“Gua Purba,” demikian Mustofa berkisah kepada saya pada suatu hari. Dia merupakan perémés, julukan untuk pencari sarang burung walet yang merambahi gunung-gunung karst di kawasan Sangkulirang, Kalimantan Timur. Kendati masih muda dan lugu, lagak Mustofa memang meyakinkan.
Kedengarannya, nama Gua Purba menggelitik bagi penjelajah dan peneliti sejarah. Mustofa juga menceritakan bahwa di lorong-lorongnya banyak ditemukan pecahan gerabah. Bagi saya, kabar itu menjadi indikasi kehidupan prasejarah. Saya kian menggebu-gebu.
Mustofa adalah fenomena. Tidak banyak orang yang berprofesi sebagai perémés, karena harus sebulan dua bulan bergelayutan di gunung karst. Mereka harus kuat, muda, dan berani—bak petualang sejati. Mereka juga harus mencari dan menuju gua-gua tersembunyi, yang tidak diketahui orang banyak. Biasanya, para perémés berhasil mencapai gua di tebing yang tinggi, bahkan lorong-lorong gua yang sulit digapai orang biasa.
Para perémés merupakan porter utama perjalanan saya di Sangkulirang, selama dua dasawarsa terakhir. Tentu, saya percaya sepenuh jiwa pada mereka. Mereka rajin, kuat, berani, dan andal. Mereka adalah para sahabat sejati kami di hutan dan gunung karst yang gila.
Saya berjumpa Mustofa di desanya, Kampung Pengadan, berada nun jauh di tengah belantara Kalimantan Timur. Lokasi Gua Purba, ujarnya, masih sangat jauh dari kampungnya. Tepatnya di Gunung Kambing, perbukitan karst yang terkenal besar dan luar biasa terjalnya. Singkat cerita, kami mempersiapkan perjalanan dua minggu menembus hutan.
Setelah berjalan kaki dua hari dari kampung, sampailah kami di kaki Gunung Kambing. Para penjaga sarang burung kerap menjulukinya sebagai “gunung gila” karena harus gila-gilaan memanjatnya. Kami menuju gua yang berada 400 meter di gunung karst. Pagi-pagi sekali, perjalanan dimulai menanjak, bertangga batu, menaiki pohon, melipir jurang, melompati celah, lengkap sudah. Jalur pendakiannya sungguh gila!
Setelah berkali-kali akrobat, akhirnya pada sore hari kami sampai di mulut Gua Kambing yang besar sekali. Laser pengukur jarak memberi tanda numerik bahwa panjang gua itu sekitar 300 meter, tingginya sampai 60 meter. Gua ini spektakuler karena ini bertingkat tiga. Kami berjalan di tingkat dua, melewati jurang-jurang memanjang, kolam-kolam air, melewati bukit-bukit tanah yang melelahkan karena penuh guano lembut. Satu jam berjalan di lorong gelap, Mustofa memberi isyarat belok kanan. Kemudian dia menunjuk bahwa inilah guanya.
Saya berharap-harap cemas karena di depan mata kami hanya sebuah lorong yang gelap, besar, dan panjang. Sejauh penelitian saya, jarang sekali manusia prasejarah yang rela menghuni gua-gua gelap.
“Kok, gelap? Mana gerabahnya?” tanya saya.
“Itu, nanti di luar sana, Pak. Setengah jam lagi!” seru Mustofa.
“Ini Gua Purbanya?”
“Ya, Pak. Dinamakan Purba karena yang menemukan gua itu orang Batak tahun 90, Purba namanya!”
“Jadi, Purba itu nama orang? Kok, nggak bilang!”
Musatafa dengan santai berkata, “Abis nggak tanya.”
Saya sungguh kesal saat itu. Ternyata Gua Purba yang diceritakan Mustofa itu tidak ada kaitannya dengan bukti tinggalan hunian manusia purba.
Namun, saya masih mujur. Pada hari-hari berikutnya, di kawasan karst itu kami menemukan empat situs bergambar cadas yang sangat unik: adegan berburu dengan alat, cap daun, ti-tik-titik seperti di situs-situs Papua, cap tangan, perahu layar, dan pohon kalpataru. Semuanya berada di gua yang lain, bukan Gua Purba!
Selain pengalaman yang bersifat keilmuan, saya juga sering mengalami kelucuan akibat kesalahpahaman. Di dunia, sebenarnya sangat jarang peneliti gambar cadas yang berpengalaman menemukan situs baru. Biasanya, situs-situs itu sudah diketahui, sehingga sudah jelas aksesnya. Namun, di Indonesia punya lain cerita.
