Sains Kematian

By , Kamis, 24 Maret 2016 | 18:00 WIB

Setelah batita Gardell Martin jatuh ke sungai penuh es pada Maret 2015, dia mati selama lebih dari satu setengah jam. Tiga setengah hari kemudian dia keluar dari rumah sakit dalam keadaan hidup dan sehat. Kisahnya merupakan salah satu dari banyak kisah yang mendorong para ilmuwan mempertanyakan makna kematian.

Awalnya hanya seperti sakit kepala terparah.

Karla Pérez—22 tahun, ibu dari Genesis yang berusia tiga tahun, dan hamil lima bulan—masuk ke kamar ibunya untuk berbaring, berharap sakitnya akan hilang dengan sendirinya. Namun, sakitnya bertambah parah, dan sambil muntah ke samping tempat tidur, dia menyuruh adik lelakinya menelepon 911.

Saat itu menjelang tengah malam, pada Minggu, 8 Februari 2015.Ambulans melarikan Pérez dari rumahnya di Waterloo, Nebraska, ke Methodist Women’s Hospital di Omaha. Dia mulai tidak sadar di UGD, dan dokter memasukkan slang ke tenggorokannya agar oksigen tetap mengalir ke janinnya. Mereka melakukan pindai CT, dan tampaklah perdarahan otak masif yang menimbulkan tekanan besar di dalam tengkoraknya.

Dia terkena stroke, tetapi ajaibnya janinnya sehat, detak jantungnya kuat dan mantap seakan tidak terjadi apa-apa. Para ahli saraf melakukan pindai CT lagi pada pukul dua dini hari, dan kecemasan terburuk mereka ternyata benar: otak Pérez sudah begitu bengkak, sehingga seluruh batang otaknya mendesak keluar melalui bukaan kecil di dasar tengkoraknya.

“Ketika mereka melihat itu,” kata Tifany Somer-Shely, dokter kandungan yang menangani Pérez saat hamil Genesis maupun hamil bayi ini, “mereka tahu pasti bahwa keadaan ini tidak akan berakhir dengan baik.”

Pérez terdampar di perbatasan samar antara hidup dan mati. Otaknya berhenti berfungsi dan tidak akan pulih—dengan kata lain, sudah mati. Tetapi tubuhnya bisa disokong secara mekanis, demi satu alasan: untuk memelihara janinnya yang berusia 22 minggu sampai cukup besar untuk bertahan hidup sendiri.

Ranah perbatasan ini semakin ramai, seiring para ilmuwan menelaah kenyataan bahwa keberadaan kita bukan tombol sakelar—“nyala” untuk hidup, “padam” untuk mati—tetapi seperti tombol peredup yang dapat menghasilkan beragam rona antara putih dan hitam. Di zona abu-abu, kematian belum tentu permanen, kehidupan kadang sulit didefinisikan, dan beberapa orang menyeberangi jurang besar itu dan kembali.Kadang menggambarkan secara tepat dan terperinci hal yang dilihatnya di sisi seberang.

Kematian adalah “proses, bukan waktu yang pendek,” tulis dokter perawatan kritis Sam Parnia dalam bukunya Erasing Death.Kematian adalah stroke seluruh tubuh, saat jantung berhenti berdetak, namun organ tak langsung mati. Bahkan, tulisnya, organ bertahan cukup lama dalam keadaan utuh, artinya “selama periode waktu yang panjang setelah mati, kematian sebenarnya bisa dibalikkan sepenuhnya.”

Bagaimana bisa kematian, sang keabadian, dibalikkan? Seperti apakah kesadaran, pada masa transisi melintasi zona abu-abu itu?

Ahli biologi Mark Roth bereksperimen dengan cara membuat hewan mati suri menggunakan zat kimia, mencampur larutan untuk menurunkan detak jantung dan metabolisme hingga hampir menyerupai hibernasi.Tujuannya adalah membuat pasien manusia yang terkena serangan jantung “hidup abadi sebentar” sampai berhasil melewati krisis medis yang membawanya ke ambang kematian.

