Keabadian Khayali

By , Kamis, 28 Agustus 2014 | 14:50 WIB

Kejutan pertama setelah perjalanan mobil yang pan­jang dan ber­debu dari Ahmadabad, adalah pepohonan rindang dan halaman hijau berbukit. Setelah melewati gerbang masuk, kami menyusuri jalan batu panjang sampai terlihat lubang terbuka di tanah. Di sana, di ujung padang rumput, ada luweng batu pasir yang menganga, bukan dipahat oleh angin dan hujan, melainkan oleh tangan manusia: Rani ki Vav, Sumur Tangga Ratu.

Di India barat laut, cuaca kering hampir se­panjang tahun. Hujan tiba-tiba turun selama bertiupnya angin monsun musim panas, lalu meresap ke dalam tanah berpasir. Berabad-abad yang lalu, orang menggali untuk mencapai air, lalu membangun tangga batu untuk turun ke kolam air tersebut. Sumur tangga ini mulanya sederhana, tetapi beberapa di antaranya ke­mudian menjadi karya seni monumental.

Rani ki Vav termasuk sumur termegah. Sumur ini, yang terletak di dekat Sungai Saras­wati di Gujarat, dibangun pada akhir abad ke-11 oleh Ratu Udayamati sebagai memorial bagi mendiang rajanya. Sumur ini tidak lama digunakan, dan pada 1300 sudah penuh pasir dari banjir musiman. Baru pada 1960-an Archaeological Survey of India mulai me­ngeruknya. Para saksi tercengang melihat bangun­an yang tersembunyi di balik pasir itu.

"Kami sudah melihat fotonya, tetapi tidak sebanding dengan melihatnya langsung," kata Lyn Wilson, ilmuwan arkeologi dari Glasgow, sambil memandang tangga turun itu. Dia dan koleganya dari Centre for Digital Documentation and Visualisation dan CyArk berupaya me­minimalkan risiko hilangnya Rani ki Vav lagi, atau setidaknya data yang meng­gambarkannya. Untuk itu, mereka meng­gunakan teknologi pemindaian digital terbaru.

Di antara semua proyek yang pernah mereka kerjakan—dari batu tegak Orkney hingga Gunung Rushmore—ini termasuk yang tersulit.!break!

Pada pukul 12.30, peralatan tiba. Selama dua minggu berikutnya tim ini akan melawan udara panas—pemindai elektronik harus di­lindungi dari terik matahari dengan payung yang dipegang. Tim juga menghadapi ke­rumunan yang penasaran, sementara mereka memantulkan sinar laser pada setiap permukaan sumur tangga itu. Seandainya monumen itu hilang lagi—akibat banjir, perang, gempa bumi, atau sekadar tergerus waktu perlahan-lahan—simulasi tiga dimensi yang persis sama akan tersedia di internet.

Ekspedisi India ini merupakan bagian dari program Scottish Ten, yang bertujuan membuat reproduksi virtual sepuluh situs budaya kelas dunia. Bagian penting dari upaya ini adalah CyArk, organisasi nirlaba, yang bekerja sama dengan berbagai kelompok untuk memindai puluhan situs di seluruh dunia. Berbagai situs terbilang, dari kota tambang bersejarah Deadwood, South Dakota, AS, hingga Pompeii, Chichén Itzá, dan Thebes kuno. Apa pun yang terjadi pada benda aslinya, keberadaan cadangan digitalnya dapat memperingan kerugian.

Ketika saya berkunjung ke Skotlandia tahun ini, Douglas Pritchard mengajak saya meng­ikuti tur virtual untuk proyek terbarunya. Saat itu, Douglas masih bekerja di Digital Design Studio di Glasgow. Kami mengikuti tur virtual di Kastel Stirling, tempat Mary Ratu Bangsa Skot dinobatkan pada 1543. Duduk di ruang proyeksi dengan berkacamata 3-D, kami menukik bagai burung melalui pintu masuk gelap ke halaman terang. Kami membubung melewati Balairung. Saat kami sampai di atap, atap itu membuka, sehingga kami dapat melayang di antara kayu kaso dan memandang ruang luas di bawah kami. Ruangan itu tempat berkumpulnya Parlemen Skotlandia dulu dan singgasana raja dan ratu.