!break!
Merah: kuasan berwarna; Biru: corengan arang, dan Hijau: torehan atau cukilan.
Sumber: Karina Arifin dan P. Delange, Rock Art in West Papua, UNESCO; M. Aubert, S. O'Connor, M. McCulloch, G. Mortimer, A. Watchman, M. Richer-LaFlèche, Uranium-series dating rock art in East Timor; M. Aubert, A. Brumm, M. Ramli, T. Sutikna, E.W. Saptomo, B. Hakim, M.J. Morwood, G.D. van den Bergh, L. Kinsley, A. Dosseto, Pleistocene cave art from Sulawesi; Chriss Ballard, Australian National University Canberra; Jean Chazine dan L.H. Fage, L’art pariétal des grottes de Kalimantan; Engkos A. Kosasih, Lukisan Gua di Sulawesi Bagian Selatan: Refleksi Kehidupan Masyarakat Pendukungnya, FIB-UI; V. Plagnes, C. Causse, M. Fontugne, H. Valladas, J.M. Chazine, L.H. Fage, Cross dating (Th/U-14C) of calcite covering prehistoric paintings in Borneo; Pindi Setiawan, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung; Truman Simajuntak dan Adhi Agus Octaviana, Pusat Arkeologi Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Ahmad Hasan Sopandi, Lukisan Gua di Malaysia, Balai Seni Lukis Negara, Malaysia
Peta temuan gambar cadas di Misool: Pusat Arkeologi Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
!break!Selama dua tahun ini jagad telah digegerkan dengan Gua Leang Timpuseng di Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan. Rajah cadasnya telah memutarbalikan teori tentang tradisi gambar cadas dalam tataran arkeologi dunia.
Selama ini para ahli arkeologi meyakini bahwa tradisi gambar cadas dimulai dan dibesarkan dalam ruang dan waktu prasejarah Eropa Barat, sekitar 40.000-10.000 tahun silam. Namun, Gua Timpuseng telah mengekalkan imaji tertua-nya yang berupa kumpulan cap tangan bertarikh 39.900 tahun. Angka ini melunturkan teori sebelumnya. Sejarah peradaban manusia tampak-nya perlu ditulis ulang.
Tradisi gambar cadas merupakan tradisi manusia prasejarah dalam menyampaikan pesan melalui gambar. Gambar-gambar itu tidaklah berdiri sendiri, namun berasosiasi dengan lingkungannya. Misalnya, gambar dilukis pada gua yang dipercaya berenergi gaib. Energi itu ada karena berasosiasi dengan suatu gunung, sungai, padang rumput, hutan, atau laut.
Apa perbedaan antara lukisan cadas praseja-rah dan coretan grafiti masa kini? Gambar cadas—saat digunakan manusia prasejarah—bukanlah gambar yang “bisu dan dingin”. Lukisan purba digunakan sebagai alat penyampai pesan, yang dijangkar pula dengan iringan doa, tangisan, gumaman, teriakan, atau nyanyian. Lengkap dengan tetabuhan, bahkan aneka aromatik tertentu. Gambar cadas selalu dirancang teratur, tidak sembarang. Itulah yang paling membedakannya dengan grafiti masa kini.
Lukisan prasejarah di gua-gua kerap memamerkan imaji satwa—dengan daya estetis luar biasa—namun tidak dicurahkan untuk berkesenian atau perburuan belaka. Karena, pada kenyataannya, gambar cadas umum-nya menampilkan imaji cap tangan, adisatwa, mahluk aneh, kejadian samanik, kumpulan penari, perahu berhias, imaji matahari. Sedikit imaji yang menunjukkan perburuan. Apa yang digambar, kerap berbeda dengan temuan sisa tulang-belulang satwa yang disantap.
Dewasa ini, para peneliti berkeyakinan bahwa manusia prasejarah membuat gambar cadas untuk menyampaikan kejadian sosial penting, sekaligus memuaskan kebutuhan akan perasaan tertentu—rasa cemas, rasa aman, rasa syukur—dari masyarakat pendukungnya. Para penggambar mengawetkannya pada gambar cadas, untuk diceritakan kepada kelompoknya dan generasi berikutnya, hingga kita bisa memirsanya.
