Berkubang Bangkai

By , Kamis, 24 Desember 2015 | 22:45 WIB

 Petang itu seekor gnu mendekati ajalnya: Entah sakit atau cedera, hewan itu terpisah jauh dari kawanannya di Dataran Serengeti Tanzania. Saat matahari terbit, hewan sebatang kara itu sudah mati, dikerubungi burung nasar yang berjejalan, 40 ekor atau lebih berebut mendapatkan bagian dari jasad duniawinya. Beberapa burung bangkai menunggu giliran dengan sabar, sambil mengawasi mangsanya. Namun, kebanyakan riuh bersabung bak gladiator. Dengan cakar terbuka, hewan ini bangkit, saling mencakar, menubruk, dan melakukan gerak tipuan. Saling menerkam, lalu menunggangi lawannya yang berusaha bangkit dan menjatuhkannya. Kerumunan cokelat hitam itu bergantian maju mundur, leher naik turun, paruh mematuk, dan sayap mengepak-ngepak. Dari udara, pengunjung baru berdatangan, kepala menunduk, lalu terpantul dan tersandung saat bergegas bergabung dengan kerubungan.

Buat apa berebut sedemikian hebohnya, padahal bangkainya sangat besar? Karena gnu ini berkulit alot dan tidak dibunuh oleh karnivora, di jasadnya tidak tersedia cukup lubang untuk disantap bersama-sama. Jadi, nasar yang paling berani bersaing mati-matian untuk mendapatkan akses. Sementara kerumunan itu berkaok-kaok, seekor nasar afrika memasukkan kepalanya ke dalam rongga mata gnu dan buru-buru menyeruput dengan lidahnya yang bergerigi. Nasar afrika lainnya memasukkan kepala ke lubang hidung sementara nasar rüppell merambah lubang lainnya. Kepalanya masuk ke anus gnu sebelum burung lain menggebahnya dan ganti menjulurkan kepalanya hingga ke usus. Dan demikianlah seterusnya—40 burung berebut lima lubang seukuran bola bekel.

Akhirnya, dua nasar nubia turun tangan. Hewan menakjubkan ini tingginya lebih dari satu meter, dengan rentang sayap hampir tiga meter. Mukanya merah muda, paruhnya besar dan sangat melengkung, sementara lehernya yang kuat berhias kulit kisut jambon dan kerah bulu cokelat. Sementara yang satunya melubangi kulit pukang gnu, yang lainnya menjelajahi lubang hidung, mencari bernga lalat bot yang lezat. Kini nasar afrika memasukkan kepalanya ke dalam tenggorokan gnu dan mencabut trakea sepanjang 20 sentimeter, bergelang-gelang seperti selang vakum. Sayangnya sebelum burung itu dapat menikmatinya, bangau marabou setinggi 1,2 meter yang mengintai dari tadi menyambar tenggorokan itu, melemparkannya ke udara untuk menangkap ujungnya, lalu menelannya bulat-bulat. Berkat upaya nasar nubia, yang lebih menyukai urat daripada daging, bangkai gnu itu sekarang menganga. Kepala mengibaskan darah dan lendir ke udara; jeroan menetes dari paruh burung bangkai.

Semakin susut bangkai gnu itu, semakin besar pula lingkaran burung kenyang yang berkumpul di rumput pendek di sekitarnya. Dengan tembolok menggembung, burung nasar meletakkan kepalanya di atas sayap yang terlipat dan menutup membran pengelipnya. Tidak ada lagi keributan, tidak ada lagi kemarahan.

burung bangkai mungkin burung yang paling sering dinista di planet ini, contoh nyata kerakusan dan keserakahan. Dalam buku harian-nya selama pelayaran H.M.S. Beagle pada 1835, Charles Darwin menyebut burung ini “menjijikkan”, dengan kepala botak “khusus untuk berkubang kebusukan”. Burung ini dianggap memiliki gaya hidup yang kotor: kemampuannya untuk memun-tahkan seluruh isi perutnya ketika terancam, agar dapat terbang dengan cepat.

Menjijikkan? Mungkin. Namun, burung  bangkai juga punya banyak sisi yang baik. Hewan ini jarang membunuh hewan lainnya, biasanya setia pada pasangannya, dan keduanya membesarkan anak bersama-sama, serta bersantai dan mandi beramai-ramai dengan riang gembira. Yang terpenting, hewan ini memiliki fungsi vital dalam ekosistem yang sangat sering disepelekan: membersihkan dan mendaur ulang bangkai hewan secara cepat. Berdasarkan salah satu perkiraan, burung bangkai baik yang hidup dalam ekosistem Serengeti maupun yang hanya datang selama ruaya tahunan—ketika 1,3 juta gnu jenggot putih bolak-balik antara Kenya dan Tanzania—memakan lebih banyak daging daripada gabungan semua karnivora mamalia di Serengeti. Dan burung ini melakukannya dengan cepat. Seekor nasar dapat melahap sekitar satu kilogram daging dalam satu menit; kerumunan yang cukup besar dapat meludeskan zebra—dari hidung sampai ekor—dalam 30 menit. Tanpa burung nasar, bangkai busuk akan bertahan lebih lama, populasi serangga meledak, dan penyakit pun menyebar.

Sayangnya pengaturan cemerlang ini, tidak kebal terhadap perubahan. Bahkan, di beberapa daerah penting hal ini terancam hilang. Di Afrika, salah satu dari sebelas spesies nasarnya telah punah—hering hitam eurasia—sementara tujuh lainnya tergolong kritis atau genting. Sebagian, seperti nasar nubia, terutama ditemukan di kawasan lindung, sementara populasi regional nasar mesir dan nasar berjanggut hampir punah. Nasar dan burung pemakan bangkai lainnya, menurut Darcy Ogada, asisten direktur program Afrika Peregrine Fund, “merupakan kelompok fungsional burung yang paling terancam di dunia”.

