Berkubang Bangkai

By , Kamis, 24 Desember 2015 | 22:45 WIB

Setelah peneliti membuktikan bahwa diklofenak menjadi penyebab kematian burung nasar secara besar-besaran, pada 2006 penggunaan obat itu untuk hewan dilarang di India, Pakistan, dan Nepal. Banglades menyusul pada 2010, dan pada pertengahan Juni 2015, sebuah koalisi kelompok konservasi mendesak Komisi Eropa untuk melarang penggunaan obat ini pada hewan. Sejauh ini belum ada keputusan dari komisi tersebut. Bersama dengan program penangkaran dan “restoran” nasar, yang menyediakan daging aman dari peternakan atau penjagalan bagi burung liar, kampanye ini mulai membuahkan hasil. Sembilan tahun kemudian, penurunan burung nasar di India melambat, dan di beberapa daerah jumlahnya bahkan mulai meningkat.

Ogada tidak yakin Afrika mampu mengikuti langkah India dalam menanggapi krisis burung nasar. “Tidak banyak tindakan pemerintah untuk melestarikan burung bangkai di Kenya,” katanya, “dan tidak ada kemauan politik untuk membatasi penggunaan karbofuran,” golongan senyawa yang mencakup Furadan.

Pada Juli 2012, 191 burung nasar mati setelah menyantap gajah yang mati diburu lalu ditaburi racun di taman nasional Zimbabwe. Setahun kemudian sekitar 500 burung bangkai tewas setelah makan gajah yang diberi racun di Namibia. Mengapa pemburu gading, meracuni burung nasar? “Karena apabila hewan ini terbang berbega di atas gajah atau badak yang mati, maka kegiatan mereka akan diketahui oleh jagawana,” kata Ogada. Pemburu gading bertanggung jawab atas sepertiga masalah keracunan burung nasar di Afrika Timur.

Ada juga budaya masyarakat yang berdampak negatif pada populasi nasar. Menurut André Botha, salah satu ketua kelompok spesialis burung nasar di International Union for Conservation of Nature, banyak burung yang ditemukan di sekitar bangkai hewan buruan yang hilang kepala dan kakinya—bukti bahwa bagian tubuhnya dijual untuk muti, atau obat tradisional. Di Afrika Selatan orang dapat dengan mudah membeli bagian tubuh satwa yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit atau memberi kekuatan, kecepatan, dan stamina. Otak nasar yang dikeringkan juga populer: Bila dicampur dengan lumpur dan diisap seperti rokok, kabarnya dapat menghubungi makhluk dari alam lain.

Namun, ancaman eksistensial terbesar bagi  nasar di Afrika tetaplah meluasnya ketersediaan dan penggunaan racun. FMC, pembuat Furadan yang berkantor pusat di Philadelphia, mulai menarik kembali senyawa itu dari saluran distribusi di Kenya, Uganda, dan Tanzania setelah siaran acara 60 Minutes mengenai keracunan singa tahun 2009. Akan tetapi, senyawa itu dalam bentuk generiknya tetap ada. Pertanian merupakan industri terbesar kedua di Kenya, dan negara ini sudah lama menggunakan racun untuk membasmi wabah penyakit dan hama. Siapa saja bisa datang ke toko pertanian-dan-peternakan di Kenya dan, dengan dua puluh ribu rupiah, dapat membeli pestisida yang sangat beracun secara bebas. Sampai kini, belum ada satu pun peracun burung nasar yang dituntut pemerintah.

Setelah sehari penuh berbicara dengan para penggembala suku Maasai, Virani dan Ogada tidak sabar menunggu matahari tenggelam, untuk menyaksikan pengoperasian sakelar listrik. Pada petang itu, Virani memarkir jipnya di luar sebuah kompleks yang menjadi perlintasan margasatwa, di antara Konservasi Mara Naboisho di timur dan Suaka Margasatwa Masai Mara di barat. Virani memandang ke arah boma dan, ketika selusin bola lampu yang digantungkan di tiang pagar menyala, dia pun tersenyum lebar.

Operator safari balon, yang mengudara sebelum fajar, mengeluhkan polusi cahaya. Namun, bagi Virani, lampu berkedip yang tersambung ke baterai surya ini merupakan keajaiban kecil. Inilah cara teraman dan termurah untuk menjauhkan predator dari kandang ternak dan menghentikan pembalasan racun.

