Pemandangan di luar jendela cukup parah. Saat pesawat penelitiannya melintas di atas hutan sequoia raksasa California, Greg Asner bisa melihat kerusakan akibat kekeringan selama empat tahun yang mendera negara bagian itu. Namun, ketika dia berpaling dari jendela ke tayangan video di lab terbangnya, pemandangannya lebih mengkhawatirkan lagi.
Gambar digital tersebut berasal sistem pemindaian 3-D yang baru dipasang Asner, ahli ekologi dari Carnegie Institution for Science, di pesawat turbopropnya. Pemindai tersebut memancarkan laser ganda ke pepohonan itu. Dua spektrometer pencitraan, salah satunya buatan Jet Propulsion Laboratory (JPL) NASA, merekam ratusan panjang gelombang sinar matahari yang terpantul, dari cahaya tampak hingga inframerah, mengungkapkan ciri khas kimiawi detail yang menjadi pengenal spesies setiap pohon dan bahkan menunjukkan jumlah air yang diserapnya—indikator kesehatan yang penting. Dengan setelan layar yang dipilih Asner hari itu, pohon yang kekurangan air ditandai warna merah terang.
Meskipun citra tersebut meresahkan, cara baru ini ampuh untuk memahami planet ini. “Peta mengenai keadaan suatu ekosistem yang dihasilkan sistem ini dari sekali terbang melintas,” tulis Asner kemudian, “mengandung lebih banyak informasi daripada yang mungkin diperoleh dari survei darat seumur hidup.” Dan Carnegie Airborne Observatory baru permulaan saja dalam tren yang lebih luas ini.
Sensor yang canggih memberi manfaat serupa bagi ilmuwan—menyediakan alat yang semakin hebat untuk mengukur tanda-tanda vital bumi. Pada 2014 dan awal 2015, NASA meluncurkan lima misi pengamatan bumi (termasuk dua instrumen baru di stasiun ruang angkasa), sehingga total menjadi 19. Lembaga antariksa lain dari Brasilia, Tiongkok, Eropa, dan negara lainnya juga ikut meramaikan. “Tidak diragukan lagi kita sekarang berada pada zaman keemasan penginderaan jauh,” kata Michael Freilich, direktur ilmu kebumian NASA.
Berita yang dibawa oleh semua mata di langit ini, harus diakui, sebagian besar tidak baik. Sistem penginderaan ini memberi kesaksian tentang dunia yang berubah dengan cepat, mulai dari pelelehan gletser dan penyusutan hutan hujan hingga naiknya air laut dan masih banyak lagi. Namun, saat dampak manusia di bumi mencapai tataran baru, sensor mutakhir ini menawarkan peluang yang belum pernah ada sebelumnya untuk memantau dan memahami dampak tersebut—sekalipun tidak mengobati penyakit bumi, setidaknya mampu memberi diagnosis yang lebih baik. Itu saja sudah memberi harapan.
Air adalah nyawa bagi bumi, dan untuk pertama kalinya, dengan sensor di angkasa para ilmuwan dapat memperkirakan kekeringan, memperingatkan akan adanya banjir, melindungi suplai air minum, dan meningkatkan hasil panen.
Di California, krisis air telah mengubah negara bagian itu menjadi semacam laboratorium bagi banyak proyek penginderaan jarak jauh. Selama tiga tahun terakhir, tim NASA yang dipimpin oleh Tom Painter menerbangkan pesawat yang penuh instrumen di atas Taman Nasional Yosemite untuk mengukur kumpulan salju yang mengisi Reservoir Hetch Hetchy, sumber air utama San Francisco.
Pesawat Twin Otter Painter, yang dinamai Airborne Snow Observatory, dilengkapi dengan sensor yang mirip dengan yang ada di pesawat Greg Asner: pemindai lidar yang mengukur ketebalan salju dan spektrometer pencitraan untuk menganalisis kondisinya. Cara kerja lidar mirip dengan radar tetapi menggunakan sinar laser, mengukur jarak antara pesawat dengan salju berdasarkan waktu pantulan cahaya.
Dengan membandingkan topografi suatu kawasan saat tertutup salju dengan hasil pindaian pada musim panas tanpa salju, Painter dan timnya berkali-kali dapat mengukur secara tepat jumlah salju yang terdapat di seluruh daerah aliran sungai seluas 1.200 kilometer persegi tersebut. Sementara spektrometer pencitraan memperlihatkan besarnya butiran salju serta jumlah debu yang terdapat di permukaan—keduanya memengaruhi kecepatan pelelehan salju oleh matahari musim semi serta air yang dialirkannya. “Kami belum pernah mendapat data ini sebelumnya,” kata Graham.
