Meraup Rezeki Getah

By , Kamis, 24 Desember 2015 | 22:45 WIB

Hari cerah, seluruh Thailand utara semarak di bawah sinar matahari musim semi. Ia pun mengendarai Isuzu barunya ke sungai yang membelah desanya, Tung Nha Noi. Sapi dan manusia lewat melintas, sementara dia, pemuda berusia 21 tahun dengan mobil keren, berdiri di tengah sungai sambil menyeka kendaraan dengan spons sampai bersih hingga berkilap.

Sampai baru-baru ini, nyaris mustahil bagi orang seperti Piyawot Anurakbranpot—dipanggil “Chin” oleh teman-temannya—untuk memiliki mobil mewah di usia semuda ini. Mana mungkin penduduk desa terpencil seperti Tung Nha Noi punya uangnya. Namun, baru-baru ini orang seperti keluarga Chin menjadi jauh lebih sejahtera. Alasannya terlihat di perbukitan di belakangnya. Sepuluh tahun yang lalu bukit tersebut masih berselimut hutan tropis lebat—penuh dengan berbagai tumbuhan asli. Sekarang sebagian besar lerengnya dibabat habis dan ditanami kembali dengan satu spesies: Hevea brasiliensis, pohon karet Pará. Setiap malam keluarga Chin dan puluhan ribu keluarga lainnya di Asia Tenggara pergi ke kebun dan menyadap pohon karet mereka. Lateks putih kental menetes ke dalam mangkuk. Getah itu digumpalkan lalu dipres menjadi lembaran dan diangkut ke pabrik, tempat bahan ini diproses menjadi cincin perapat, sabuk mesin, gasket, isolasi, dan ban—dalam jumlah yang sangat banyak. Sekitar tiga perempat hasil karet dunia digunakan untuk membuat ban mobil, truk, dan pesawat—hampir dua miliar per tahun.

Karet memainkan peran yang penting tapi jarang diketahui, dalam sejarah politik dan lingkungan global selama lebih dari 150 tahun. Anda ingin revolusi industri? Jika demikian, harus ada tiga bahan baku: besi, untuk membuat baja untuk mesin; bahan bakar fosil, untuk menggerakkan mesin itu; serta karet, untuk menghubungkan dan melindungi semua komponen yang bergerak. Coba saja jalankan mobil tanpa sabuk kipas atau slang radiator; semenit kemudian, bencana. Mau mencoba mengalirkan fluida pendingin ke mesin lewat tabung logam kaku alih-alih slang karet yang fleksibel? Ajaib kalau tak hancur karena vibrasi.

Bahkan, kalaupun ada yang terpikir soal karet, biasanya yang dibayangkannya adalah produk yang dibuat dari bahan kimia sintetis. Padahal, lebih dari 40 persen karet dunia berasal dari pohon karet, sebagian besar dari spesies H. brasiliensis. Dibandingkan dengan karet alam, karet sintetis umumnya dapat dibuat lebih murah, tetapi kurang kuat, kurang elastis, dan kurang mampu menahan getaran. Untuk benda yang benar-benar tidak boleh rusak saat digunakan, seperti kondom dan sarung tangan dokter bedah hingga ban pesawat, karet alam telah lama menjadi pilihan utama.

Namun, karet saat ini tumbuh hampir secara eksklusif di Asia Tenggara, karena wilayah ini memiliki paduan unik iklim dan prasarana yang sesuai. Meskipun ekonomi global mengalami pasang surut, permintaan ban terus meningkat, menciptakan keadaan yang mirip dengan demam emas di Asia Tenggara. Bagi jutaan orang di kawasan miskin dunia ini, masa keemasan karet menjadi peluang menuju kesejahteraan;.Karet ikut mengakhiri isolasi daerah ini. “Jalan raya karet” yang anyar kini menghubungkan perkebunan di Asia Tenggara yang dahulu terpencil ke pabrik ban di Tiongkok utara.

