Proyek ini gagal total. Sungguh konyol, perusahaan itu membuat perkebunan karet hampir seluas Pulau Bali tanpa berkonsultasi dengan seorang pun yang tahu cara menanam H. brasiliensis. Pertama, lahan itu tidak cocok untuk budidaya karet skala besar. Tanahnya terlalu berpasir dan curah hujannya terlalu musiman. Jika ada ahli botani di tempat itu, Ford mungkin mengetahui alasan pohon karet tidak pernah ditemukan tumbuh berdekatan di alam liar: Pohon karet sangat rentan terhadap serangan hawar daun Amerika Selatan.
Microcyclus ulei, demikian ahli biologi menyebutnya, memandang pohon karet seperti pasukan semut melihat katak: sebagai mangsa. Jamur ini “tidak membunuh pohon secara langsung,” tulis sejarawan Greg Grandin dalam bukunya Fordlândia. Sporanya merasuk ke dalam daun, menyerap zat haranya sampai daun itu gugur. Ketika daun tumbuh kembali, jamur menyerang lagi; sehingga pohon tersebut, tulis Grandin, “kian lama kian lemah, tunas yang tumbuh kerdil atau mati.”
Pertempuran itu berlangsung diam-diam, berkepanjangan, dan bagi pohon, hampir selalu berakibat fatal. Di alam liar spora Microcyclus ulei tidak dapat menyebar dengan mudah dari satu pohon karet ke pohon lainnya karena biasanya terpisah jauh di hutan. Di perkebunan, pohon ditanam berdekatan, seperti hidangan prasmanan, sehingga jamur berpindah dengan mudah, dari satu mangsa ke mangsa berikutnya. Jadi, ketika membuat perkebunan karet, Ford sebetulnya sedang menggelontorkan banyak uang untuk membuat inkubator jamur raksasa.
Pada 1935 terjadilah hal yang tak terelakkan. Pohon karet Fordlândia habis daunnya hanya dalam beberapa bulan—bencana ekologi, kehancuran ekonomi. Sepuluh tahun kemudian Ford diam-diam menjual lahan itu hanya sepersekian harga belinya. Dalam tujuh dekade setelahnya, setiap usaha untuk membuat perkebunan karet di Amerika Selatan atau Tengah selalu kandas. Jamur selalu menang.
!break!
Saat berkendara ke pinggiran So Phisai, Thailand, bau udaranya seperti salon perawatan kuku. Bau itu berasal dari asam format, bahan kimia yang digunakan untuk menggumpalkan getah karet. Di sini, bau itu identik dengan uang.
Banyak orang di So Phisai yang ingin menjadi seperti Sommai Kaewmanee. Pada 1992 anak pekerja migran yang tidak memiliki lahan ini meminjam uang untuk menanam pohon karet pertama di wilayah itu. Pada saat itu, menurut penuturannya kepada saya, semua orang di So Phisai menanam singkong, hasilnya hanya pas-pasan buat makan. Anak muda harus pindah ke Bangkok untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Kaewmanee meminjam uang untuk menanam sekitar 1.500 pohon di lahan seluas tiga hektare dan mengajak tiga petani lain.
Selama kunjungan saya, Kaewmanee menunjukkan catatan keuangan usahanya yang terus berkembang. Jika angka-angka itu dijadikan grafik, akan terlihat mirip tren penjualan mobil global: ada naik-turunnya, tetapi trennya jelas meningkat. Dari hasil kebun karetnya, dia bisa mengumpulkan uang untuk membeli rumah baru dan mobil gardan ganda mentereng serta gawai elektronik portabel yang dimainkan anak-anaknya sepulang sekolah. Kaewmanee menjadi pengawas pertanian untuk kecamatannya, tempat 90 persen petani menanam H. brasiliensis. Dia sekarang memiliki sekitar 75.000 pohon. Pembibitannya menjual satu juta bibit per tahun. Hutan masih banyak di sekitar So Phisai, siap diubah menjadi ban.
Kaewmanee tidak tahu bahwa dia bisa membeli rumah dan mobil karena jasa para ilmuwan Tiongkok. Ketika pertama kali masuk ke Asia Tenggara, karet hanya bisa tumbuh di hutan Khatulistiwa yang hangat dan basah di wilayah yang kini menjadi Indonesia, Malaysia, ujung selatan Thailand, Kamboja, Vietnam, serta Myanmar—tempat-tempat yang mirip dengan asal karet di Amazon.
Selama Perang Korea, Amerika Serikat menjatuhkan sanksi larangan ekspor karet ke Tiongkok. Tiongkok yang murka lalu mengembangkan varietas H. brasiliensis yang bisa tumbuh di distrik Xishuangbanna yang relatif dingin di Provinsi Yunnan, di perbatasan dengan Laos dan Myanmar. Xishuangbanna hanya mencakup 0,2 persen dari luas daratan Tiongkok, tetapi dihuni oleh banyak spesies Tiongkok: 16 persen tumbuhannya, 22 persen hewannya, serta 36 persen burungnya. Kini semua terancam oleh karet. Berbekal pohon baru yang tahan dingin itu, tentara Tiongkok mendirikan perkebunan negara di sana. Petani kecil kemudian menanami sebagian besar lahan yang tersisa. Sekarang saat berdiri di puncak bukit di Xishuangbanna, akan terlihat jajaran pohon karet sejauh mata memandang.
Untuk membuat satu ban saja, umumnya diperlukan getah sadapan dari empat pohon selama sebulan. Xishuangbanna tidak cukup luas untuk memenuhi permintaan Asia. Karet H. brasiliensis—yang digalakkan dengan program nasional dan dibutuhkan oleh perusahaan Tiongkok—menyebar ke Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam bagaikan perluasan kawasan permukiman, mengubah hutan alami sepetak demi sepetak. Produksi karet alami global melonjak dari hampir 4 juta ton pada 1983 hingga hampir 12 juta ton saat ini.
Untuk menghasilkan karet tambahan tersebut, petani Asia Tenggara membuka sekitar 46.600 kilometer persegi, area seluas Sulawesi Selatan. Dan angka itu belum termasuk hutan yang ditebang untuk fasilitas pengolahan baru, perumahan baru yang dibangun di hutan untuk pekerja karet baru, atau jalan yang dibuat untuk menuju perkebunan baru.