Tanah Hantu

By , Kamis, 24 Maret 2016 | 18:00 WIB

Ruben Vardanyan, seorang dermawan, miliarder: “Seratus tahun kemudian, kamilah pemenangnya. Kami mampu bertahan.Jadi, mengucapkan terima kasih, membalas budi penyelamat hidup termasuk orang Turki, adalah langkah berikutnya.Seratus tahun silam, kakek mereka menyelamatkan kakek kami. Kita perlu menautkan kisah itu.” (Ia mendanai Aurora Prize, untuk menghormati pahlawan tak dikenal yang menyelamatkan orang lain dari genosida.)

Ada pawai obor.Ada pameran foto.Ada konser yang dimainkan oleh kelompok musik rock orang Armenia yang bermukim di Los Angeles.Tsitsernakaberd dipadati para diplomat, akademisi, aktivis, dan orang awam.Pada konferensi pencegahan genosida, seorang sejarawan Amerika dengan suara tanpa emosi mengemukakan alasan mengapa pemerintah Turki harus memberikan kompensasi.Ini “bukan usul yang tak masuk akal atau tak bisa diwujudkan” katanya, bagi Turki untuk menyerahkan enam provinsi yang secara tradisi milik Armenia di masa pemerintahan Utsmaniyah kepada Armenia. (Jerman membayar kompensasi lebih dari 935 triliun rupiah kepada korban kekejaman Nazi.)

Kisah paling memilukan dalam perjalanan sampingan ke Armenia dikisahkan oleh seorang pemuda bermata hitam dan besar.

“Saya masih kecil, mungkin baru satu tahun. Saya sekarat di rumah sakit.Saya kena pneumonia—sepertinya pneumonia.Dokter tak berdaya.Seorang wanita Turki di bangsal persalinan melihat ibu saya menangis.Dia berta-nya apakah boleh memegang saya. Dia membuka kancing bajunya, memegang mata kaki saya, lalu menurunkan badan saya ke bagian depan tubuhnya. Seakan-akan ia melahirkan saya lagi. Dia melakukannya tujuh kali, melantunkan doa, berseru, ‘Semoga anak ini tertolong jiwanya!’ ”

Dan?

“Kondisi saya membaik.” Dia mengangkat bahu. “Wanita Turki itu menyelamatkan saya.”

Ara Kemalyan, tentara dari etnik Armenia, menceritakan kisah itu kepada saya di parit garis depan, sekitar 250 kilometer di tenggara Yerevan. Terdengar rentetan tembakan di kejauhan. Lebih dari 20 tahun dari usianya yang 38 tahun, Kemalyan, pejuang wilayah Nagorno-Karabakh yang memisahkan diri, berjuang melawan tentara—mantan teman dan tetangganya—dari pemerintah pusat Azerbaijan, sebuah negara Muslim sekuler. Hingga 30.000 orang, sebagian besar warga sipil di kedua belah pihak, tewas dalam kekerasan sejak akhir 1980-an. Ratusan ribu orang mengungsi. Perang kecil yang melumpuhkan Kaukasus ini bisa dikatakan tak ada hubungannya dengan kekerasan di masa pemerintahan Utsmaniyah. Namun, Kemalyan masih menyebut bidan Azerbaijan yang menyelamatkannya dengan cara yang ajaib—“si wanita Turki,” sang musuh. Kenangan pahit 1915 membutakan mata hatinya.

Sebelum berjalan keluar dari tanah berhantu ini, saya mengunjungi Ani sekali lagi. Kali ini saya memandangnya dengan menggunakan kacamata Armenia di garis depan.

Perbatasan Armenia-Turki yang ditutup adalah salah satu perbatasan negara terganjil.Turki menutup penyeberangan jalan darat pada 1993 karena bersimpati pada Azerbaijan dalam perang Nagorno-Karabakh. Wilayah Armenia juga tetap ditutup, antara lain karena tekanan dari orang Armenia di luar negeri yang tidak menghendaki pemulihan hubungan dengan Turki. Akibatnya, perekonomian kedua negara itu merana.Penduduk di kedua belah pihak terkucil, terisolasi, semakin miskin.

Tentara Rusia mengawal wilayah Armenia di perbatasan dengan Turki sebagai bagian dari pakta pertahanan bersama.Beginilah cara Moskow mempertahankan pengaruhnya di wilayah yang strategis. Pemandangannya ganjil: Lilitan kawat berduri Armenia, menara pengawas Rusia, dan pos pemeriksaan yang menghadap ke lapangan terbuka di Turki, yang tidak lagi menempatkan pasukan militer di wilayah  perbatasannya sejak beberapa tahun silam. Pasukan Rusia dan Armenia berjaga menghadapi para penggembala Turki.Para penggembala itu melambaikan tangan.

“Saya selalu membiarkan tungku di dapur tetap menyala,” kata Vahandukht Vardanyan, wanita Armenia berpipi merah yang peternakannya ada di seberang kawat berduri dari Ani. “Saya ingin menunjukkan pada orang-orang Turki bahwa kami masih berada di sini.”

Saya mendaki ke tempat tinggi.Dari situ tampak peziarah Armenia turun dari bus. Wisatawan ini datang untuk menatap dengan pandangan rindu ke seberang pagar, ke ibu kota kuno negaranya di Anatolia. Saya juga memandang ke situ.Saya bisa melihat dengan persis tempat saya berdiri beberapa bulan yang lalu di Turki.Hantu masa lalu diri saya kini merambah reruntuhan itu.Hal yang memisahkan kita sebenarnya adalah perasaan kesepian yang amat mendalam.