Di Baltimore dan Pittsburgh, tim trauma pimpinan dokter bedah Sam Tisherman sedang melakukan percobaan klinis yang menurunkan suhu tubuh korban tembak dan tikam untuk melambatkan perdarahan cukup lama sampai dokter bedah menutup lukanya. Tim medis ini menggunakan teknik pendinginan-super untuk melakukan hal yang hendak dicapai Roth dengan zat kimia—membunuh pasien, untuk sementara, demi menyelamatkan nyawanya.

Di Arizona, pakar cryonic menyimpan lebih dari 130 jenazah klien dalam keadaan beku, sejenis keadaan transisi. Mereka berharap kelak, klien ini bisa dihangatkan dan disembuhkan dari apa pun yang menewaskan mereka.

Di India, ilmuwan saraf Richard Davidson mempelajari rahib Buddha dalam keadaan yang disebut thukdam, saat tanda-tanda biologis kehidupan telah berhenti, tetapi tubuh tampak segar dan utuh selama seminggu atau lebih. Tujuan Davidson adalah mencoba mendeteksi aktivitas otak pada para rahib ini, berharap dapat mengetahui apa, jika ada, yang terjadi pada pikiran setelah peredaran darah berhenti.

Di New York, Parnia menyebarkan keyakinannya pada resusitasi berkelanjutan. Menurutnya, manfaat CPR lebih besar daripada yang disadari orang dan bahwa dalam kondisi yang sesuai—saat suhu tubuh diturunkan, kompresi dada diatur kedalaman dan temponya, dan oksigen diberikan kembali perlahan-lahan—sebagian pasien dapat dihidupkan kembali setelah berjam-jam tanpa detak jantung. Hal ini sering kali tanpa konsekuensi jangka panjang. Kini dia menyelidiki mengapa begitu banyak orang yang mengalami henti jantung menceritakan pengalaman di-luar-tubuh atau menjelang-mati, dan informasi apa yang dapat diungkapkan oleh sensasi tersebut tentang zona transisi dan kematian itu sendiri.

oksigen memegang peran paradoks  di perbatasan hidup-mati, menurut Roth, dari Fred Hutchinson Cancer Research Center di Seattle. “Sejak oksigen ditemukan pada awal 1770-an, para ilmuwan menyadari bahwa unsur ini penting bagi kehidupan,” katanya. Hal yang tidak diketahui ilmuwan abad ke-18 adalah bahwa peran penting oksigen ternyata tidak bersifat biner. “Memang, kalau oksigennya disingkirkan, hewannya bisa mati,” kata Roth. “Tetapi jika oksigen lebih dikurangi, hewan itu hidup lagi, tetapi dalam bentuk mati suri.”

Dia menunjukkan bahwa ini berhasil dilakukan pada nematoda tanah, yang masih hidup dengan udara yang hanya mengandung 0,5 persen oksigen dan mati jika oksigen dikurangi hingga 0,1 persen.Tetapi, jika cepat dilanjutkan ke tingkat oksigen yang jauh lebih rendah—0,001 persen atau lebih rendah lagi—cacing itu mati suri, serta memerlukan jauh lebih sedikit oksigen untuk bertahan hidup.Demikianlah cara mereka melanggengkan kehidupannya dalam keadaan kekurangan ekstrem, mirip hewan yang berhibernasi. Organisme mati suri ini tampak mati, tetapi kematiannya tidak permanen, ibarat kompor gas yang api kecilnya saja yang menyala.

