Seychelles Kembali Berseri

By , Senin, 29 Februari 2016 | 12:00 WIB

Pulau granit tertimur adalah Frégate, sebuah pulau milik pribadi dengan sanggraloka mewah dan beberapa jenis makhluk yang menggunakan pulau ini sebagai benteng terakhirnya. Salah satu spesies itu adalah kucica seychelles, yang corak hitam-putih nan elok dan sikap ingin tahunya membuatnya disukai warga setempat. Dahulu burung ini tersebar luas, tetapi pada pertengahan 1960-an tidak sampai 15 ekor yang tersisa, semuanya ada di pulau yang luasnya hampir dua kilometer persegi ini. Pelestari lingkungan meluncurkan program pemulihan. Kucing liar diberantas. Kucica itu diberi kotak sarang dan makanan tambahan. Setelah jumlahnya bertambah, sebagian burung itu dipindahkan ke pulau lain yang bebas predator untuk mengurangi risiko kepunahan, dan sekarang populasinya telah meningkat hingga beberapa ratus ekor.

Hal yang tidak kalah penting di antara relik Frégate adalah kaki seribu raksasa: artropoda hitam berkilat sebesar jari sepanjang 15 sentimeter yang bergerombol dan menyeberangi jalanan di pulau itu tanpa gangguan. “Saya Mengerem demi Kaki Seribu” bisa jadi stiker yang bagus untuk mobil golf yang digunakan tamu sanggraloka. Hewan melata yang menakjubkan ini paling aktif setelah gelap. Jadi saya ikut Tanya Leibrick, manajer konservasi sanggraloka, berjalan malam ke hutan. Kami berjalan perlahan, agar tidak ada kaki seribu yang terinjak. Ilmuwan menghitung bahwa seperlima serasah yang jatuh di hutan dimakan kaki seribu yang lapar.

Saat memeriksa batang kayu roboh di dekatnya, cahaya lampu-kepala kami menyinari kumbang cokelat kelabu yang punggungnya penuh tonjolan seperti huruf braille dan di ujung kakinya ada dua kait kecil. Saya memang berharap menemukan serangga ini. Salah satu kumbang terbesar dari famili Tenebrionidae, yang di alam liar hanya ditemukan di Frégate.

Sungguh luar biasa bahwa raksasa jinak ini (panjangnya hingga tiga sentimeter) bisa selamat. Pada 1995 mimpi terburuk konservasi-pulau terjadi: Tikus tiba di Frégate. Nama Seychelles untuk kumbang besar ini adalah bib armé, laba-laba lapis baja. Namun, cangkang pelindung seperti apa pun tidak akan mampu melindungi hewan ini—atau kala cemeti, siput, dan invertebrata asli lainnya—dari gigi hewan pengerat. Dalam empat tahun populasi kumbang anjlok hingga 80 persen.

Maka dikirimkanlah permintaan bantuan internasional untuk mencegah kehancuran ekologi. Pada 2000 pun Pulau Frégate bebas tikus. Ingatan keberhasilan lolos dari lubang jarum itu—dipadu kegelapan hutan yang menggerahkan, siulan dan jerit camar-angguk dan dara-laut , gemeresik kaki seribu di antara serasah, dan kumbang tunggal yang disinari cahaya lampu—seperti anugerah luar biasa.

Seekor ular kurus berwarna biru-pucat muncul di dekat kaki kami. Leibrick menyingkirkan beberapa daun untuk memperlihatkan makhluk yang ternyata amfibi tanpa kaki yang disebut sesilia, spesies asli Seychelles. Hewan berkepala runcing itu menggeliat heboh lalu kabur ke dalam liangnya. Sesilia atau apoda dianggap sebagai bagian dari kargo asli Seychelles—makhluk yang dahulu kala ikut memisahkan diri dari Gondwana. Spesies itu dikenal amat endemik, karena galur genetisnya berasal dari masa purba.

“Hanya segelintir kepulauan yang memiliki kekayaan biologis seperti Seychelles,” kata ahli ekologi konservasi Christopher Kaiser-Bunbury. “Galápagos mendapat nama besar karena Darwin, padahal Seychelles tidak kalah hebatnya.” Saya bersama Kaiser-Bunbury sedang mendaki untuk mencari pohon ubur-ubur di pulau terbesar Seychelles, Mahé. Seperti di banyak pulau yang mengalami kerusakan ekologi, untuk menemukan spesies langka kami harus ke tempat tinggi—ke puncak gunung, jauh dari pertanian dan permukiman. Kami mendaki salah satu singkapan granit yang disebut ilmuwan sebagai inselberg. Warga Seychelles menyebutnya glacis—kubah batu abu-abu kemerahan, diukir hujan ribuan tahun—mencuat jelas di atas hutan hijau.