!break!Tebing gambar cadas Dunwahan berada di Pulau Kei Kecil, terletak pada ujung utara desa Ohoider Tawun. Dunhawan berarti ujung dunia, yang berbentuk mirip siku manusia bila ditekuk, demikian ujar seorang warga lokal. Dunwahan juga merupakan nama dari kampung paling utara dari Pulau Kei Kecil.
Dinding tebing bergambarnya menghadap barat, dan mempunyai tiga tingkat cerukan memanjang utara selatan mengikuti garis pantaimemanjang utara-selatan sekitar 1,5 kilometer. Tingkat satu, paling bawah ceruk yang masig terkena abrasi ombak laut, kemudian ceruk kedua sekitar 3 meter di atas ceruk pertama, dan ceruk ketiga paling atas kira-kira 6-8 meter dari dasar. Tebing ini bila laut pasang langsung berdiri di pinggir pantai, dideburkan ombak yang tidak teratur karena terdapat terumbu karang 300 meter di muka dinding ini.
Apabila surut, laut berubah menjadi padang pasir Ba’a, yaitu pasir yang terpengaruh pasang-surut laut. Pasir Ba’a memutihdari larutan karbonat karst, lantainya bergelombang berkerucut kecil-kecil, ikan kecil berwarna-warni sering terjebak di kolam-kolam air asin yang terisa. Beberapa kepiting kelapa besar—nan lezat—berlarian menyamping, kepiting-kepiting kecil keluar seperti berhamburan.
Warga mengingatkan kepada saya untuk berhati-hati, jangan sampai menginjak ikan pari pasir yang sering bersembunyi di bawah pasir. Jika terinjak, bisa melecutkan ekor berdurinya. Pantai berpasir Ba’a benar-benar memenuhi Teluk Ohoider. Ketika surut di pagi hari, suasanana sangat teduh karena matahari belum melewati dinding karst Dunwahan. Pantainya berjejer pohon kelapa melambai-lambai bergemersik, diriuhkan oleh siutan-siutan burung kecil yang merdu melengking-lengking. Sementara, sayup-sayup deburan ombak memecah terumbu nun jauh di ujung pasir Ba’a. Enak sekali di hati dan telinga.
Gambar cadas dibuat pada ceruk tingkat kedua dan ketiga. Awal-awal bekerja di tebing tebing, kira-kira setelah jam satu siang, matahari menyemprot langsung ke dinding yang menghadap ke barat ini. Panas dan teriknya luar biasa, tak ada tempat berlindung, kecuali gua kecil yang hanya cukup untuk dua orang sembari duduk bersila. Pada waktu seperti inilah, anak-anak Dunwahan bermain-main dengan perahu kawoel-nya, perahu tanpa cadik yang mudah bergoyang oleh ombak.
Di dalam perahu kecil itu, mereka bernyanyi-nyanyi lantang membahanakan lagu dangdut yang sedang populer, diulang-ulang sambil mendayung-dayung ceria. Anak-anak ini dipimpin oleh lanang bernama Jubaida, kelas enam. Dengan rasa ingin tahu, mereka melihat dan bertanya-tanya tentang apa yang sedang saya dan rekan saya kerjakan di tebing.
Akhirnya, pada hari-hari berikutnya,anak-anak ini menjadi sahabat setiap makan siang di tebing. Mereka pun kemudian suka membawakan kelapa muda segarMereka dengan lincah, menaiki tebing dari perahu sambil membawa dua-tiga kelapa segar. Jubaidah dengan santainya, mengupas kelapa-kelapa itu agar bisa diminum. Segar sekali rasa airnya.
Tiga hari kemudian, suatu malam yang cerah. Saya diminta oleh Woesoek, Kepala Desa Ohoider Tawun, untuk berkumpul di balai desa. Sampai di balai, saya kaget, hampir semua warga sudah duduk bersila. Ruangan seperti biasa penuh asap rokok, aroma kretek Bentoel Biru dan klobot berputar-putar memenuhi ruangan
!break!Metode pengukuran tarikh gambar cadas di Maros menggunakan metode U-series. Metode ini didapat dari selisih umur dari dua bentukan karbonat yang mengapit gambar, yaitu dinding karbonat di belakang gambar, dan bentukan yang kebetulan tumbuh di atas suatu gambar. Umur-apit inilah yang dipublikasikan luas.