Pada suatu hari yang cerah di bulan Maret Ogada bersama rekannya Munir Virani datang ke wilayah Masai Mara di Kenya. Penggembalaan ternak ternyata berperan penting dalam hidup burung pemakan bangkai. Virani menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir suku Maasai menyewakan lahan mereka, yang mengelilingi bagian utara Suaka Margasatwa Masai Mara, kepada upaya konservasi yang didirikan untuk melindungi margasatwa dengan cara menjauhkan penggembala dan ternaknya. Beberapa orang Maasai menyatakan bahwa u-paya konservasi ini membuat lebih banyak si-nga dan karnivora lainnya datang ke wilayah itu. Sementara populasi gnu dan hewan berkuku belah lainnya dalam ekosistem Mara menghadapi ancaman dari perburuan liar, kemarau panjang, dan sabana yang menjadi lahan pertanian atau permukiman. Ini saja pasti berdampak buruk bagi burung nasar, tetapi ada yang lebih buruk.

Virani menanyai setiap orang Maasai yang kami jumpai: Apakah ada ternak Anda yang dibunuh predator baru-baru ini? Jawabannya selalu, “Ya, dan tetangga saya juga.” Biasanya singa menyerang pada malam hari, ketika sapi dikurung di dalam boma—kubu yang dikeli-lingi de-ngan semak berduri. Singa mengaum, sapi yang ketakutan berlari, menerjang gerbang boma, dan berpencaran. Orang Maasai pun melakukan pembalasan: Mereka mengambil sisa buruan singa, lalu menaburinya dengan racun Furadan generik, pestisida aksi cepat yang murah dan dijual secara gelap. Singa datang kembali untuk makan, kemungkinan besar membawa keluarganya, dan seluruh kawanan itu pun tewas. Tidak terhindarkan burung nasar juga ikut mengunjungi bangkai ternak itu, atau malah makan singa yang mati keracunan. Apa pun vektornya, burung tersebut, yang biasa makan berombongan hingga lebih dari seratus ekor, juga mati semuanya.

Sulit untuk percaya bahwa beberapa butir senyawa yang dirancang untuk membunuh cacing dan invertebrata lainnya itu dapat membunuh binatang yang asam lambungnya mampu membunuh rabies, kolera, dan antraks. Sebetulnya, Furadan memang luput dari perhatian Ogada sampai 2007, ketika dia mulai menerima email dari rekannya tentang singa yang mati keracunan. “Ini mengagetkan,” katanya. Pariwisata merupakan sumber pendapatan asing terbesar kedua di Kenya, dan singa menjadi daya tarik utama negara itu. Pada 2008 ilmuwan dan perwakilan kelompok konservasi dan instansi pemerintah berkumpul di Nairobi untuk berbagi informasi tentang keracunan dan merencanakan penanggulangannya. “Banyak yang terperangah,” kenang Ogada. “Masalahnya jauh lebih besar daripada yang kami ketahui dalam lingkup lokal.”

Setelah Ogada dan pihak lainnya meneliti masalah ini, mereka memperkirakan bahwa keracunan menyebabkan 61 persen kematian burung pemakan bangkai di seluruh Afrika. Ancaman antropogenik diperparah oleh biologi reproduksi nasar: Burung ini baru mencapai kematangan seksual pada usia 5-7 tahun, hanya bertelur sekali setiap satu atau dua tahun, dan 90 persen mati muda sebelum genap berusia setahun. Selama setengah abad berikutnya jumlah nasar di benua ini diperkirakan berkurang 70 sampai 97 persen.

!break!

Walaupun situasi di Afrika terlihat parah, ternyata ada yang lebih parah. Di India populasi burung bangkai yang paling umum—nasar benggala, nasar paruh panjang, dan nasar paruh ramping—berkurang lebih dari 96 persen hanya dalam satu dasawarsa. Pada 2003 para peneliti Peregrine Fund secara definitif mengaitkan bangkai burung itu dengan sapi yang diobati dengan obat anti-inflamasi yang bernama diklofenak. Obat ini awalnya digunakan untuk mengobati radang sendi dan nyeri lainnya pada manusia, kemudian disetujui untuk digunakan pada hewan tahun 1993. Pada burung bangkai, diklofenak menyebabkan gagal ginjal. 

Kematian besar-besaran di India juga menarik banyak perhatian karena efek ikutannya begitu mengejutkan. Populasi sapi di India merupakan salah satu yang terbesar di dunia, sementara kebanyakan orang India tidak makan daging sapi. Setelah jutaan burung nasar mati keracunan, bangkai sapi mulai menumpuk. Kemudian populasi anjing—tidak lagi harus berebut bangkai dengan burung nasar—melonjak 7 juta, menjadi 29 juta ekor, dalam periode 11 tahun. Akibatnya: diperkirakan terjadi kenaikan 38,5 juta gigitan anjing. Populasi tikus melonjak. Kematian akibat rabies meningkat hampir 50.000 jiwa, yang membebani masyarakat India total sekitar 460 triliun rupiah untuk biaya mengurus jenazah, pengobatan, dan kehilangan upah. Masyarakat Parsi India di Mumbai memiliki kekhawatiran lain. Jenazah yang biasa mereka letakkan di panggung batu untuk “pemakaman langit”—tempat burung nasar membebaskan jiwa orang mati sehingga dapat mencapai surga—perlu berbulan-bulan lebih lama sampai habis berkecai, karena tidak ada burung nasar yang memakannya.