Roth berusaha mencapai keadaan “api kecil” ini dengan menginfus hewan percobaan dengan “zat pereduksi unsur,” seperti iodida, yang sangat mengurangi kebutuhan oksigen hewan. Tak lama lagi dia akan mencobanya juga pada manusia. Tujuannya adalah meminimalkan kerusakan yang bisa terjadi akibat penanganan setelah serangan jantung.Jika iodida melambatkan metabolisme oksigen, menurut teori, ini mungkin membantu mencegah cedera reperfusi iskemia—rusaknya jaringan saat pasokan darah kembali setelah terjadi kekurangan oksigen untuk beberapa saat—yang kadang mengiringi penanganan seperti angioplasti balon.Pada setelan metabolisme oksigen yang lebih rendah ini, jantung yang rusak bisa menyeruput oksigen dari pembuluh yang diperbaiki, alih-alih dibanjiri oleh oksigen.

Menurut Roth: Dalam biologi, semakin sedikit sesuatu bergerak, masa hidupnya cenderung lebih panjang. Biji dan spora dapat memiliki masa hidup ratusan ribu tahun. Roth membayangkan bahwa kelak penggunaan zat seperti iodida, teknik yang akan segera dikaji dalam percobaan klinis awal di Australia, dapat memberi manusia keabadian itu “sejenak saja”—sejenak yang paling dibutuhkan, saat jantung dalam keadaan genting.

!break!

Pendekatan seperti ini  tidak bisa membantu Pérez, yang jantungnya tak pernah berhenti berdetak. Di hari setelah pindaian CT, dokter kandungannya, Somer-Shely, mencoba menjelaskan kepada orang tua Pérez, Berta dan Modesto Jimenez, bahwa putri mereka yang cantik—mengalami kematian otak.

Bahasa pertama keluarga Jimenez adalah Spanyol, dan semua perkataan dokter harus melewati filter juru bahasa.Namun, kendala sesungguhnya bukanlah bahasa, melainkan konsep kematian otak itu sendiri. Istilah ini ber-asal dari akhir 1960-an, saat dua perkembang-an medis muncul bersamaan: mesin penopang hidup berteknologi tinggi, yang mengaburkan batas antara hidup dan mati, serta cangkok organ, yang menuntut kejelasan tentang batas itu. Kematian tak dapat lagi didefinisikan secara tradisional dengan berhentinya napas dan detak jantung, karena ventilator dapat menyediakan keduanya tanpa batas waktu.Apakah pasien yang dipasangi ventilator itu mati atau hidup? Jika ventilator disingkirkan, menurut etika, kapan kita boleh mengambil organnya untuk dicangkokkan ke orang lain?

Untuk menjawab pertanyaan ini, panel Harvard bertemu pada 1968 untuk mendefinisikan kematian dengan dua cara: cara tradisional, dengan kriteria jantung dan paru-paru, dan cara baru, dengan kriteria neurologi. Kriteria neurologi, yang kini digunakan untuk menentukan “kematian otak”, melibatkan tiga tanda dasar: koma atau tak ada respons, apnea atau tak mampu bernapas tanpa ventilator, dan ketiadaan refleks batang otak, yang diukur dengan pemeriksaan dari sisi tempat tidur, seperti membilas telinga dengan air dingin untuk memeriksa apakah mata bergerak.

Semuanya cukup jelas, tetapi juga bertentangan dengan intuisi.“Pasien yang mati-otak tidak mirip orang mati,” tulis James Bernat, ahli saraf pada 2014. “Rasanya bertentangan dengan pengalaman jika menyebut pasien sudah meninggal padahal masih ada detak jantung, peredaran darah, dan fungsi organ dalam.”

Artikelnya, yang bertujuan menjelaskan dan membela konsep kematian otak, terbit persis saat dua pasien kontroversial diliput secara luas: Jahi McMath, remaja California yang orang tuanya tak mau menerima diagnosis setelah gadis itu mengalami kehilangan oksigen yang merusak dalam operasi amandel. Kemudian Marlise Muñoz, wanita hamil mati-otak yang kasusnya berbeda dengan kasus Pérez secara signifikan. Keluarga Muñoz tidak mau ada tindakan apa pun untuk menopang fungsi tubuh Marlise, tetapi staf rumah sakit mengabaikan permintaan itu, karena mereka menganggap hukum Texas mewajibkan mempertahankan nyawa janin. (Belakangan hakim memutuskan bahwa pihak rumah sakit salah.)