Penelitian umur-apit di Indonesia telah dilakukan dua kali. Pertama oleh Tim Kalimanthrope di Sangkulirang, Kalimantan Timur pada 1999. Mereka menyimpulkan terdapat imaji bertarikh minimal 9.800 tahun. Penelitian kedua, dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional, Balai Pelestarian Cagar Budaya Makasar, Griffith University dan tempat saya bekerja—Institut Teknologi Bandung. Kami terjun di belantara Sulawesi Selatan pada 2013 dan Kalimantan Timur pada 2014. Penelitan kedua, baru memublikasikan 12 sampel dari Maros, yaitu 39.900-17.400 tahun lalu. Sementara saya menulis kisah ini, tujuh sampel dari penelitian kedua di situs-situs Sangkulirang, Kalimantan Timur belum juga selesai diproses.
Pada latar kenusantaraan, angka 39.900-10.000 tahun silam itu telah menyebabkan kegerahan baru bagi dunia arkeologi Indonesia. Pasalnya, para ahli berpendapat bahwa manusia Austronesia adalah satu-satunya masyarakat pendukung tradisi gambar cadas Nusantara. Itu berarti, tradisinya tidak mungkin lebih tua dari migrasi kedatangan manusia Austronesia ke Nusantara, yaitu sekitar 4.000 tahun lalu. Teori bahwa gambar cadas dibuat penutur Austronesia didasarkan pada perbandingan temuan-temuan di sekitar situs bergambar, yang merujuk lapisan atau teknologi yang ber-umur 4.000 tahun. Jadi, penentuan tarikhnya, adalah metode perbandingan, bukan metode langsung pada gambar seperti umur-apit.
Memang, sudah begitu lama saya dan para peneliti gambar cadas di dunia ini bermimpi menemukan lukisan purba itu dari zaman 40.000 tahun silam di kawasan Asia. Alasannya, migrasi manusia 50.000 tahun lalu dari daratan Asia menuju Sahul (Australia-Papua) melalui da-erah yang kini Nusantara sekarang. Sementara di Australia, banyak gambar cadas yang bertarikh pra-Austronesia, seperti yang ditemukan di Quensland, Kimberley, dan Olalry. Lalu, pada jalur migrasi itu sedikit demi sedikit ditemukan gambar cadas bertarikh lebih tua dari 4.000 tahun, mendahului kedatangan Austronesia.
Belum ada penelitian lebih jauh, siapa manusia pembuat gambar cadas yang lebih tua dari 4.000 tahun. Namun, setidaknya sekarang di Nusantara diketahui terdapat dua tradisi gambar cadas, yaitu tradisi Pra-Austronesian (lebih tua dari 4.000 tahun silam), dan tradisi Austronesian (dibuat setelah 4.000 tahun silam).
Manusia Pra-Austronesia mempunyai mata pencaharian sebagai pemburu. Mereka terbagi atas kaum Pemburu Awal dan kaum Pemburu Lanjut. Pada Pemburu Awal, gambar cadasnya sangat banyak menampilkan cap (sembur) tangan dan mamalia besar. Cap tangan digambar berdekatan dengan satwanya, dan beberapa cap tangan tampak berdiri sendiri. Warna merah dari oker hematit mendominasi dinding dan langit-langit. Mamalia digambar sangat naturalis dan indah, mendominasi panil gambarnya. Gua-gua bergambarnya berlokasi sedikit di atas dataran, tidak jauh di atas tebing atau di puncak tebing. Para Pemburu Awal biasanya tidak menggambar senjata dan sosok manusia. Situs-situs Sulawesi Selatan sangat baik merepresentasikan gambar cadas mereka.
Kaum Pemburu Lanjut masih menggunakan cap tangan di dinding-dinding gua, namun kali ini lebih bergaya: Ada yang dijejejerkan, disusun melingkar, diruncingkan, diisi dengan garis-garis atau mahluk ‘gaib’. Pada situs yang besar, tempat pertemuan ritual penting, dibubuhi banyak sekali cap tangan. Mamalia menjadi makin jarang digambar, namun muncul imaji adisatwa, yaitu binatang jadi-jadian dan imaji mirip tokek. Selain itu terdapat imaji kura-kura, cap daun, dan alat-berburu. Sosok manusia saman banyak dihadirkan pada tradisi Pemburu Lanjut: Ada sosok penari yang berdiri memegang tongkat, dan pemburu. Daerah yang paling banyak mengawetkan tradisi menggambar para Pemburu Lanjut adalah Sangkulirang, Kalimantan Timur.