Namun perdagangan karet tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi. Orang-orang seperti Chin ini, yang banyak jumlahnya di Asia Tenggara, menyebabkan hal yang disebut Jefferson Fox dari East-West Center di Hawaii sebagai “salah satu transformasi ekologi yang tercepat dan terbesar dalam sejarah manusia.” Di Tiongkok, Vietnam, Laos, Thailand, Kamboja, dan Myanmar petani karet membabat atau membakar hutan lalu menanam berbaris-baris karet H. brasiliensis. Akibatnya, mereka mengubah salah satu ekosistem dunia yang paling beragam menjadi perkebunan monokultur, berpotensi mengancam fungsi ekologi dasar kawasan yang dihuni puluhan juta orang itu. Setiap ban di mobil Chin—satu di setiap roda ditambah ban serep—setara dengan sepetak kecil hutan tropis yang dibabat dan dipres menjadi cincin hitam berkilat. Demikian pula setiap ban pada mobil saya dan mobil Anda.

Perkebunan monokultur sangat produktif—juga rentan. Tanya saja Henry Ford. Ford memiliki tambang besi dan batu bara, membangun pembangkit listrik sendiri, menebang lahan hutannya sendiri. Kompleks pabrik River Rougenya di Dearborn, Michigan, memiliki pelabuhan laut, pengecoran baja (terbesar di dunia pada saat itu), dan lebih dari 150 kilometer rel kereta api di dalamnya. Setiap jenis bahan yang diperlukan untuk memproduksi mobil dibuat di River Rouge kecuali satu: karet. Pada 1927 Ford membeli 10.400 kilometer persegi lahan di daerah aliran sungai Amazon, tempat asal H. brasiliensis.

Masyarakat Indian berabad-abad meng-gunakan karet untuk menjadikan pakaian kedap air dan membuat sepatu karet kasar. Pada awal abad ke-19 orang Amerika Utara membeli karet dari tetangga mereka di selatan untuk membuat sepatu dan mantel sendiri. Sayangnya, produk karet awal ini meleleh pada musim panas dan kehilangan kelenturannya saat cuaca dingin. Pada 1840-an, setelah penemu amatir dari AS Charles Goodyear menemukan cara untuk menstabilkan karet, barulah pemakaiannya meluas. Penemuan Goodyear itu disebut vulkanisasi. Ini merintis jalan bagi banyak penemuan setelahnya.

Begitu mengetahui bahwa status karet berubah dari benda aneh menjadi komoditas yang berharga, penjelajah berbondong-bondong menuju hutan Amazon untuk mencari pohon yang menghasilkan getah itu. Kota baru bermunculan, Manaus yang paling luar biasa. Di kota di tengah hutan rimba Brasilia ini, bangsawan karet berlomba membuat gedung megah, dan membangun gedung opera dengan menggunakan marmer yang diimpor dari Italia.

Negara Eropa dan Amerika Utara tidak suka bergantung pada komoditas yang dikendalikan oleh bangsa yang berada di luar kendali politik mereka. Jadi, pejabat Kew Gardens Inggris mencari orang yang mau dibayar untuk menyelundupkan bibit karet dari Amazon. Di sinilah peran Henry Alexander Wickham, orang yang dibenci di Brasilia sampai sekarang.

Wickham, lahir 1846, adalah wiraswastawan yang ambisinya sama besarnya dengan ketidakbecusannya. Pada 1870-an dia dan istrinya membuka perkebunan tembakau dan tebu di kota Santarém di hilir Amazon. Setelah dihubungi oleh Kew Gardens, Wickham mengumpulkan lebih dari setengah ton biji pohon karet, yang dikirimkannya ke London dengan kapal laut. Pemerintah Inggris terkejut saat ia datang untuk menagih pembayaran atas setiap biji yang berjumlah 70.000 tersebut. Namun, biji karet yang tumbuh akhirnya dibawa ke koloni Inggris, Prancis, dan Belanda di Asia. Dengan membawa kapak dan obor, calon raja karet menyebar ke seluruh hutan Khatulistiwa. Pada 1910 lebih dari 50 juta pohon Amerika Selatan itu tumbuh di Asia. Tahun berikutnya karet Asia membanjiri pasar, harga di Brasilia anjlok. Orang Brasilia terkejut dan marah, industri karet yang sangat menguntungkan ambruk hanya dalam beberapa bulan.

Dalam beberapa dekade berikutnya Asia Tenggara menjadi sentra produksi karet, seiring menyebarnya H. brasiliensis di wilayah yang sekarang menjadi Malaysia, Indonesia, bagian selatan Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar. Pemilik perkebunan, yang kaya mendadak, memborong lahan perumahan di Singapura.