Dua hari setelah stroke Pérez, keluarga Jimenez, bersama ayah sang janin lelaki yang belum lahir, berada di ruang di Rumah Sakit Metodis. Di sana mereka disambut oleh 26 anggota staf rumah sakit, termasuk ahli saraf, ahli perawatan paliatif, perawat, pendeta, ahli etika, dan pekerja sosial. Orang tua Pérez menyimak juru bahasa yang menjelaskan bahwa uji dokter menunjukkan otak putri mereka sudah tidak berfungsi. Mereka mendengar tim itu menawarkan “dukungan somatis” bagi Pérez sampai janin berusia setidaknya 24 minggu, yaitu ketika ada peluang lima puluh persen janin mampu hidup di luar rahim. Jika mereka beruntung, kata dokter, mereka dapat menjaga fungsi tubuh Pérez lebih lama lagi, menaikkan peluang keselamatan bayi itu setiap minggu.

!break!

Modesto Jimenez mungkin teringat pada percakapan malam sebelumnya dengan Somer-Shely—satu-satunya dokter di rumah sakit yang mengenal Pérez sebagai manusia hidup—ketika Modesto memisahkan diri bersama dokter itu dan bertanya, “¿Será mi hija nunca despertar?”

“Tidak,” kata dokter itu. “Putri Anda mungkin tak akan pernah sadar lagi.” Itulah salah satu hal tersulit yang pernah disampaikan Somer-Shely.

“Dalam pikiran klinis, saya tahu mati-otak adalah kematian,” katanya. “Dari sisi klinis, dia sudah mati pada titik itu.” Namun, saat melihat pasiennya terbaring, Somer-Shely sulit memercayainya, sama seperti keluarga Jimenez. Pérez mirip orang yang baru selesai operasi: Kulitnya hangat, dadanya naik-turun, di perutnya ada janin yang bergerak-gerak, tampak sehat.

Di ruangan, keluarga Jimenez mengangguk muram, memberi tahu tim medis bahwa mereka memahami putri mereka mati-otak. Tetapi, mereka menambahkan, mereka akan terus berdoa memohon un milagro—mukjizat.

Jika mukjizat didefinisikan sebagai membangkitkan orang dari kematian, kadang itu memang terjadi dalam dunia kedokteran.

Keluarga Martin meyakini bahwa mereka menyaksikan mukjizat saat putra bungsu mereka, Gardell, meninggal musim dingin lalu sewaktu jatuh ke sungai es.Dia, ibunya, ayahnya, dan enam kakaknya tinggal di tanah pedesaan luas di Pennsylvania.Di bulan Maret 2015 dua kakak lelaki mengajak Gardell, yang belum dua tahun, keluar bermain. Batita itu jatuh ke sungai yang terletak sekitar seratus meter dari rumah. Kedua kakaknya merasa kalut saat tak berhasil menemukannya.Ketika petugas darurat sampai di sisi Gardell—yang ditarik keluar dari air oleh seorang tetangga—jantung anak itu sudah berhenti berdetak setidaknya 35 menit.Paramedis memulai kompresi dada, namun tak berhasil membuat jantungnya berdetak. Mereka melanjutkan CPR sambil melaju 16 kilometer ke Evangelical Community, rumah sakit terdekat. Suhu tubuhnya 25 derajat Celsius, lebih dari 11 derajat di bawah normal. Mereka mempersiapkan Gardell untuk diangkut helikopter ke Geisinger Medical Center, sejauh 29 kilometer. Masih belum ada detak jantung.