Akan tetapi, upaya ini bukanlah sekadar mem­buat simulasi hiperrealistis. Kapel Rosslyn, di selatan Edinburgh, sudah berabad-abad menghadapi ancaman. "Pasukan Oliver Cromwell menggunakan kapel ini sebagai istal pada 1650," kata Pritchard. Pada sekitar pergantian abad ke-20, kaum pejuang hak pilih perempuan berusaha meledakkannya. Dengan ukirannya yang rumit, kapel ini telah lama memikat kalangan teoretikus konspirasi.Beberapa tahun silam, seorang lelaki berusaha menjebol tiang yang diyakininya menyimpan Piala Suci, meski gagal. Lantaran kini batu-batu itu telah dipindai, kerusakannya dapat diperbaiki kembali seperti semula.!break!

Keesokan harinya di sumur tangga, hari kerja pertama pun dimulai. Saya turun jauh ke dalam sumur. Di tingkat bawah, ada dinding yang dihiasi tujuh penjelmaan dewa Wisnu yang ber­tangan empat. Kalki, sang raja perang, duduk tegak di atas kuda, yang salah satu kakinya hendak menghancurkan kepala musuh. Lalu ada Varaha—Wisnu berkepala babi hutan—dan dewi kecil yang bertengger di bahunya, mengusap moncongnya dengan kasih sayang.

"Saya teringat pada film Hollywood yang bagus, King Kong," kata K. C. Nauriyal, arkeolog penyelia dari India untuk wilayah ini, sambil memamerkan beberapa patung kesukaannya. Di antara dewa-dewa itu tersebar gadis ular erotis yang disebut nagakanya, berdiri tanpa busana dengan ular melata pada kaki dan tangannya. Bidadari alam, atau apsara, tampak lebih santun, digambarkan sedang memerahkan bibir, memakai anting, memandang cermin, atau mengeringkan rambut.

"Bumbu kehidupan," Nauriyal menyebut mereka. Sekali hantam dengan palu oleh vandal yang menganggap ukiran ini cabul, keindahan itu akan hancur.

Saat mendekati dasar sumur. Kami melewati deretan tiang dan keluar di depan ukiran menjulang. Di sisi kiri atas terdapat trinitas Hindu: Brahma, Syiwa, dan Wisnu.

Tangga terakhir turun ke paviliun terendah dan lorong gelap yang berujung di lubang sumur. Saat berdiri di bibir sumur, saya me­mandang dasarnya yang sedikit lembap. Lalu saya menengadah: lapis demi lapis ukiran batu menjulang 27 meter ke langit, ke lingkaran cahaya di kejauhan. Di tiga tingkat terbawah, yang dulu tentunya sering terendam air, Wisnu berbaring tidur di atas punggung ular Shesha.!break!

"Rani ki Vav menekankan kesucian air," Nauriyal menerangkan. "Dulu ada keyakinan bahwa jika ada Dewa Wisnu dalam bentuk ini, air di sini tidak akan pernah kering." Namun, ternyata kering juga. Perkembangan pertanian dan, mungkin, iklim yang lebih panas menurunkan aras air tanah.

Masih dalam minggu itu, saya menyaksikan Justin Barton dari CyArk tengah menyusun keping-keping pertama. Tiang dan balok ber­warna aneh bermunculan di layar. Warnanya—kehijauan di wilayah paling terang, berangsur berubah menjadi berbagai nuansa jingga dan kuning—menandakan reflektivitas, atau se­berapa mudah laser terpantul kembali. Barton mengambil gambar itu dengan kursor dan me­mutarnya seperti balok permainan Lego, me­masangnya ke dalam model. Dia juga men­cari "bayangan"—tempat yang terlewat oleh sinar pemindai—dan jejak "ghosting": "hantu" yang berdiri di tangga ternyata saya sendiri. Dengan beberapa klik saja, saya dihapus dari pindai­an.

Di Glasgow simulasi ini akan dirampungkan, bergabung dengan seratus simulasi lain yang tersimpan dalam gudang digital CyArk. "Begitu banyak pusaka yang hilang setiap hari," kata Barton, "akibat perang dan agresi manusia, perubahan lingkungan, dan gerusan waktu."

Baru-baru ini, Scottish Ten merampungkan pekerjaan di Makam Qing Timur, sebuah nekropolis kerajaan yang megah di negeri Cina. Selama lima tahun ke depan, CyArk dan mitra­nya ber­tekad untuk memindai 500 situs pusaka budaya. Akan tetapi, proyeknya tidak harus berskala besar: gereja bersejarah dan bangunan lain di se­panjang jalan El Camino Real di California pun dimasukkan ke dalam daftar harta pusaka yang akan dilestarikan secara digital.

"Setiap hari, ada saja tempat baru yang kian menua," komentar Barton. "Ini adalah pekerjaan tanpa akhir."

George Johnson menulis sembilan judul buku. Buku terbarunya adalah The Cancer Chronicles.