Wickham meninggal pada 1928, setahun setelah Henry Ford membeli lahan di tepi Sungai Tapajós, di bagian hilir daerah aliran sungai Amazon. Karena tidak suka bergantung pada karet Asia, Ford memutuskan untuk menciptakan suplainya sendiri. Ribuan pekerja membabat hutan untuk membangun kota baru bergaya barat, mengisinya dengan jajaran bungalo berdinding papan, gereja Baptis, jalan protokol dengan toko roti, dan bioskop Amerika. Fordlândia, demikian proyek ini dijuluki orang, cukup besar untuk menampung sekian ratus ribu orang. Ford menghabiskan sekitar 20 juta dolar AS untuk membangunnya, setara dengan sekitar empat triliun rupiah uang saat ini.

Proyek ini gagal total. Sungguh konyol, perusahaan itu membuat perkebunan karet hampir seluas Pulau Bali tanpa berkonsultasi dengan seorang pun yang tahu cara menanam H. brasiliensis. Pertama, lahan itu tidak cocok untuk budidaya karet skala besar. Tanahnya terlalu berpasir dan curah hujannya terlalu musiman. Jika ada ahli botani di tempat itu, Ford mungkin mengetahui alasan pohon karet tidak pernah ditemukan tumbuh berdekatan di alam liar: Pohon karet sangat rentan terhadap serangan hawar daun Amerika Selatan.

Microcyclus ulei, demikian ahli biologi menyebutnya, memandang pohon karet seperti pasukan semut melihat katak: sebagai mangsa. Jamur ini “tidak membunuh pohon secara langsung,” tulis sejarawan Greg Grandin dalam bukunya Fordlândia. Sporanya merasuk ke dalam daun, menyerap zat haranya sampai daun itu gugur. Ketika daun tumbuh kembali, jamur menyerang lagi; sehingga pohon tersebut, tulis Grandin, “kian lama kian lemah, tunas yang tumbuh kerdil atau mati.”

Pertempuran itu berlangsung diam-diam, berkepanjangan, dan bagi pohon, hampir selalu berakibat fatal. Di alam liar spora Microcyclus ulei tidak dapat menyebar dengan mudah dari satu pohon karet ke pohon lainnya karena biasanya terpisah jauh di hutan. Di perkebunan, pohon ditanam berdekatan, seperti hidangan prasmanan, sehingga jamur berpindah dengan mudah, dari satu mangsa ke mangsa berikutnya. Jadi, ketika membuat perkebunan karet, Ford sebetulnya sedang menggelontorkan banyak uang untuk membuat inkubator jamur raksasa.

Pada 1935 terjadilah hal yang tak terelakkan. Pohon karet Fordlândia habis daunnya hanya dalam beberapa bulan—bencana ekologi, kehancuran ekonomi. Sepuluh tahun kemudian Ford diam-diam menjual lahan itu hanya sepersekian harga belinya. Dalam tujuh dekade setelahnya, setiap usaha untuk membuat perkebunan karet di Amerika Selatan atau Tengah selalu kandas. Jamur selalu menang.

 !break!

Saat berkendara ke pinggiran So Phisai, Thailand, bau udaranya seperti salon perawatan kuku. Bau itu berasal dari asam format, bahan kimia yang digunakan untuk menggumpalkan getah karet. Di sini, bau itu identik dengan uang.

Banyak orang di So Phisai yang ingin menjadi seperti Sommai Kaewmanee. Pada 1992 anak pekerja migran yang tidak memiliki lahan ini meminjam uang untuk menanam pohon karet pertama di wilayah itu. Pada saat itu, menurut penuturannya kepada saya, semua orang di So Phisai menanam singkong, hasilnya hanya pas-pasan buat makan. Anak muda harus pindah ke Bangkok untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Kaewmanee meminjam uang untuk menanam sekitar 1.500 pohon di lahan seluas tiga hektare dan mengajak tiga petani lain.

