Otak di Alam Terbuka

By , Kamis, 24 Desember 2015 | 22:45 WIB

Semua bukti mengenai manfaat alam justru terkuak pada saat terputusnya manusia  dengan alam semakin marak. Jajak pendapat baru dari Nature Conservancy menunjukkan bahwa hanya sekitar sepuluh persen remaja Amerika menghabiskan waktu di luar rumah setiap hari. Menurut riset dari Harvard School of Public Health, orang-orang dewasa Amerika menghabiskan lebih sedikit waktu di luar ruangan daripada di dalam kendaraan—kurang dari lima persen sepanjang hari mereka.

“Orang meremehkan efek kebahagiaan” saat berada di luar ruangan, kata Nisbet. “Kita tidak menganggapnya sebagai cara untuk meningkatkan kebahagiaan. Kita mengira hal-hal lainlah yang akan membuat kita bahagia, misalnya berbelanja atau TV. Kita berevolusi di alam. Aneh jika kita menjadi sangat terpisah dengannya.” Tetapi sebagian orang mulai berbuat sesuatu mengenai hal ini.

Nooshin Razani di  Benioff Children’s Hospital di Oakland, California, adalah salah seorang dari beberapa dokter yang memerhatikan semakin maraknya data mengenai alam dan kesehatan. Dia melatih dokter anak untuk menulis resep bagi pasien muda dan keluarga mereka untuk mengunjungi taman di lingkungan mereka.

Pemerintah di beberapa negara mengajukan pengalaman di alam sebagai kebijakan di bidang kesehatan umum. Di Finlandia, negara yang memiliki angka depresi, ketergantungan pada alkohol, dan bunuh diri tinggi, riset yang didanai pemerintah meminta ribuan orang untuk menilai level suasana hati dan stres mereka setelah mengunjungi area alam dan urban. Berdasarkan penelitian itu dan yang lainnya, Profesor Liisa Tyrväinen dan timnya di Natural Resources Institute Finland merekomendasikan dosis minimal lima jam di alam dalam sebulan—beberapa kunjungan singkat dalam seminggu—untuk mengusir kesedihan. “Jalan kaki selama 40-50 menit sepertinya cukup bagi perubahan fisiologis dan suasana hati, dan mungkin bisa mempertajam perhatian,” kata Kalevi Korpela, profesor psikologi University of Tampere. Dia membantu merancang enam “jalur kekuatan” yang mendorong orang unjuk berjalan, mengasah kesadaran, dan bercermin diri.

Barangkali tidak ada yang lebih antusias dalam menyambut baik pengobatan dengan alam daripada orang-orang Korea Selatan. Banyak penduduk negara itu menderita akibat tekanan pekerjaan, kecanduan digital, dan beban akademik yang berat. Lebih dari 70 persen mengatakan bahwa pekerjaan mereka, yang berlangsung sangat lama, memicu depresi, menurut survei oleh raksasa elektronika Samsung. Namun negara berekonomi kuat ini memiliki sejarah panjang dalam menyembah dewa-dewa alam. Pepatah kuno Raga dan tanah adalah satu” (alih-alih raga dan jiwa), masih populer hingga kini.

Di Hutan Pengobatan Saneum, di timur Seoul, seorang “penjaga kesehatan” menawari saya teh kulit pohon elm, kemudian memandu saya berjalan menyusuri anak sungai, melewati pohon-pohon mapel merah, ek, dan pinus yang bermandikan kemilau cahaya matahari. Saat itu musim gugur, dan perubahan warna dedaunan dan udara yang sejuk menarik sejumlah besar pengungsi dari kota ke hutan.

Sejenak kemudian kami menjumpai empat puluh orang pemadam kebakaran berusia separuh baya yang telah didiagnosis dengan gangguan stres pascatrauma. Mereka adalah bagian dari program tiga hari gratis, yaitu menghabiskan pagi dengan berjalan kaki, mempraktikkan yoga berpasangan, mengoleskan minyak lavender ke lengan satu sama lain, dan membuat kolase bunga kering yang cantik. Salah seorang dari mereka adalah Kang Byoung-wook, pria 46 tahun berpengalaman dari Seoul. Baru-baru ini  dia kembali dari kebakaran besar di Filipina, dan terlihat letih. “Kehidupan ini membuat stres,” katanya. “Saya ingin tinggal di sini sebulan.”

Saneum adalah satu dari tiga hutan pengobatan resmi di Korea Selatan, namun terdapat 34 hutan lainnya yang telah direncanakan untuk dibuka pada 2017, sehingga kebanyakan kota besar akan berdekatan dengan salah satunya. Chungbuk University menawarkan jurusan “pengobatan hutan,” dengan prospek pekerjaan bagus bagi lulusannya; Korea Forest Service memperkirakan 500 penjaga kesehatan akan dipekerjakan dalam beberapa tahun mendatang. Program-programnya mencakup berbagai hal mulai dari meditasi prenatal di hutan, mengukir kayu bagi pasien kanker, hingga penguburan di dalam hutan. Program “kereta gembira” dari pemerintah membawa anak-anak korban perundungan untuk pergi ke hutan dan berkemah selama dua hari. Kompleks pengobatan senilai seratus juta dolar tengah dibangun di dekat Taman Nasional Sobaeksan.

