyoming. Karena badannya terlalu besar untuk menjadi pe­nunggang, Tee adalah "penangkap juara dunia" bertahan, demikian dia menyombong sedikit, dan sudah pernah dijatuhkan oleh kuda yang sedang menyelesaikan lintasan, oh, entah berapa kali. Saat ini dia bersemangat dan riang karena lomba hari ini berjalan lancar.!break!

Pacu kuda sudah mendarah daging dalam keluarga Tee Big Hair, demikian yang saya ke­tahui dari percakapan dengannya dan ke­luarganya selama beberapa hari. Dennis Big Hair, ayah Tee, adalah kepala keluarga berusia 71 tahun, dengan rambut dipotong pendek di balik topi koboi putih merek Resistol.

Dennis bercerita, pada usia 14 tahun dia sudah menang Crow Indian Derby, salah satu lomba Crow tradisional yang tertua. Dia menang Governor's Handicap sekitar masa itu juga, dan ya, dia juga mengikuti Estafet Indian. Kiatnya waktu itu adalah berkuda mendekati kuda berikutnya, melompat turun, berlari dua langkah, dan melompat naik kuda berikutnya dari belakang, lalu melesat. Sekarang ini tidak ada yang melakukan itu, katanya dengan gerutu khas orang tua.

Salah satu unsur suram di Crow Fair adalah ke­nyataan bahwa acara ini diadakan hanya tiga kilometer dari Medan Perang Little Bighorn, tempat monumen bagi para prajurit Indian dalam pertempuran itu menghiasi bukit kecil di bawah Last Stand Hill. Di monumen Indian itu terdapat lukisan, daftar nama pra­jurit yang gugur, dan prasasti, termasuk kutip­an nostalgia dari Sitting Bull: "Semasa kecilku, bangsa Lakota memiliki dunia. Mentari ter­bit dan terbenam di tanah mereka. Mereka me­ngirim 10.000 penunggang kuda ke medan perang."

Kenangan hitam Little Bighorn tampak ter­lupakan begitu acara di arena dimulai. Tetapi, kadang saat-saat serius tetap menyusup. Pada sore setelah obrolan saya dengan Tee Big Hair, seekor Thoroughbred bernama Ollie's Offspring patah tulang keringnya, hanya 20 meter sebelum menang lomba terakhir. Terdengar erangan kecewa serentak dari bangku penonton. Kuda itu terpaksa ditembak, di depan 5.000 orang, dan diseret dengan traktor.

Saat saya berbicara lagi dengan Tee esok paginya, dia tampak terguncang. "Hati saya perih," katanya. Ayahnya menasihati agar dia memandang peristiwa ini secara filosofis. Tetapi itu sulit diterima, kata Tee, karena dia menyayangi hewan-hewan ini dan kiprah mereka. Dia mengepalkan tinju ke dada.!break!

Estafet indian bukan satu-satunya acara yang mencerminkan keterampilan kuda pemberani dari masa lalu bangsa Amerika Pribumi. Di Omak Stampede, yang diadakan di Omak, Washington, di samping Reservat Indian Colville, acara akhir setiap malam adalah babak Lomba Bunuh Diri yang terkenal (di lingkungan tertentu, terkenal keburukannya). Acara kuda gila ini terbuka untuk siapa saja yang cukup edan untuk berkuda menuruni turunan terjal—lereng 62 derajat, yang bagi kuda sama saja dengan tebing—ke dalam Sungai Okanogan.

Ada penunggang yang berdoa di pondok keringat sebelum Lomba Bunuh Diri itu, atau menghiasi kuda dengan bulu elang. Ada yang me­ngenakan helm dan jaket pelampung. Lebih dari selusin kuda mencebur ke air ham­pir bersamaan, merenangi kedalamannya, me­manjat ke tepi seberang, dan mencongklang ke arena rodeo menuju garis finis di bawah lampu-lampu. Sesampai di sana, para pe­nunggang—setidaknya yang paling tangkas dan beruntung—basah kuyup tapi masih di atas kuda. Humane Society mengecam pertunjukan ini karena dalam beberapa dasawarsa terakhir lebih dari 20 kuda tewas.

Dokter hewan resmi lomba itu, Dan DeWeert, punya sudut pandang sendiri: "Lomba ini bagus, di kala saya tidak perlu melakukan apa-apa."

Itulah kehidupan mereka: keluarga dan kuda. Rantai kesinambungan ini mungkin tidak abadi, tetapi tetap berharga.

Mereka menyambut keterampilan dan ke­cintaan yang diturunkan dari leluhur; mereka mem­pelajari keterampilan itu dari generasi tua dan menerapkan kecintaan itu dalam kehidupan sendiri; mereka menjadi mahir, lalu piawai, lalu mengajarkan kepiawaian itu; mereka merawat hewan dengan cerdas dan penuh kasih; mereka menurunkan semuanya kepada kerabat muda. Mereka membuat keluarga mereka bangga dan utuh. Itulah estafet Indian sejati.

Buku David Quammen yang memenangi peng­hargaan, Spillover, menelaah penyakit yang di­­tularkan dari hewan ke manusia. Erika Larsen memotret tentang Garrison Keillor pada Februari.