Tanah Hantu

By , Kamis, 24 Maret 2016 | 18:00 WIB

Di Turki timur, saya berjalan melewati sejumlah peternakan Armenia yang terbengkalai.Saya berjalan melewati sejumlah gereja tua Armenia yang sudah beralih fungsi menjadi masjid.Saya duduk di bawah naungan kebun walnut (genus Juglans) yang ditanam oleh korban pembantaian di masa lalu.

“Kami berperang melawan orang Armenia, dan banyak yang tewas,” kata Saleh Emre, kepala desa yang beruban dari desa Kurdi di Taşkale.  “Menurut saya, tindakan itu salah. Ini tanah tumpah darah mereka.”

Kaum Muslim Kurdi memiliki posisi yang aneh dalam sejarah kekerasan di Turki bagian timur itu. Dari yang semula bertugas sebagai polisi di garis depan, pelaku kekerasan langsung yang mewakili pemerintahan Utsmaniyah satu abad yang lalu, kini menjadi suku minoritas yang terbelenggu, yang menuntut lebih banyak hak politik di Turki masa kini. Sebagai korban, sekarang kaum Kurdi seperti tetangga mereka orang Armenia, yang sudah lama lenyap.

Kapan secara resmi genosida itu berakhir?Apakah ketika semua korban yang masih hidup itu meninggal, lenyap dari ingatan manusia? Atau apakah ketika desa terakhir yang kosong dihuni lagi oleh penduduk baru, bahasa baru, nama baru? Atau apakah pada akhirnya dianggap sudah selesai apabila perasaan menyesal sudah diakui dan dinyatakan?

Saya dan pemandu saya, Murat Yazar, beringsut ke arah utara. Kami berjalan melintasi padang rumput menguning, menyaksikan seri-gala berlarian. Serigala-serigala itu berhenti, menoleh menatap kami tanpa suara, lalu berlari lagi.Kami melewati Gunung Ararat.Puncaknya di ketinggian 5.137 meter terkena cahaya timur, berselimut salju. Kitab Injil menyatakan, di gunung itulah kapal Nabi Nuh berlabuh. Gunung api cantik ini dianggap suci oleh orang Armenia.

“Trauma yang dipilih,” begitulah psikolog politik Vamık Volkan menjelaskan ideologi—cara pandang dunia—dan dengan cara itulah kesedihan menjadi identitas utama. Hal ini berlaku bagi seluruh bangsa, selain individu.Trauma yang dipilih menyatukan masyarakat yang dihantam kekerasan massal.Namun, pilih-an itu bisa mengobarkan nasionalisme picik.

Kapan secara resmi genosida itu berakhir?Kapankah waktu dalam sejarah yang menandai pembantaian massal itu tuntas—selesai, didokumentasikan, dituntaskan?

Saya berjalan melintasi Pegunungan Kaukasus Kecil dari Turki ke Republik Georgia. Setelah berhenti sejenak di Tbilisi, saya naik kereta malam ke  Yerevan. Saat itu tanggal 24 April, hari jadi 100 tahun genosida Armenia.

Baliho kain menghiasi ibu kota Armenia. Salah satu baliho menampilkan empat jenis senjata—samsir, senapan, kapak, jerat—yang disusun membentuk angka “1915.” Lambang yang paling tidak agresif yang menampilkan suasana berkabung, justru yang terkuat pesannya: poster bunga forget-me-not (genus Myosotis). Jutaan kelopak bunga berwarna ungu menyemarakkan taman dan pemisah jalan di Yerevan. Mahkota bunga dicetak pada baliho, gambar tempel, lencana di kerah kemeja: sekuntum bunga genosida. “Saya ingat dan menuntut”—inilah slogan peringatan itu.

Namun, menuntut apa?

Ini pertanyaan penting yang ditanyakan orang Armenia pada diri sendiri.Apakah masa lalu itu sebuah pedoman? Ataukah perangkap?

Imam Apostolik Mikael Ajapahian, dari kota Gyumri di Armenia: “Armenia tidak memusuhi Turki. Kami tidak memendam perasaan apapun terhadap orang Turki. Namun, pemerintah Turki harus melakukan apa pun—apa pun bentuknya—untuk menyembuhkan luka itu.”

Elvira Meliksetyan, aktivis hak wanita: “Kami tak tahu apa yang kami inginkan. Jika segalanya mengingatkan kami pada penderitaan masa lalu, kami kehilangan masa depan, bukan? Kami tak punya strategi. Semua perasaan menjadi korban telah membuat kami seperti pengemis.”