“Tidak ada tanda kehidupan,” kenang Richard Lambert, direktur sedasi anak dan anggota tim perawatan-kritis anak yang menunggu helikopter itu. “Ia mirip anak yang … Yah, warna kulitnya kehitaman, gelap. Bibirnya biru …” Suara Lambert menggantung, mengenang masa mengerikan itu. Dia tahu bahwa anak-anak yang tenggelam di air es kadang pulih, tetapi dia belum pernah mendengar kepulihan pada anak yang sudah mati selama Gardell. Lebih parah lagi, ternyata pH darah anak itu sangat rendah, pertanda kegagalan organ akan segera terjadi.

Dokter muda di  UGD menoleh kepada Lambert dan rekannya Frank Maffei, direktur perawatan kritis anak untuk Rumah Sakit Anak Janet Weis di Rumah Sakit Geisinger: Apa mungkin sudah saatnya mereka berhenti berusaha menyadarkan anak itu? Lambert maupun Maffei ingin terus melanjutkan.Semua unsur mendukung akhir bahagia.Airnya dingin, anaknya masih kecil, upaya resusitasi dimulai dalam hitungan menit setelah tenggelam dan sejak itu berlanjut tanpa henti. Mari kita coba sebentar lagi saja, kata mereka kepada tim.

Sepuluh menit, 20 menit lagi, 25 menit lagi. Kala itu nadi Gardell sudah satu setengah jam tak berdenyut atau bernapas. Dia “mayat dingin lemas yang tak menunjukkan tanda kehidupan,” papar Lambert. Namun, anggota tim terus memompa, menekan, memantau. Kompresi dada dilakukan bergiliran setiap dua menit—melelahkan jika harus terus melakukannya dengan benar—yang lain memasukkan kateter ke vena paha, vena leher, perut, kandung kemih, memasukkan cairan hangat untuk menaikkan suhu tubuh. Tampak tak ada yang berpengaruh.

Alih-alih menghentikan resusitasi, Lambert dan Maffei memutuskan untuk melakukan bypass jantung paru—bentuk paling agresif dari pemanasan-kembali aktif, upaya terakhir untuk membuat jantungnya berdetak. Setelah mencuci tangan untuk persiapan operasi, mereka memeriksa denyut nadi sekali lagi.

Ajaibnya, hal itu terjadi: Detak jantung, awalnya samar, tetapi mantap, tanpa irama abnormal yang kadang muncul setelah henti-jantung berkepanjangan. Tiga setengah hari kemudian Gardell keluar dari rumah sakit bersama keluarganya yang tiada henti berdoa, agak tertatih-tatih tetapi sehat.

!break!

Gardell masih terlalu kecil, untuk bisa menceritakan pengalaman kematiannya selama 101 menit. Namun, kadang-kadang orang yang diselamatkan, berkat resusitasi yang gigih dan bermutu, kembali membawa cerita yang cukup jelas—dan anehnya mirip. Orang-orang yang selamat ini dapat dianggap pernah menyeberang ke sisi lain dan kembali membawa cerita yang menawarkan wawasan tentang apa rasanya mati. Kisah mereka dari zona abu-abu telah menjadi subjek penelitian ilmiah, terbaru dalam kajian AWARE (AWAreness during REsuscitation, kesadaran selama resusitasi) yang dipimpin oleh Sam Parnia. Sejak 2008, Parnia, direktur penelitian resusitasi di Stony Brook University, dan koleganya menelaah 2.060 kasus henti-jantung di 15 rumah sakit Amerika, Inggris, dan Austria. Ada 330 yang selamat, 140 di antaranya diwawancarai. Lima puluh lima dari 140 pasien berkata, selama resusitasi mereka mengalami semacam kesadaran.