Painter juga mengukur penyusutan kumpulan salju di Pegunungan Rocky, yang memasok air untuk jutaan orang di seluruh barat laut AS. Dalam waktu dekat dia berencana membawa teknologi tersebut ke daerah pegunungan lain di seluruh dunia yang pasokan air lelehan saljunya terancam, seperti DAS Indus dan Gangga di Himalaya. “Pada akhir dekade ini, hampir dua miliar orang terkena dampak perubahan kumpulan salju,” katanya. “Ini salah satu aspek terpenting perubahan iklim.”
Dengan berkurangnya air yang mengalir ke sungai dan waduk California, petani memompa lebih banyak air dari sumur untuk mengairi pertaniannya, menyebabkan turunnya aras air. Pihak pemerintah negara bagian biasanya memantau cadangan air bawah tanah dengan menurunkan sensor ke sumur. Akan tetapi, tim ilmuwan yang dipimpin Jay Famiglietti, ahli hidrologi di University of California, Irvine, dan JPL, menggunakan sepasang satelit yang disebut GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment) untuk “menimbang” air tanah California dari luar angkasa.
Cara kerjanya adalah kedua satelit itu mendeteksi perubahan ketinggian satelit dan jarak antara keduanya akibat perubahan gravitasi bumi.
Satelit GRACE dapat mengukur perubahan jarak hingga 1/10.000 sentimeter. Setahun kemudian, setelah petani memompa banyak air tanah, tarikan gravitasi yang dialami satelit pertama berkurang sedikit, dan satelit GRACE mendeteksi perubahan itu.
Surutnya akuifer dunia, yang memasok setidaknya sepertiga air yang digunakan manusia, kini menjadi bahaya serius, kata Famiglietti. Data GRACE menunjukkan bahwa lebih dari setengah akuifer terbesar di dunia disedot lebih cepat daripada laju pengisiannya, terutama di Jazirah Arab, India, Pakistan, dan Afrika Utara. Di Central Valley, pemompaan menyebabkan masalah lain: Beberapa bagian dari lembah itu ambles.
Tom Farr, ahli geologi JPL, memetakan penurunan ini menggunakan data radar dari satelit Kanada yang mengorbit 800 kilometer di atas permukaan bumi. Teknik yang digunakannya, awalnya dikembangkan untuk meneliti gempa bumi, dapat mendeteksi deformasi tanah hingga 2,5-5 sentimeter. Peta buatan Farr menunjukkan bahwa di beberapa tempat, Central Valley ambles sekitar 30 sentimeter per tahun.
Salah satunya adalah bendungan kecil di dekat kota Los Banos yang mengalirkan air ke pertanian di sekitarnya. “Kami tahu ada masalah pada bendungan ini, karena air mulai melimpas tanggulnya,” kata Cannon Michael, presiden Bowles Farming Company. “Baru setelah melihat citra satelit kami mengetahui besarnya masalah tersebut.” Terbentuk dua cekungan di lahan pertanian seluas total 9.300 kilometer persegi, mengancam bendungan, jembatan, saluran irigasi, jalur pipa, dan kanal banjir—prasarana senilai miliaran rupiah. Pada akhir 2014 Gubernur California Jerry Brown menandatangani undang-undang pertama di negara bagian itu yang mengatur pembatasan pengambilan air tanah secara bertahap.
Karena semakin banyak bukti tentang penyakit bumi—dari kenaikan suhu dan pengasaman laut, hingga penggundulan hutan dan cuaca ekstrem—NASA memprioritaskan misi yang bertujuan mengatasi dampaknya. Salah satu satelit terbarunya, observatorium senilai 13 triliun rupiah yang bernama SMAP (Soil Moisture Active Passive), diluncurkan bulan Januari. Satelit ini dirancang untuk mengukur kelembapan tanah baik dengan cara memantulkan sinar radar ke permukaan (aktif) maupun menangkap radiasi yang dipancarkan oleh tanah itu sendiri (pasif). Bulan Juli lalu radar aktif berhenti beroperasi, tetapi radiometer pasif masih berfungsi. Peta yang dihasilkannya dapat membantu ilmuwan memperkirakan kekeringan, banjir, hasil panen, dan kelaparan.
“Jika kita memiliki data SMAP tahun 2012, kita dapat dengan mudah meramalkan kekeringan parah di barat tengah AS yang mengejutkan begitu banyak orang,” kata Narendra N. Das, ilmuwan peneliti di JPL. Tidak banyak yang menduga bahwa daerah itu akan merugi hasil panen sekitar 435 triliun rupiah pada musim panas itu akibat “kekeringan dadakan”—paduan gelombang panas yang tiba-tiba dengan kelembapan yang sangat rendah. “Data SMAP bisa menunjukkan sejak dini hilangnya kelembapan tanah di kawasan itu dan jika hujan tidak turun, maka panen akan gagal,” kata Das. Petani mungkin tidak akan menanami lahannya secara besar-besaran.
