Denyut Jantung Bumi

By , Senin, 2 November 2015 | 12:45 WIB

Pemandangan di luar jendela cukup parah. Saat pesawat penelitiannya melintas di atas hutan sequoia raksasa California, Greg Asner bisa melihat kerusakan akibat ke­keringan selama empat tahun yang mendera negara bagian itu. Namun, ketika dia berpaling dari jendela ke tayangan video di lab terbangnya, pe­mandangannya lebih mengkhawatirkan lagi.

Gambar digital tersebut berasal sistem pemindaian 3-D yang baru dipasang Asner, ahli ekologi dari Carnegie Institution for Science, di pesawat turbopropnya. Pemindai tersebut memancarkan laser ganda ke pepohonan itu. Dua spektrometer pencitraan, salah satunya buatan Jet Propulsion Laboratory (JPL) NASA, merekam ratusan panjang gelombang sinar matahari yang terpantul, dari cahaya tampak hingga inframerah, mengungkapkan ciri khas kimiawi detail yang menjadi pengenal spesies setiap pohon dan bahkan menunjukkan jumlah air yang diserapnya—indikator kesehatan yang penting. Dengan setelan layar yang dipilih Asner hari itu, pohon yang kekurangan air ditandai warna merah terang.

Meskipun citra tersebut meresahkan, cara baru ini ampuh untuk memahami planet ini. “Peta mengenai keadaan suatu ekosistem yang dihasilkan sistem ini dari sekali terbang melintas,” tulis Asner kemudian, “mengandung lebih banyak informasi daripada yang mungkin diperoleh dari survei darat seumur hidup.” Dan Carnegie Airborne Observatory baru permulaan saja dalam tren yang lebih luas ini.

Sensor yang canggih memberi manfaat serupa bagi ilmuwan—menyediakan alat yang semakin hebat untuk mengukur tanda-tanda vital bumi. Pada 2014 dan awal 2015, NASA meluncurkan lima misi pengamatan bumi (termasuk dua instrumen baru di stasiun ruang angkasa), sehingga total menjadi 19. Lembaga antariksa lain dari Brasilia, Tiongkok, Eropa, dan negara lainnya juga ikut meramaikan. “Tidak diragukan lagi kita sekarang berada pada zaman keemasan penginderaan jauh,” kata Michael Freilich, direktur ilmu kebumian NASA.

Berita yang dibawa oleh semua mata di langit ini, harus diakui, sebagian besar tidak baik. Sistem penginderaan ini memberi kesaksian tentang dunia yang berubah dengan cepat, mulai dari pelelehan gletser dan penyusutan hutan hujan hingga naiknya air laut dan masih banyak lagi. Namun, saat dampak manusia di bumi mencapai tataran baru, sensor mutakhir ini menawarkan peluang yang belum pernah ada sebelumnya untuk memantau dan memahami dampak tersebut—sekalipun tidak mengobati penyakit bumi, setidaknya mampu memberi diagnosis yang lebih baik. Itu saja sudah memberi harapan.

Air adalah nyawa bagi bumi, dan untuk pertama kalinya, dengan sensor di angkasa para ilmuwan dapat memperkirakan kekeringan, memperingatkan akan adanya banjir, melindungi suplai air minum, dan meningkatkan hasil panen.

Di California, krisis air telah mengubah negara bagian itu menjadi semacam laboratorium bagi banyak proyek penginderaan jarak jauh. Selama tiga tahun terakhir, tim NASA yang dipimpin oleh Tom Painter menerbangkan pesawat yang penuh instrumen di atas Taman Nasional Yosemite untuk mengukur kumpulan salju yang mengisi Reservoir Hetch Hetchy, sumber air utama San Francisco.

Pesawat Twin Otter Painter, yang dinamai Airborne Snow Observatory, dilengkapi dengan sensor yang mirip dengan yang ada di pesawat Greg Asner: pemindai lidar yang mengukur ketebalan salju dan spektrometer pencitraan untuk menganalisis kondisinya. Cara kerja lidar mirip dengan radar tetapi menggunakan sinar laser, mengukur jarak antara pesawat dengan salju berdasarkan waktu pantulan cahaya.

Dengan membandingkan topografi suatu kawasan saat tertutup salju dengan hasil pindaian pada musim panas tanpa salju, Painter dan timnya berkali-kali dapat mengukur secara tepat jumlah salju yang terdapat di seluruh daerah aliran sungai seluas 1.200 kilometer persegi tersebut. Sementara spektrometer pencitraan memperlihatkan besarnya butiran salju serta jumlah debu yang terdapat di permukaan—keduanya memengaruhi kecepatan pelelehan salju oleh matahari musim semi serta air yang dialirkannya. “Kami belum pernah mendapat data ini sebelumnya,” kata Graham.

Painter juga mengukur penyusutan kumpulan salju di Pegunungan Rocky, yang memasok air untuk jutaan orang di seluruh barat laut AS. Dalam waktu dekat dia berencana membawa teknologi tersebut ke daerah pegunungan lain di seluruh dunia yang pasokan air lelehan saljunya terancam, seperti DAS Indus dan Gangga di Himalaya. “Pada akhir dekade ini, hampir dua miliar orang terkena dampak perubahan kumpulan salju,” katanya. “Ini salah satu aspek terpenting perubahan iklim.”

Dengan berkurangnya air yang mengalir ke sungai dan waduk California, petani memompa lebih banyak air dari sumur untuk mengairi pertaniannya, menyebabkan turunnya aras air. Pihak pemerintah negara bagian biasanya memantau cadangan air bawah tanah dengan menurunkan sensor ke sumur. Akan tetapi, tim ilmuwan yang dipimpin Jay Famiglietti, ahli hidrologi di University of California, Irvine, dan JPL, menggunakan sepasang satelit yang disebut GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment) untuk “menimbang” air tanah California dari luar angkasa.

Cara kerjanya adalah kedua satelit itu mendeteksi perubahan ketinggian satelit dan jarak antara keduanya akibat perubahan gravitasi bumi.

Satelit GRACE dapat mengukur perubahan jarak hingga 1/10.000 sentimeter. Setahun kemudian, setelah petani memompa banyak air tanah, tarikan gravitasi yang dialami satelit pertama berkurang sedikit, dan satelit GRACE mendeteksi perubahan itu.