Gambar cadas Pemburu Awal diperkirakan bertarikh 40.000-15.000 tahun lalu, sementara Pemburu Lanjut diperkirakan sekitar 10.000-6.000 tahun lalu. Inilah lukisan cadas yang dibuat oleh manusia pra-Austronesia. Kendati terpaut puluhan ribu tahun, mereka sama-sama menggambar di muara gua-gua karst pedalaman, mungkin terkait daerah perburuannya. Gua-gua ini berada pada kawasan menara-menara karst yang memutih tinggi, seperti saling berlomba mencakar langit. Cerita tentang iklim praseja-rah itu terawetkan pada stalakmit-stalakmitnya: Dulu ketika digambari, daerah ini mempunyai musim kemarau yang panjang, batuan karst lah yang secara teori memberi pasokan air. Bahkan, air menetes deras dari gua-gua yang jauh di atas sungai. Hutannya berupa tropis savana, bukan hutan tropis basah.
Sekitar 6.000 tahun lalu, entah mengapa kaum pemburu ini berhenti menggambar, dan keluar dari gua. Pastinya, saat itu sedang terjadi perubahan iklim global. Air laut di Nusantara perlahan naik sampai 150 meter ke level yang sekarang. Suhu lebih hangat dua hingga tiga derajat, udara lebih lembab, salju di gunung api tropis meleleh. Semua terjadi perlahan sejak 21.000 tahun lalu sampai kira-kira 6.000 tahun lalu.
Kira-kira dua ribu tahun kemudian, tiba-tiba banyak gambar cadas yang mengisahkan kelautan di Nusantara. Konon, para penggambarnya adalah orang-orang laut yang datang dari utara, menyebar dengan cepat sekitar 4.000 tahun lalu—manusia Austronesia. Ketika itu, air laut sedang turun sedikit, dan berhenti di muka air laut sekarang, sekitar 3.000 tahun silam.
Manusia Austronesia dijuluki sang penjelajah laut. Mereka dipercaya berawal dari Taiwan dan kemudian menyebar melintasi Samudra Pasifik dan Indonesia. Mereka membawa ayam, babi, dan tikus ke Nusantara Timur, dan terus sampai Benua Amerika Selatan. Lalu, mereka berlayar kembali ke arah Nusantara membawa tanaman ubi. Para penjelajah laut itulah yang menggambarkan kisah kelautan dan patokan navigasi pada dinding tebing pantai yang dilaluinya.
Di Nusantara, gambar cadas kaum Pemburu Laut banyak ditemukan pada ceruk-ceruk tebing pantai di Maluku dan Papua. Mereka masih senang menggambar cap tangan, namun kadang diselingi dengan cap kaki dan cap senjata bumerang, dan berbagai jenis ikan. Mereka sering menggambarkan lantar—imaji mirip matahari atau komet. Imaji kura-kura dan reptil semacam cicak makin banyak dan makin besar ukurannya dibanding Pemburu Lanjut.
Pemburu Laut melukiskan berbagai jenis pe-rahu, dari perahu dayung, perahu layar tunggal, layar jamak, sampai ke perahu kematian!
Saya menyaksikan juga gambar sosok yang terkait strata sosial. Misal, sosok manusia bersenjata. Sosok ini digambar lebih besar dari sosok lain, yang menunjukkan sosok penting. Ada sosok manusia yang berdiri di belakang perahu, sosok lainnya mendayung. Para Pemburu Laut senang menampilkan topeng-topeng, serta manusia jadi-jadian yang dikenal sebagai matutua atau mamatua—sosok sakral yang penting.
Para penjelajah laut ini, saya amati, mereka memilih menggambar pada dinding tebing yang sulit dijangkau. Kadang ditemukan gambar berada di dinding tegak 50-an meter di atas laut. Tebing cadas yang digambar umumnya mempunyai tiga tingkatan ceruk. Jejeran tebing cadas pantainya bagai pagar putih berpucuk tanaman hijau. Sangat memukau mata dan hati.
Selain gambar para Pemburu Laut, selepas 4.000 tahun lalu terdapat juga gambar yang dibuat oleh para penggembala di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Apabila kita melihat imaji-imaji yang tertinggal di Pulau Muna, tampak imaji perahu berada di bawah imaji satwa: kuda. Tampaknya, gambar penggembala adalah gambar yang dibuat usai kisah-kisah manusia perahu.
Saya terpukau menyaksikan betapa pengembala Muna banyak sekali menggambar kuda dan penunggangnya. Terdapat beberapa imaji penunggang kuda yang siap melempar tombak, kuda yang dinaiki tiga orang. Pada dinding lain, tampak kuda dan penunggang-nya digambar diantara ternak, seperti sedang menghalau ternak. Di Muna juga terdapat situs gambar rusa—bisa jadi masih liar karena hendak ditombak.