Perubahan iklim juga meningkatkan peluang terjadinya hujan ekstrem—dan SMAP juga membantu menanggulangi risiko tersebut. Data SMAP dapat memberi tahu pemerintah bahwa tanah sudah jenuh air sehingga dapat terjadi longsor atau banjir di hilirnya. Namun, kurangnya air merupakan ancaman yang lebih luas dan berkepanjangan. Tanpa kelembapan di dalam tanah, lingkungan yang sehat akan rusak, seperti yang terjadi di California, menyebabkan gelombang panas, kekeringan, dan kebakaran hutan. “Kelembapan tanah mirip keringat manusia,” kata Das. “Saat menguap, timbul efek mendinginkan. Jadi, saat tanah tidak lagi mengandung air, permukaan bumi akan memanas, seperti manusia yang mengalami serangan panas.”
meskipun banyak sekali tantangan yang mengancam, sampai sekarang bumi terbukti mampu bertahan. Dari 37 miliar ton atau lebih karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer setiap tahun oleh aktivitas manusia, sekitar setengahnya diserap oleh lautan, hutan, dan padang rumput. Namun, belum ada yang tahu titik jenuh penyerapan itu. Baru belakangan ini para peneliti menemukan metode yang tepat untuk mengukur aliran masuk keluar karbon dari lautan, hutan, dan padang rumput.
Pada Juli 2014, NASA meluncurkan pesawat ruang angkasa yang bernama Orbiting Carbon Observatory- 2. Dirancang untuk “mengamati napas bumi”, demikian kata para manajernya, OCO-2 dapat mengukur dengan presisi—hingga satu per sejuta molekul—jumlah CO2 yang dilepaskan atau diserap oleh wilayah mana pun di dunia. Peta global pertama yang menggunakan data OCO-2 menunjukkan kepulan CO2 yang berasal dari Australia utara, Afrika selatan, dan Brasilia timur, tempat hutan dibakar untuk membuka lahan pertanian. Peta masa depan akan mengidentifikasi daerah yang sebaliknya—menyerap CO2 dari atmosfer.
Greg Asner dan timnya juga meneliti penyerapan karbon. Sebelum terbang di atas hutan California, selama beberapa tahun mereka memindai 720.000 kilometer persegi hutan tropis di Peru untuk menghitung kandungan karbon hutan tersebut.
Pada saat itu, Peru sedang membahas cara melindungi hutan hujannya bersama mitra internasional. Asner mampu menunjukkan bahwa kawasan hutan yang mendapat tekanan besar dari penebangan, pertanian, atau pertambangan minyak dan gas juga menyimpan karbon paling banyak—sekitar enam miliar metrik ton. Pelestarian kawasan itu akan membuat karbon tersebut tetap tersimpan, ujar Asner, dan melindungi spesies yang tak terhitung jumlahnya. Pada akhir 2014 pemerintah Norwegia menjanjikan dana hingga 4 triliun rupiah untuk mencegah deforestasi di Peru.
Dalam beberapa tahun ke depan NASA berencana meluncurkan lima misi baru untuk meneliti siklus air, badai, dan perubahan iklim, termasuk penerus satelit GRACE. Instrumen pengamatan bumi yang lebih kecil, disebut CubeSat—sebagian sebesar telapak tangan—akan ikut menumpang ke luar angkasa untuk melakukan misi lainnya. Bagi ilmuwan seperti Asner, urgensinya jelas. “Dunia ini berubah dengan sangat cepat,” katanya. “Banyak perubahan yang terjadi yang belum dipahami oleh ilmu pengetahuan manusia.”
Sekitar dua dekade lagi spektrometer pencitraan yang pertama, seperti yang digunakan oleh Asner dan Painter, akan ditempatkan ke orbit bumi. Itu seperti “teknologi Star Trek” jika dibandingkan dengan yang ada di atas sana sekarang, kata Painter. “Kita sudah mengirimkan spektrometer pencitraan ke orbit Yupiter, Saturnus, dan Mars, tetapi malah belum memiliki program untuk planet kita sendiri,” katanya. Pemandangan dari alat tersebut pasti luar biasa: Kita dapat melihat dan mengenali setiap pohon dari ruang angkasa. Dan kita akan diingatkan mengenai hutan yang lebih besar: Umat manusia dan teknologi kita merupakan satu-satunya harapan untuk membereskan malapetaka yang kita timbulkan.