Saat surya terbit di Serengeti, sekitar 250 kilometer di selatan Masai Mara, tiga dubuk dewasa sedang membenamkan kepala menggegares bangkai gnu lainnya. Sesekali unggas penonton yang berkerubung di sekitarnya maju ke panggung, tetapi diusir oleh para aktor utama yang mengangkat dagu dan mengerutkan bibir hitamnya. Burung nasar memahami peringatan itu. Pemangsa kaki empat dan kaki dua itu tampak saling menghormati: Dubuk mengandalkan burung nasar untuk mencari bangkai, dan nasar mengandalkan dubuk untuk merobek bangkai dengan cepat.

Akhirnya kawanan dubuk itu pun kenyang dan mundur, kini saatnya burung beraksi. Bangkai itu terguncang-guncang saat puluhan burung nasar merobek, menyeruput, membongkar, dan menarik. Tiba-tiba nasar nubia turun dari langit, lalu beradu kepala dengan dua nasar nubia lainnya yang hanya menonton di pinggiran. Sang agresor berputar, merendahkan kepalanya, lalu membentangkan sayapnya yang sangat besar, kemudian mengangkangi gnu tersebut. “Hewan ini sangat menghibur,” kata Simon Thomsett, ahli burung bangkai yang bekerja di Museum Nasional Kenya. “Kita pasti tidak tahan mengawasi singa selama ini.”

Jam demi jam berlalu, para pemain berda-rah datang dan pergi: dubuk, jakal, bangau, elang pemakan bangkai, dan empat spesies burung nasar. Thomsett dan Ogada, mencurahkan ba-nyak waktu untuk memikirkan apa yang terjadi apabila burung bangkai menghilang dari ekosistem ini. Berdasarkan percobaan lapangan, Ogada me-nemukan bahwa apabila tidak ada burung nasar, bangkai perlu waktu hampir tiga kali lebih lama untuk terurai, jumlah mamalia yang mengunjungi bangkai itu menjadi tiga kali lipat, dan jumlah waktu hewan tersebut bersama bangkai juga hampir berlipat tiga.

Mengapa data ini penting? Karena semakin lama jakal, macan tutul, singa, dubuk, genet, cerpelai, dan anjing berinteraksi di sekitar bangkai, semakin besar kemungkinan penyebaran patogen—yang mati dalam lambung burung nasar—ke hewan lain, baik liar maupun peliharaan. Dengan makan plasenta gnu, kata Thomsett, burung bangkai juga mencegah sapi tertular radang selaput lendir yang ganas, sejenis virus herpes yang sering berakibat fatal. Dan dengan mengganyang bangkai hingga tinggal tulang dalam beberapa jam, burung ini membatasi populasi serangga, yang terkait dengan penyakit mata pada manusia dan hewan ternak. Para ilmuwan yakin bahwa hilangnya burung ini dapat menyebabkan bencana ekologi dan ekonomi.

Meskipun keracunan merupakan penyebab langsung penurunan burung pemakan bangkai Afrika, Thomsett yang blak-blakan menekankan akar penyebabnya: terlalu banyak manusia. Pada 2050, penduduk Kenya diperkirakan akan mencapai 81 juta, dari 44 juta jiwa saat ini. Thomsett menambah daftar ancaman antropogenik terhadap burung nasar Kenya. Petani menanam jagung dan gandum di sekitar kawasan lindung untuk memberi makan populasi yang terus bertambah, katanya. Semakin sedikit padang rumput berarti kian sedikit pula hewan berkuku belah yang dapat dimangsa burung nasar. Pemerintah belum mampu menghentikan pengeboran sumur panas bumi yang berjarak 300 meter dari tempat bertelur nasar rüppell yang terancam punah. Burung nasar juga tewas karena menabrak kabel listrik tegangan tinggi.

Pada Desember 2013 Kenya mengesahkan undang-undang yang menetapkan denda hingga 20 juta shilling (2,6 miliar rupiah) atau hukuman penjara seumur hidup kepada siapa pun yang terlibat pembunuhan spesies yang terancam punah. Dan kabarnya Dinas Margasatwa Kenya sedang merencanakan kampanye untuk mengubah persepsi publik mengenai burung nasar. Namun, Ogada dan Thomsett sepakat bahwa kampanye tersebut jauh dari cukup.

Thomsett terus mengamati burung nasar berkubang dalam kebusukan bangkai gnu. Pada hari-hari selanjutnya, setiap bagian kulit dan otot yang tersisa akan dihancurkan oleh cuaca, serangga, jamur, dan mikroba. Tulangnya yang besar dapat bertahan bertahun-tahun. Sementara itu material kehidupan lainnya kembali berputar di alam—ke dalam tanah, pada tumbuhan, dan pada setiap nasar perkasa yang memangsa hewan berkuku belah yang berlimpah ini.