Gambar cadas di Pulau Muna selain menunjukkan mode penggembala, juga menunjukkan ekonomi kompleks. Ada gambar penunggang kuda yang memakai topi, boleh jadi seorang kesatria. Saya menduga, ciri khas penting dari ekonomi kompleks adalah gambar skematik. Misal, sosok manusia segitiga, sosok yang tangan dan kakinya berjari tiga seperti garpu.
Gambar cadas Muna juga menampilkan imaji layang-layang dengan pemainnya. Layang-layang dibuat oleh orang khusus. Kekhususan ini juga ciri ekonomi kompleks. Pada situs penggembala dan ekonomi kompleks, gambar cap tangan tak muncul lagi. Cap tangan yang terawetkan di Muna merupakan sisa masa Pemburu.
Situs bergambar yang mencerminkan ekonomi kompleks, juga ditemukan di Gua Harimau, Sumatra. Imaji-imaji dibuat dengan ciri skematik, bentuknya berulang-ulang. Tampaknya ini penanda pro-ses sosial yang berulang-ulang juga. Fungsi gambar kaum ekonomi kompleks sepertinya lebih untuk menceritakan kejadian sosial dibandingkan cerita sakral seperti pada kaum Pemburu.
Pada tradisi pengembala dan ekonomi kompleks, secara teori mereka tidak lagi menggunakan gua sebagai hunian. Tidak heran, apabila pemilihan gua atau situs yang digambar tidak berada pada daerah sulit, namun pada bukit-bukit yang memiliki dataran landai menghijau untuk berladang atau beternak.
Zaman Pemburu dan zaman Ekonomi Kompleks terbentang puluhan ribu tahun. Namun, saya sungguh terpukau, ketika menziarahi tapak jejak leluhur kita di Gua Metanduno di Muna, Sulawesi Tenggara, dan Gua Mardua, Kalimantan Timur. Betapa tidak, kedua situs gua tadi membukukan lukisan dari gua zaman Pemburu sampai zaman Ekonomi Kompleks!
Saya mendapat berita mengejutkan bahwa Mustafa meninggal dunia pada 2007. Kabarnya, perémés yang masih muda dan lugu itu terkena serangan jantung, dan dimakamkan di kampung halamannya, Pengadan. Dia sudah berkali-kali mengantar saya dan tim untuk menjelajahi dae-rah-daerah tersembunyi sejak 1994. Terakhir kali berjalan bersamanya pada 2004. Saya terkenang pengalaman mencari gua-gua bergambar cadas bersama Mustofa.
Kini mencari perémés tidak semudah dahulu. Selain membutuhkan keterampilan dan ketahanan sebagai penjelajah alam, tampaknya pemuda sekarang lebih senang bekerja di perkebunan sawit. Di Kalimantan Timur, perkebunan sawit mengalami perluasan cepat dalam satu dekade ini. Apakah meluasnya perkebunan dan industri memengaruhi kelestarian gambar cadas?
Hampir seluruh situs bergambar yang tersebar di Nusantara berada pada kawasan batuan karst, yang bernilai ekonomi instan ekstraktif: digali lalu dapat uang—walapun suatu saat akan habis. Pelestarian gambar cadas tidak serta merta bernilai ekomomi, namun bila terjadi, maka nilai ekonominya akan berlangsung sangat lama, melebihi lama dari kegiatan ekstraktif.
Jadi, ancaman terbesar bagi warisan jejak seniman pertama negeri ini adalah generasi penerus mereka—yakni kita sendiri. Petaka rusaknya gambar cadas terjadi apabila masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi dan program pembangunan tidak menganggap situs bergambar itu penting. Salah satu sebabnya mungkin mereka tidak merasa diuntungkan dengan kehadiran warisan leluhur tadi.
Kita harus memutar otak. Memang, situs arkeologi itu tidak pada ranah ekonomi instan dan tidak akan menarik modal berskala besar. Sejatinya, situs gambar cadas dapat memakmurkan penduduk sekitar dan meningkatkan pajak daerah lewat pengembangan ekonomi hijau dan bermodal kemitraan warga.
Apabila kita ingin mempertahankan gambar cadas, menurut hemat saya, kita harus mempertahankan kelestarian lingkungan juga—bukan ekonomi-politik belaka.