Selama kunjungan saya, Kaewmanee menunjukkan catatan keuangan usahanya yang terus berkembang. Jika angka-angka itu dijadikan grafik, akan terlihat mirip tren penjualan mobil global: ada naik-turunnya, tetapi trennya jelas meningkat. Dari hasil kebun karetnya, dia bisa mengumpulkan uang untuk membeli rumah baru dan mobil gardan ganda mentereng serta gawai elektronik portabel yang dimainkan anak-anaknya sepulang sekolah. Kaewmanee menjadi pengawas pertanian untuk kecamatannya, tempat 90 persen petani menanam H. brasiliensis. Dia sekarang memiliki sekitar 75.000 pohon. Pembibitannya menjual satu juta bibit per tahun. Hutan masih banyak di sekitar So Phisai, siap diubah menjadi ban.

Kaewmanee tidak tahu bahwa dia bisa membeli rumah dan mobil karena jasa para ilmuwan Tiongkok. Ketika pertama kali masuk ke Asia Tenggara, karet hanya bisa tumbuh di hutan Khatulistiwa yang hangat dan basah di wilayah yang kini menjadi Indonesia, Malaysia, ujung selatan Thailand, Kamboja, Vietnam, serta Myanmar—tempat-tempat yang mirip dengan asal karet di Amazon.

Selama Perang Korea, Amerika Serikat menjatuhkan sanksi larangan ekspor karet ke Tiongkok. Tiongkok yang murka lalu mengembangkan varietas H. brasiliensis yang bisa tumbuh di distrik Xishuangbanna yang relatif dingin di Provinsi Yunnan, di perbatasan dengan Laos dan Myanmar. Xishuangbanna hanya mencakup 0,2 persen dari luas daratan Tiongkok, tetapi dihuni oleh banyak spesies Tiongkok: 16 persen tumbuhannya, 22 persen hewannya, serta 36 persen burungnya. Kini semua terancam oleh karet. Berbekal pohon baru yang tahan dingin itu, tentara Tiongkok mendirikan perkebunan negara di sana. Petani kecil kemudian menanami sebagian besar lahan yang tersisa. Sekarang saat berdiri di puncak bukit di Xishuangbanna, akan terlihat jajaran pohon karet sejauh mata memandang.

Untuk membuat satu ban saja, umumnya diperlukan getah sadapan dari empat pohon selama sebulan. Xishuangbanna tidak cukup luas untuk memenuhi permintaan Asia. Karet H. brasiliensis—yang digalakkan dengan program nasional dan dibutuhkan oleh perusahaan Tiongkok—menyebar ke Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam bagaikan perluasan kawasan permukiman, mengubah hutan alami sepetak demi sepetak. Produksi karet alami global melonjak dari hampir 4 juta ton pada 1983 hingga hampir 12 juta ton saat ini.

Untuk menghasilkan karet tambahan tersebut, petani Asia Tenggara membuka sekitar 46.600 kilometer persegi, area seluas Sulawesi Selatan. Dan angka itu belum termasuk hutan yang ditebang untuk fasilitas pengolahan baru, perumahan baru yang dibangun di hutan untuk pekerja karet baru, atau jalan yang dibuat untuk menuju perkebunan baru.

Pertambahan produksi itu—dibarengi penurunan permintaan—menyebabkan harga karet turun selama beberapa tahun terakhir, tetapi semua memperkirakan pertumbuhannya akan terus berlanjut. Pertumbuhan pesat berarti bahwa apabila kita berkendara keliling Laos utara pada malam hari akan terlihat api di bukit—hutan yang dibakar untuk membuka lahan kebun karet baru. Ini berarti para remaja Thailand berkendara naik sepeda motor yang sarat dibebani setengah lusin karung berisi lembaran lateks buatan sendiri. Ini berarti banyak desa tani yang bangun dini hari untuk menyadap pohon karet, karena lateks mengalir paling deras sebelum fajar.