Di kota industri baru Deajun, saya mengunjungi menteri kehutanan, Shin Won Sop, ilmuwan sosial yang pernah meneliti efek terapi hutan bagi pecandu alkohol. Kesehatan manusia, ujarnya, adalah tujuan formal baru rencana hutan negara. Jumlah pengunjung hutan-hutan Korea meningkat dari 9,4 juta pada 2010 menjadi 12,8 juta pada 2013.

“Area kesehatan adalah buah hutan saat ini,” ujar Shin. Data yang dimiliki oleh agennya menyebutkan bahwa pengobatan hutan menurunkan biaya medis dan memberikan keuntungan bagi perekonomian setempat. Hal yang masih diperlukan, ujarnya, adalah data yang lebih baik terkait penyakit spesifik dan kualitas alam yang menghasilkan perbedaan. “Apakah faktor utama dari hutan yang paling bermanfaat secara fisiologi, dan hutan jenis apakah yang paling efektif?” tanya Shin.

Otak kota saya sendiri,  sepertinya sangat menyukai alam liar Utah. Dalam perjalanan kemah David Strayer, kami berjalan di antara kaktus pir berbunga; pada malam hari, kami duduk mengelilingi api unggun. Para mahasiswa Strayer tampak lebih santai dan ramah daripada ketika di kelas, katanya, dan mereka jauh lebih baik saat melakukan presentasi. Apakah yang terjadi di dalam otak saya dan mereka?

Berbagai macam hal, dilihat dari hasil riset neurosains yang mulai berkembang. Para peneliti Korea menggunakan MRI fungsional untuk melihat aktivitas otak orang-orang yang mengamati gambar-gambar berlainan. Ketika para relawan melihat pemandangan kota, otak mereka menunjukkan peningkatan aliran darah di amigdala, yang memproses rasa takut dan kecemasan. Kebalikannya, pemandangan alam mengaktifkan anterior singulat dan insula—area yang berasosiasi dengan empati dan altruisme. Mungkin saja alam menjadikan kita lebih baik dan lebih tenang.

Mungkin alam juga membuat kita bertingkah lebih baik kepada diri kita sendiri. Peneliti Stanford Greg Bratman dan para koleganya memindai otak 38 relawan sebelum dan sesudah mereka berjalan kaki selama 90 menit, entah di taman yang luas atau jalan yang ramai di pusat kota Palo Alto. Para pejalan kaki alam, bukan pejalan kaki kota, menunjukkan penurunan aktivitas di korteks subgenual prefrontal—bagian dari otak yang dikaitkan dengan pikiran berulang yang depresif—dan dari laporan mereka sendiri, para pejalan kaki alam lebih pemaaf kepada diri mereka sendiri. Bratman percaya bahwa berada di lingkungan terbuka yang menyenangkan menyingkirkan berbagai keresahan kita. Alam, menurutnya, bisa memengaruhi “bagaimana Anda mengalokasikan perhatian Anda dan apakah Anda berfokus pada emosi negatif atau tidak.”

Strayer paling tertarik pada bagaimana alam memengaruhi pemecahan masalah yang lebih kompleks. Risetnya didasarkan pada teori pemulihan perhatian yang diketengahkan oleh psikolog lingkungan Stephen dan Rachel Kaplan dari University of Michigan. Mereka berpendapat bahwa unsur-unsur visual di lingkungan alami—seperti matahari terbenam, sungai, kupu-kupu—mengurangi stres dan keletihan mental. Menarik namun tidak terlalu menuntut, rangsangan semacam itu menghasilkan fokus lembut, yang memungkinkan otak kita berkelana, beristirahat, dan pulih dari apa yang oleh Olmsted disebut “iritasi saraf” kehidupan perkotaan. Manfaat ini sepertinya akan terbawa ketika kita kembali ke dalam ruangan.

“Bayangkanlah sebuah terapi yang tidak memiliki efek samping, selalu tersedia, dan bisa memperbaiki fungsi kognitif Anda secara cuma-cuma,” tulis para peneliti. Hal itu ada, lanjut mereka, dan disebut “berinteraksi dengan alam.”

Beberapa bulan setelah perjalanan Utah kami, tim Strayer mengirimkan hasil tes EEG saya. Grafik berwarna-warni itu menjabarkan kekuatan gelombang otak saya dalam serangkaian frekuensi dan membandingkannya dengan sampel dari dua kelompok yang berada di kota. Sinyal teta saya memang lebih rendah daripada mereka; daya tarik lembut Sungai San Juan rupanya berhasil menenangkan korteks prefrontal saya, setidaknya untuk sementara.

Sejauh ini, menurut Strayer, hasil itu konsisten dengan hipotesisnya. Tetapi walaupun hasil penelitian mendukungnya, tetap tidak ada penjelasan menyeluruh mengenai pengalaman otak saat berada di alam. Kesan misterius tetaplah ada, kata Strayer, dan itu mungkin sudah semestinya. “Pada akhirnya,” ujarnya, “kita keluar ke alam bukan karena menurut sains ini memiliki dampak bagus bagi kita. Melainkan, karena perasaan yang ditimbulkan oleh alam kepada kita.”