Sains Kematian

By , Kamis, 24 Maret 2016 | 18:00 WIB

Setelah batita Gardell Martin jatuh ke sungai penuh es pada Maret 2015, dia mati selama lebih dari satu setengah jam. Tiga setengah hari kemudian dia keluar dari rumah sakit dalam keadaan hidup dan sehat. Kisahnya merupakan salah satu dari banyak kisah yang mendorong para ilmuwan mempertanyakan makna kematian.

Awalnya hanya seperti sakit kepala terparah.

Karla Pérez—22 tahun, ibu dari Genesis yang berusia tiga tahun, dan hamil lima bulan—masuk ke kamar ibunya untuk berbaring, berharap sakitnya akan hilang dengan sendirinya. Namun, sakitnya bertambah parah, dan sambil muntah ke samping tempat tidur, dia menyuruh adik lelakinya menelepon 911.

Saat itu menjelang tengah malam, pada Minggu, 8 Februari 2015.Ambulans melarikan Pérez dari rumahnya di Waterloo, Nebraska, ke Methodist Women’s Hospital di Omaha. Dia mulai tidak sadar di UGD, dan dokter memasukkan slang ke tenggorokannya agar oksigen tetap mengalir ke janinnya. Mereka melakukan pindai CT, dan tampaklah perdarahan otak masif yang menimbulkan tekanan besar di dalam tengkoraknya.

Dia terkena stroke, tetapi ajaibnya janinnya sehat, detak jantungnya kuat dan mantap seakan tidak terjadi apa-apa. Para ahli saraf melakukan pindai CT lagi pada pukul dua dini hari, dan kecemasan terburuk mereka ternyata benar: otak Pérez sudah begitu bengkak, sehingga seluruh batang otaknya mendesak keluar melalui bukaan kecil di dasar tengkoraknya.

“Ketika mereka melihat itu,” kata Tifany Somer-Shely, dokter kandungan yang menangani Pérez saat hamil Genesis maupun hamil bayi ini, “mereka tahu pasti bahwa keadaan ini tidak akan berakhir dengan baik.”

Pérez terdampar di perbatasan samar antara hidup dan mati. Otaknya berhenti berfungsi dan tidak akan pulih—dengan kata lain, sudah mati. Tetapi tubuhnya bisa disokong secara mekanis, demi satu alasan: untuk memelihara janinnya yang berusia 22 minggu sampai cukup besar untuk bertahan hidup sendiri.

Ranah perbatasan ini semakin ramai, seiring para ilmuwan menelaah kenyataan bahwa keberadaan kita bukan tombol sakelar—“nyala” untuk hidup, “padam” untuk mati—tetapi seperti tombol peredup yang dapat menghasilkan beragam rona antara putih dan hitam. Di zona abu-abu, kematian belum tentu permanen, kehidupan kadang sulit didefinisikan, dan beberapa orang menyeberangi jurang besar itu dan kembali.Kadang menggambarkan secara tepat dan terperinci hal yang dilihatnya di sisi seberang.

Kematian adalah “proses, bukan waktu yang pendek,” tulis dokter perawatan kritis Sam Parnia dalam bukunya Erasing Death.Kematian adalah stroke seluruh tubuh, saat jantung berhenti berdetak, namun organ tak langsung mati. Bahkan, tulisnya, organ bertahan cukup lama dalam keadaan utuh, artinya “selama periode waktu yang panjang setelah mati, kematian sebenarnya bisa dibalikkan sepenuhnya.”

Bagaimana bisa kematian, sang keabadian, dibalikkan? Seperti apakah kesadaran, pada masa transisi melintasi zona abu-abu itu?

Ahli biologi Mark Roth bereksperimen dengan cara membuat hewan mati suri menggunakan zat kimia, mencampur larutan untuk menurunkan detak jantung dan metabolisme hingga hampir menyerupai hibernasi.Tujuannya adalah membuat pasien manusia yang terkena serangan jantung “hidup abadi sebentar” sampai berhasil melewati krisis medis yang membawanya ke ambang kematian.

Di Baltimore dan Pittsburgh, tim trauma pimpinan dokter bedah Sam Tisherman sedang melakukan percobaan klinis yang menurunkan suhu tubuh korban tembak dan tikam untuk melambatkan perdarahan cukup lama sampai dokter bedah menutup lukanya. Tim medis ini menggunakan teknik pendinginan-super untuk melakukan hal yang hendak dicapai Roth dengan zat kimia—membunuh pasien, untuk sementara, demi menyelamatkan nyawanya.

Di Arizona, pakar cryonic menyimpan lebih dari 130 jenazah klien dalam keadaan beku, sejenis keadaan transisi. Mereka berharap kelak, klien ini bisa dihangatkan dan disembuhkan dari apa pun yang menewaskan mereka.