Meski sebagian besar tidak terlalu ingat detailnya, ada pula yang menyebut sensasi yang mirip dengan yang terdapat dalam buku-buku laris seperti Heaven Is for Real: waktu berlalu lebih cepat atau lambat (27 orang), rasa damai (22), terpisah dari tubuh (13), kegembiraan (9), atau melihat cahaya terang atau kilas keemasan (7). Sebagian berkata bahwa mereka ingat sensasi buruk: takut, tenggelam atau diseret di kedalaman air, atau dalam satu kasus, “melihat orang dalam peti mati dikubur dalam posisi tegak.” Kajian itu, tulis Parnia dan para rekan penulisnya di jurnal medis Resuscitation, memberi “pemahaman lebih jauh tentang pengalaman mental luas yang mungkin menyertai kematian setelah berhentinya peredaran darah.” Mereka menulis bahwa langkah selanjutnya adalah melakukan kajian apakah dan bagaimana semua pengalaman ini—yang disebut oleh kebanyakan penyelidik sebagai pengalaman menjelang mati (near-death experience, NDE), meski Parnia lebih menyukai istilah “pengalaman mati sesungguhnya”—memengaruhi orang setelah pemulihan, baik secara positif atau negatif, seperti masalah kognitif dan stres pasca-trauma. Hal yang tidak diselidiki tim AWARE adalah efek terlambat NDE yang umum dirasakan: rasa tujuan dan makna hidup yang baru. Itulah perasaan yang sering terdengar dari orang yang selamat—terutama yang kemudian menulis buku tentang itu. Mary Neal, dokter bedah ortopedi dari Wyoming, menyinggung efek itu kepada sejumlah besar pemirsa di diskusi panel 2013 yang berjudul Rethinking Mortality (Merenungkan Mortalitas). Neal, penulis To Heaven and Back, menceritakan pengalamannya tenggelam selagi berkayak di Cili 14 tahun sebelumnya.Menurutnya, dia dapat merasakan rohnya mengelupas dari tubuh dan keluar dari sungai, sementara lututnya menekuk ke belakang hingga tulangnya patah. Dia ingat menyusuri “jalan setapak yang sangat indah, menuju bangunan besar berkubah yang saya ketahui tidak menawarkan jalan pulang—dan saya ingin segera sampai di sana.” Dia bercerita, kala itu dia berpikir betapa anehnya seluruh pengalaman ini, bertanya-tanya sudah berapa lama dia di dalam air (belakangan dia tahu, sekurangnya 30 menit), merasa lega karena tahu bahwa suami dan anak-anaknya akan baik-baik saja tanpa dirinya. Lalu, dia merasakan tubuhnya keluar dari perahu dan dapat melihat petugas darurat melakukan CPR. Dia mendengar salah seorang memanggilnya, “Kembali, kembali!”—yang katanya dirasakannya “amat sangat menyebalkan.”

Kevin Nelson, ahli saraf di University of Kentucky, juga merupakan anggota di panel Neal, dan dia skeptis—bukan tentang ingatan Neal, yang diakuinya intens dan valid, tetapi tentang penjelasannya. “Ini bukan pengalaman kembali dari kematian,” katanya di konferensi itu, juga menyanggah pandangan Parnia tentang apa yang terjadi. “Dalam pengalaman seperti ini, otak masih sangat hidup dan sangat aktif.” Menurutnya, pengalaman Neal mungkin merupakan fenomena yang disebut intrusi REM, ketika aktivitas otak yang juga mencirikan mimpi, entah bagaimana, aktif pada peristiwa lain yang bukan tidur, seperti ketika kehilangan oksigen mendadak. Baginya, pengalaman menjelang-mati dan di-luar-tubuh bukan diakibatkan oleh keadaan sekarat, tetapi oleh hipoksia—kehilangan kesadaran, bukan kehilangan nyawa itu sendiri.