Tanaman tumbuh di celah dan retakan granit, dan banyak di antaranya yang merupakan spesies endemik, termasuk pohon ubur-ubur, Medusagyne. Hanya ada sekitar dua puluh indukan spesies tunggal dalam genus Medusagyne yang diketahui—dan semuanya di sini, tempat sebagian besar tanaman tidak mampu menahan panas terik dan hujan derasnya. Karena alasan yang belum diketahui, bijinya jarang tumbuh di alam liar—suatu kekurangan besar bagi spesies yang berstatus kritis. Spesimen yang kami temukan tampak sehat tetapi hanya memiliki sedikit buah khasnya, yang menggantung seperti ubur-ubur kecil di antara daunnya yang hijau berkilau. Perlu waktu lama untuk memulihkan spesies terancam ini, di glacis—pulau di dalam pulau, tempat perlindungan peninggalan masa lalu.

Di bawah gunung, di perbatasan glacis dan hutan hujan, kami bertemu pekerja yang membabat vegetasi invasif dan mencabut anakan icaco (Chrysobalanus icaco), jambu biji, dan kayu manis untuk memulihkan spesies endemik seperti kantong semar. Kaiser-Bunbury menjelaskan bahwa tujuan restorasi adalah membangun kembali integritas dan fungsi ekosistem, bukan lanskap yang ada seratus, atau seribu, atau selaksa tahun silam. Ini tentang membiarkan komponen yang tersisa dari sistem yang tercerai-berai menjalin kembali hubungan dan memulihkan lintasan sejarahnya. “Kami membantu sistem ini kembali ke arah semula,” katanya.

Tepat seperti diperkirakan ahli biologi E. O. Wilson “bapak keanekaragaman hayati”, hampir 25 tahun silam, bahwa abad ini akan menjadi “era restorasi ekologi”. Hal ini juga disambut orang Seychelles dengan menggebu. Semakin mereka menyadari kekayaan hayati negara-nya, semakin antusias mereka melindungi-nya. Kelompok pencinta margasatwa marak di sekolah. “Generasi muda amat menyukai hal ini,” kata Terence Vel, pembina kegiatan tersebut, kepada saya. “Sudah dua puluh tahun kami bersama pihak sekolah menyampaikan pesan kepada pelajar. Kami ajak mereka menyelam, ke lapangan untuk menunjukkan bahwa kita memiliki ekosistem rapuh dan harus dijaga untuk generasi mendatang.”

Beberapa warga Seychelles dewasa sudah lebih dahulu membaktikan diri. Di atas batu granit Mahé, jagawana taman, Terence Valentin, Rastafarian yang mengenakan kaus oblong di kepala untuk membungkus rambut gimbalnya, berkata, “Saya sudah 19 tahun bersama lingkungan, Bro. Ya, man, tentu saja saya punya ikatan dengan bumi!”

Di Aldabra, semua pegawai menjalin ikatan itu setiap hari, bahkan di dalam rumah. Burung madu bersarang di dudukan lampu dan rel tirai pancuran air, sesekali mencuri kalung untuk menghias sarangnya. Salah satu kura-kura raksasa yang tinggal di dekat pos penelitian menemukan cara naik tangga untuk minum.

Jumlah kura-kura di Aldabra lebih banyak daripada jumlah semua orang di Seychelles. Semua aspek kehidupan si raksasa ini terasa purba, termasuk suara gerakannya yang mirip derit pelana kulit. “Tempat ini mengubah hidup kita,” ujar Jude Brice, seorang kapten kapal. “Kita jadi melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang baru.”

Di lereng bukit di Victoria, pusat bersejarah Mahé, terdapat sebuah jam gereja yang berdentang dua kali—sekali tepat saat pergantian jam, lalu berdentang lagi beberapa menit kemudian. Saya menganggap ini metafora untuk Seychelles: dentang kedua untuk kesempatan kedua, mencanangkan penyelamatan kucica, kumbang, kantong semar, dan palem, merayakan keberhasilan pemulihan alam.