Adibudaya Perupa Pertama Nusantara

By , Kamis, 24 Desember 2015 | 22:45 WIB

Pemburu Laut melukiskan berbagai jenis pe-rahu, dari perahu dayung, perahu layar tunggal, layar jamak, sampai ke perahu kematian!

Saya menyaksikan juga gambar sosok yang terkait strata sosial. Misal, sosok manusia bersenjata. Sosok ini digambar lebih besar dari sosok lain, yang menunjukkan sosok penting. Ada sosok manusia yang berdiri di belakang perahu, sosok lainnya mendayung. Para Pemburu Laut senang menampilkan topeng-topeng, serta manusia jadi-jadian yang dikenal sebagai matutua atau mamatua—sosok sakral yang penting.

Para penjelajah laut ini, saya amati, mereka memilih menggambar pada dinding tebing yang sulit dijangkau. Kadang ditemukan gambar berada di dinding tegak 50-an meter di atas laut. Tebing cadas yang digambar umumnya mempunyai tiga tingkatan ceruk. Jejeran tebing cadas pantainya bagai pagar putih berpucuk tanaman hijau. Sangat memukau mata dan hati. 

Selain gambar para Pemburu Laut, selepas 4.000 tahun lalu terdapat juga gambar yang dibuat oleh para penggembala di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Apabila kita melihat imaji-imaji yang tertinggal di Pulau Muna, tampak imaji perahu berada di bawah imaji satwa: kuda. Tampaknya, gambar penggembala adalah gambar yang dibuat usai kisah-kisah manusia perahu.

Saya terpukau menyaksikan betapa pengembala Muna banyak sekali menggambar kuda dan penunggangnya. Terdapat beberapa imaji penunggang kuda yang siap melempar tombak, kuda yang dinaiki tiga orang. Pada dinding lain, tampak kuda dan penunggang-nya digambar diantara ternak, seperti sedang menghalau ternak. Di Muna juga terdapat situs gambar rusa—bisa jadi masih liar karena hendak ditombak.

Gambar cadas di Pulau Muna selain menunjukkan mode penggembala, juga menunjukkan ekonomi kompleks. Ada gambar penunggang kuda yang memakai topi, boleh jadi seorang kesatria. Saya menduga, ciri khas penting dari ekonomi kompleks adalah gambar skematik. Misal, sosok manusia segitiga, sosok yang tangan dan kakinya berjari tiga seperti garpu.

Gambar cadas Muna juga menampilkan imaji layang-layang dengan pemainnya. Layang-layang dibuat oleh orang khusus. Kekhususan ini juga ciri ekonomi kompleks. Pada situs penggembala dan ekonomi kompleks, gambar cap tangan tak muncul lagi. Cap tangan yang terawetkan di Muna merupakan sisa masa Pemburu.

Situs bergambar yang mencerminkan ekonomi kompleks, juga ditemukan di Gua Harimau, Sumatra. Imaji-imaji dibuat dengan ciri skematik, bentuknya berulang-ulang. Tampaknya ini penanda pro-ses sosial yang berulang-ulang juga. Fungsi gambar kaum ekonomi kompleks  sepertinya lebih untuk menceritakan kejadian sosial dibandingkan cerita sakral seperti pada kaum Pemburu. 

Pada tradisi pengembala dan ekonomi kompleks, secara teori mereka tidak lagi menggunakan gua sebagai hunian. Tidak heran, apabila pemilihan gua atau situs yang digambar tidak berada pada daerah sulit, namun pada bukit-bukit yang memiliki dataran landai menghijau untuk berladang atau beternak.

Zaman Pemburu dan zaman Ekonomi Kompleks terbentang puluhan ribu tahun. Namun, saya sungguh terpukau, ketika menziarahi tapak jejak leluhur kita di Gua Metanduno di Muna, Sulawesi Tenggara, dan Gua Mardua, Kalimantan Timur. Betapa tidak, kedua situs gua tadi membukukan lukisan dari gua zaman Pemburu sampai zaman Ekonomi Kompleks!

Saya mendapat berita mengejutkan bahwa Mustafa meninggal dunia pada 2007. Kabarnya, perémés yang masih muda dan lugu itu terkena serangan jantung, dan dimakamkan di kampung halamannya, Pengadan. Dia sudah berkali-kali mengantar saya dan tim untuk menjelajahi dae-rah-daerah tersembunyi sejak 1994. Terakhir kali berjalan bersamanya pada 2004. Saya terkenang pengalaman mencari gua-gua bergambar cadas bersama Mustofa.

Kini mencari perémés tidak semudah dahulu. Selain membutuhkan keterampilan dan ketahanan sebagai penjelajah alam, tampaknya pemuda sekarang lebih senang bekerja di perkebunan sawit. Di Kalimantan Timur, perkebunan sawit mengalami perluasan cepat dalam satu dekade ini. Apakah meluasnya perkebunan dan industri memengaruhi kelestarian gambar cadas?

Hampir seluruh situs bergambar yang tersebar di Nusantara berada pada kawasan batuan karst, yang bernilai ekonomi instan ekstraktif: digali lalu dapat uang—walapun suatu saat akan habis. Pelestarian gambar cadas tidak serta merta bernilai ekomomi, namun bila terjadi, maka nilai ekonominya akan berlangsung sangat lama, melebihi lama dari kegiatan ekstraktif.

Jadi, ancaman terbesar bagi warisan jejak seniman pertama negeri ini adalah generasi penerus mereka—yakni kita sendiri. Petaka rusaknya gambar cadas terjadi apabila masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi dan program pembangunan tidak menganggap situs bergambar itu penting. Salah satu sebabnya mungkin mereka tidak merasa diuntungkan dengan kehadiran warisan leluhur tadi.

Kita harus memutar otak. Memang, situs arkeologi itu tidak pada ranah ekonomi instan dan tidak akan menarik modal berskala besar. Sejatinya, situs gambar cadas dapat memakmurkan penduduk sekitar dan meningkatkan pajak daerah lewat pengembangan ekonomi hijau dan bermodal kemitraan warga.

Apabila kita ingin mempertahankan gambar cadas, menurut hemat saya, kita harus mempertahankan kelestarian lingkungan juga—bukan ekonomi-politik belaka.