Di Bawah Tanah London

By , Jumat, 29 Januari 2016 | 09:00 WIB

Namun, kepedulian Wren tak seberapa besar saat menemukan reruntuhan masa Romawi yang cukup luas saat menggali pondasi untuk Katedral St. Paul. Beruntunglah bagi kita yang berada di masa depan bahwa ada orang lain yang peduli, seorang ahli benda antik setempat bernama John Conyers. Saat itu ia mengikuti para pekerja Wren berkeliling area pembangunan, membuat catatan, menyimpan artefak, dan membuat gambar rinci yang oleh ahli sejarah modern dianggap sebagai salah satu bentuk penyelidikan arkeologis resmi yang pertama dilakukan di dunia.

Akan tetapi, baru pada 1840-an, saat para insinyur masa Victoria mulai menggali terowongan di bawah kota London untuk membangun sistem selokan yang besar, ilmu arkeologi yang baru dibentuk, mulai mantap. Seorang ahli farmasi, kolektor koin, dan ahli benda antik amatir bernama Charles Roach Smith mengesampingkan segala aturan sosial dan ikut masuk di dalam terowongan bersama para pekerja. Seperti Conyers, ia mengamati saat para pekerja menggali, lalu mencatat, menggambar, dan menyelamatkan artefak apa pun yang ia bisa. “Itulah awal mula arkeologi di area pembangunan seperti yang kita kenal sekarang,” kata Jay Carver di Crossrail.

Roach Smith menjadi orang paling berwewenang di Inggris dalam hal benda antik Britania Romawi dan koleksi artefak miliknya pribadi kemudian menjadi inti dari koleksi benda masa Britania Romawi di Museum London. Suratan takdir pun menggariskan, di tanah yang dulunya menjadi tempat berdirinya rumah Roach Smith di Liverpool Street nomor 5, kini berdiri gedung perkantoran tempat tim arkeologi Crossrail bermarkas. Kebetulan yang aneh ini tidak lenyap begitu saja dalam pikiran sang ketua tim arkeologi. “Roach Smith memiliki tempat istimewa dalam pemikiran kami,” katanya. “Walaupun dia bekerja 150 tahun yang lalu, pengamatan dan hasil catatannya berguna dalam memberi tahu kami potensi situs di seluruh penjuru kota.”

!break!

Tak semua situs arkeologi London ada di bawah tanah. Sebagian tembok asli Romawi yang dibangun pada abad kedua dan dulunya dibangun mengelilingi London masih tegak berdiri. Tembok seperti ini dapat dilihat di tempat seperti Tower Hill atau St. Alphage Garden. Di samping Museum London sendiri, sebagian tembok Romawi ini terkelupas akibat serangan malam yang dilakukan Luftwaffe atau Angkatan Udara Jerman pada 1940.

“Namun, situs arkeologi terbesar dan terjelas di London adalah Thames saat surut,” ujar Nathalie Cohen, kepala Thames Discovery Programme, Museum of London Archaeology.

Matahari baru terbit. Kami berada di bantaran Thames tepat di bawah Katedral St. Paul, menuruni anak tangga batu. Segala hal bercampur di dasar sungai: batu bulat kecil halus, genting bekas, tulang hewan, tembikar, pecah-an pipa cangklong tanah liat, besi berkarat, dan serpihan kaca berwarna tebal yang terkikis dan buram dimakan pasang surut  sungai.

“Hampir semua yang kita lihat di sini adalah arkeologi,” ujar Cohen. Tangannya menunjuk sebuah genting dari era Romawi, lalu sepotong porselen bermotif biru dari masa Victoria, selagi kami menelusuri tanah yang tak rata.

Banyak area bantaran pasang surut ini yang bisa ditelusuri orang awam serta terkenal di kalangan arkeolog amatir dan penggemar alat pendeteksi logam. Cohen dan rekannya meminta bantuan kepada pehobi seperti ini, mempergunakan bakat dan energi mereka untuk ikut mencatat, mengawasi, dan melindungi situs di sepanjang bantaran. Salah satu tempatnya adalah Queenhithe, sebuah lekuk di bantaran sungai, di bawah Jembatan Millenium. Tempat ini pertama kali tercatat dalam dokumen masa Anglo-Saxon di akhir abad kesembilan dan terus digunakan kapal untuk lewat sampai abad ke-20.

Kembali ke liverpool street, arkeolog telah mengayak tanah timbunan besar sejarah London terus sampai ke lapisan masa Romawi awal. Di sini, di luar dinding kota kuno, dalam lumpur pekat yang menandakan bekas aliran Sungai Walbrook, mereka menemukan hal yang amat menarik: kuali tanah liat tua dengan tutup masih terpasang, penuh sisa tubuh yang telah dikremasi. Ada orang yang telah menguburkannya di tepian sungai hampir 2.000 tahun silam. Ada pula 40 tengkorak manusia, kemungkinan penjahat atau pemberontak yang dihukum mati.

“Kami sudah tahu sejak lama bahwa orang-orang banyak menemukan tengkorak masa Romawi di sepanjang Walbrook, tapi kami selalu beranggapan bahwa benda-benda itu tergerus dari kuburan Romawi dan terbawa arus sungai,” ujar Carver. Bukti terbaru mengemukakan hal berbeda. “Sepertinya kami harus melihat lagi semua temuan yang ditemukan di sekitar sini selama dua abad ini dan berpikir ulang apa yang sebenarnya terjadi.”

Sambil memandang garis gelap di tanah yang menandai sungai yang kini lenyap, pikiran saya melayang kepada adegan pembuka novel karya Joseph Conrad, Heart of Darkness. Pelaut Marlow, mengingatkan pendengarnya di atas kapal saat memandang matahari yang terbenam di langit London: “Dan ini juga salah satu tempat gelap di bumi sejak dahulu.”