Kajian-kajian lain mengajukan beberapa penjelasan fisiologis lain untuk NDE. Di University of Michigan tim yang dipimpin ilmuwan saraf Jimo Borjigin mengukur gelombang otak pada sembilan tikus setelah henti-jantung. Pada semua tikus, gelombang gama frekuensi tinggi (yang dikaitkan dengan meditasi) semakin kuat setelah jantung berhenti—bahkan lebih koheren dan teratur daripada saat keadaan jaga biasa. Mungkin inilah NDE, tulis para penyelidik, “pemrosesan sadar yang lebih tinggi” yang terjadi selama periode transisi sebelum kematian menjadi permanen.

Lebih banyak lagi pertanyaan tentang zona abu-abu muncul dari fenomena thukdam, kejadian langka ketika seorang rahib meninggal tetapi tampaknya tidak terjadi pembusukan fisik selama seminggu atau lebih. Richard Davidson dari University of Wisconsin, yang bertahun-tahun mempelajari ilmu saraf tentang meditasi, sudah lama tertarik pada fenomena ini—terutama setelah dia melihat rahib dalam thukdam di biara Deer Park di Wisconsin.

“Kalau saya hanya kebetulan masuk ke ruang-an itu, saya tentu mengira dia sedang duduk bertapa,” kata Davidson. “Kulitnya tampak segar dan hidup, tidak ada pembusukan apa pun.” Kesan kehadiran orang yang sudah meninggal itu, bahkan pada jarak dekat, turut mengilhami Davidson untuk mempelajari thukdam secara ilmiah. Dia mengumpulkan peralatan medis dasar, seperti EEG dan stetoskop, di dua pos lapangan di India dan melatih tim lapangan beranggotakan 12 dokter Tibet untuk menguji para rahib ini—lebih baik dimulai saat masih hidup—untuk melihat apakah aktivitas otak berlanjut setelah kematian.

“Kemungkinan besar, pada banyak praktisi ini, mereka masuk ke keadaan meditasi sebelum meninggal, dan ada semacam pemeliharaan keadaan itu setelahnya,” kata Davidson. “Bagaimana persisnya itu terjadi, dan bagaimana penjelasannya, luput dari pemahaman konvensional kita.” Penelitiannya, meski berlandaskan ilmu Barat, bertujuan memperoleh pemahaman yang berbeda, yang lebih memerhatikan nuansa yang dapat menjelaskan apa yang terjadi. Tak hanya pada rahib dalam thukdam, namun siapa pun yang menyeberangi perbatasan hidup dan mati.

!break!

Disintegrasi biasanya berlangsung cepat setelah orang meninggal. Ketika berhenti berfungsi, otak tak mampu lagi menjaga keseimbangan sistem-sistem lain. Jadi, agar tubuh Karla Pérez terus memelihara janin setelah otaknya berhenti bekerja, tim yang beranggotakan lebih dari seratus dokter, perawat, dan pekerja rumah sakit lain harus menggantikan perannya. Siang-malam mereka senantiasa memantau pengukuran tekanan darah, fungsi ginjal, dan elektrolit Pérez, sambil terus menyesuaikan isi slang dan infusnya.

Tetapi, sekalipun anggota tim inilah yang mengerjakan fungsi otak Pérez yang rusak, mereka tetap kesulitan menganggapnya sebagai orang yang sudah meninggal. Setiap orang memperlakukannya seakan dia sedang koma, menyapa namanya ketika masuk ke kamarnya dan mengucapkan selamat tinggal saat keluar.

Hingga batas tertentu, sikap yang memanusiakan Pérez ini dilakukan untuk menghormati keluarganya, bentuk kesopanan agar tak terkesan memperlakukannya sebagai wadah janin yang lembam. Tetapi dari segi lain, sikap ini lebih dari kesopanan, mencerminkan perasaan orang-orang yang merawat Pérez.