Ancaman ekologi yang ditimbulkan oleh demam karet bukan hanya hilangnya keanekaragaman hayati. Pohon karet di perkebunan baru ini adalah keturunan benih yang diselun-dupkan Henry Wickham dari Brasilia. Seperti pengalaman buruk yang dialami Henry Ford, karet sangat rentan terhadap hawar. Pada 1980-an para ilmuwan sudah mewanti-wanti bahwa jika ada spora hawar daun Amerika Selatan yang terbawa sampai ke Asia Tenggara, sektor otomotif bisa terpukul telak. “Potensi bencana ekonomi meningkat setiap kali ada penerbangan antarbenua yang mendarat di Asia Tenggara,” dua peneliti di Florida A&M University memperingatkan pada 2012. Laporan FAO PBB tahun sebelumnya menganjurkan agar semua penumpang pesawat ke Asia Tenggara yang pernah mengunjungi zona hawar Amerika Selatan dalam kurun tiga minggu sebelumnya harus diperiksa. Belum ada program semacam itu yang diberlakukan. Meskipun ilmuwan di Brasilia menemukan dan mulai menguji varietas pohon karet tahan hawar, belum ada program pemuliaan untuk ketahanan hawar di Asia. Dalam empat kunjungan ke Asia Tenggara saya tak menemui petani karet yang mempertimbangkan menanam varietas tahan hawar.

Mungkin yang paling serius, pohon karet menyedot banyak air untuk menghasilkan getah. Memproduksi ban itu ibarat mengambil air tanah dari perbukitan dan memuatnya ke truk untuk diekspor. Akibatnya, kata Xu, sumur dataran tinggi dan sungai pun mengering. Tanggapan kalangan pelaku industri ini hanyalah “orang bisa membeli air kemasan,” katanya sambil meringis. Tidak lama lagi karet akan menyelimuti sebagian besar Asia Tenggara. Masalah ini akan menyebar dari Tiongkok ke sebagian besar Asia Tenggara. “Kalau pemerintah tidak turun tangan, problem ini tidak akan terpecahkan.”

Pada hari yang berkabut dan sangat dingin, saya berkendara ke Cagar Alam Nasional Nabanhe di Xishuangbanna. Saya ditemani direktur penelitian cagar alam itu, Liu Feng, dan Gerhard Langenberger, ahli agroekologi Universität Hohenheim, Jerman. Pemandangan silih berganti antara perkebunan dan alam liar mengingatkan saya pada petak-petak ladang dan hutan di sekitar rumah saya di New England. Kami mengunjungi cagar alam itu karena Liu dan Langenberger berpendapat bahwa di sana ada petunjuk bagaimana karet bisa hidup berdampingan dengan ekosistem alami.

Tidak seperti kebanyakan cagar alam, Nabanhe dihuni banyak orang. Luasnya yang dua ratusan kilometer persegi mencakup 33 desa kecil, dengan populasi total sekitar 6.000 jiwa. Tanah tersebut dibagi menjadi tiga zona. Di zona inti, aktivitas manusia tidak diperbolehkan, seperti di cagar alam biasa. Di sekitarnya dijadikan zona penyangga, yang boleh dihuni tetapi penggunaan sumber daya di sana dibatasi. Dan sekitar itu adalah zona eksperimental, yang boleh digunakan untuk bercocok tanam—yaitu menanam dan menyadap karet.

Keseimbangan ini sulit dipertahankan, kata Liu. Sore itu kami melihat warga desa mencabuti tanaman karet ilegal. Orang yang melanggar dilaporkan oleh tetangganya sendiri. Polisi kehutanan mengawasi tanaman itu diangkut pergi. Beberapa jam kemudian kami bertemu beberapa polisi itu untuk makan-makan. Salah satunya mengatakan bahwa hukuman bagi warga desa tidaklah berat—ia hanya ingin mereka mematuhi peraturan.

Langenberger berpendapat bahwa ilmuwan semestinya membeberkan fakta yang ada dan membiarkan warga setempat yang mengatur pengelolaan lanskap. “Saya tidak menyalahkan petani,” katanya. “Mereka sudah begitu lama hidup miskin di sini. Sekarang ada tanaman yang memungkinkan mereka masuk ke pasar dunia.” Ilmuwan tidak bisa—dan tidak semestinya—”menyuruh mereka berhenti menanam karet,” katanya. Jika menuruti logika konservasi, semua aktivitas manusia harus dilarang demi melestarikan hutan hujan yang penting. Jika menuruti logika industri, setiap jengkal tanah harus ditanami pohon karet. Langenberger berharap dapat ditemukan titik tengah yang produktif. Besar harapannya bahwa Cagar Alam Nabanhe dapat membantu merintis jalan, sebuah upaya kecil untuk mencari solusi di sudut dunia yang saling berhubungan.