Todd Lovgren, salah seorang pemimpin tim medis itu, tahu beratnya kehilangan putri—dia juga ditinggal putrinya, sulung dari lima anak, yang semestinya 12 tahun seandainya masih hidup. “Saya tentu tersinggung jika tidak memperlakukan Karla seperti manusia,” katanya kepada saya. “Saya melihat seorang wanita dengan kuku dicat, ibunya menata rambutnya, dengan tangan hangat dan jari kaki hangat… Baik otaknya masih berfungsi atau tidak, saya rasa kemanusiaannya belum lenyap.”

Berbicara sebagai orang tua dan bukan klinisi, Lovgren berkata bahwa dia merasa sedikit esensi Pérez masih ada di tempat tidur itu—meski dia tahu, pada saat pindai CT kedua, bahwa otak Pérez bukan hanya tidak berfungsi, tetapi beberapa bagian besar sekarat dan terkelupas.

Pada 18 Februari, sepuluh hari setelah stroke Pérez, rupanya darahnya tidak membeku  secara normal—pertanda bahwa jaringan otak mati sudah masuk ke saluran darah, satu lagi tanda bagi Lovgren bahwa “Pérez tak akan pernah pulih.” Saat ini janin sudah 24 minggu, jadi tim memindahkan Pérez dari kompleks utama kembali ke Rumah Sakit Perempuan Metodis, rumah sakit bersalin. Mereka berhasil mengatasi masalah penggumpalan darah sementara.Namun, mereka siap melakukan bedah sesar jika sudah waktunya merelakan.

!break!

Bagi Sam Parnia, kematian berpotensi dibalikkan. Sel di dalam tubuh kita biasanya tidak mati ketika kita mati, katanya; sebagian sel dan organ dapat tetap hidup selama berjam-jam, bahkan mungkin berhari-hari.Penentuan waktu pernyataan kematian kadang berkaitan dengan sikap pribadi, katanya. Saat dia masih kuliah kedokteran, dia mengamati bahwa orang berhenti melakukan CPR setelah hanya lima hingga sepuluh menit, berasumsi bahwa lebih lama berarti akan terjadi kerusakan otak yang tak bisa diperbaiki.

Namun, para ilmuwan resusitasi kini mengetahui cara mencegah kematian otak dan organ lain bahkan setelah jantung berhenti. Mereka tahu bahwa menurunkan suhu tubuh itu bermanfaat—yang terjadi secara alami pada Gardell Martin, dan secara sengaja di beberapa UGD yang selalu mendinginkan pasien sebelum melakukan CPR. Mereka tahu kegigihan juga bermanfaat, terutama di rumah sakit yang menggunakan mesin untuk mengatur kompresi dada, atau yang kelak mungkin menggunakan obat seperti iodida.

Parnia mengumpamakan ilmu resusitasi sebagai aeronautika.Dulu manusia sepertinya tak mungkin bisa terbang, tetapi pada 1903 Wright bersaudara berhasil. Betapa ajaibnya, katanya, bahwa hanya perlu waktu 66 tahun dari penerbangan pertama selama 12 detik itu hingga pendaratan di bulan. Menurutnya, kemajuan seperti itu juga dapat terjadi dalam ilmu resusitasi.Dalam hal membalikkan kematian, Parnia meyakini, kita masih berada di era Wright bersaudara.

Namun, para dokter sudah mampu menyambar kehidupan dari kematian dalam cara-cara yang memukau dan menginspirasi.Di Nebraska, hal itu terjadi pada 4 April 2015, hari sebelum Paskah, ketika bayi lelaki bernama Angel Pérez lahir melalui bedah sesar di Rumah Sakit Perempuan Metodis menjelang tengah hari. Angel kini hidup karena para dokter mampu menjaga tubuh ibunya yang mati-otak, agar tetap berfungsi selama 54 hari, cukup lama agar Angel tumbuh menjadi bayi mungil yang normal sempurna. Bobotnya 1,3 kilogram, ajaib karena dia begitu normal.Bayi yang ternyata menjadi milagro—keajaiban—yang didoakan kakek-neneknya.