Romel Ponciano adalah salah satu dari beberapa orang Yine dari desa-desa semacam Diamante yang bekerja untuk Kementrian Kebudayaan Peru dalam upaya membangun hubungan dengan kerabat mereka yang terisolasi. Dia dan rekan-rekannya bertugas di sebuah pos di Alto Madre de Dios, di seberang sungai tempat sekelompok Mashco-Piro kerap menampakkan diri.
Romel kesulitan menjalankan niatnya untuk membuat kontak dengan kelompok terisolasi itu. Mereka memintanya untuk menembakkan anak panah dan membuka baju. Mereka memeriksa mata dan mulutnya, mengendus-endus ketiaknya, meraba testikelnya—hanya untuk memastikan bahwa dia benar-benar saudara mereka. Romel butuh waktu untuk menyukai mereka—mereka menjulukinya Yotlu, yang berarti “berang-berang sungai kecil”—namun dia tidak pernah mengabaikan mereka. “Mungkin lima atau sepuluh tahun lagi mereka akan menjadi beradab seperti kami,” katanya. “Mereka masih akan tetap membawa panah untuk berburu, tetapi tidak untuk membunuh. Mereka membunuh karena takut.”
Para dokter yang pernah memeriksa orang-orang Mashco-Piro mengungkapkan bahwa sejauh ini keadaan terisolasi menjadikan mereka lebih sehat daripada penduduk asli yang telah menetap, yang berjuang melawan penyakit bawaan para pendatang, yaitu infeksi pernapasan yang membuat mereka terserang batuk dan bakteri dental yang menyebabkan gigi mereka tanggal. Tetapi keterpencilan juga mengakibatkan orang-orang Mascho-Piro hanya sedikit atau sama sekali tidak memiliki imunitas, sehingga penyakit yang disebabkan virus seperti campak dan demam kuning bisa dengan mudah merenggut nyawa mereka.
Ketika kami menikung bersama aliran sungai menuju Nomole, sekilas saya melihat sosok-sosok yang bergerak di pinggir sungai. Mereka menyalakan api, dan asap putih membubung. Demi keselamatan kami dan mereka, untuk melindungi mereka dari penyakit, kami tidak mencoba membuat kontak.
Di bawah bentang langit biru, dikelilingi oleh hutan rimba yang seakan tak berujung. Saya harus mengingatkan diri saya bahwa mereka se-sungguhnya pengungsi dari pembantaian. Trauma hingga generasi kelima dan keenam akibat demam karet, hidup sebagai pemburu-peramu sementara leluhur mereka bertani, mereka bukannya sama sekali tidak tersentuh. Mereka telah banyak tersentuh peradaban pada 1890-an.
Demam karet yang berdampak merusak segera diikuti demam berbagai sumber daya alam lainnya. Kayu, emas, gas alam—semuanya diangkut keluar dari hutan oleh warga setempat, yang dibayar murah. Manú tetap menjadi perkecualian hijau di ranah ekstraksi ini.
Tepat di luar batas barat laut taman nasional, terdapat jalur pipa gas dari ladang kaya Camisea, yang memproduksi hingga 34 juta meter kubik gas alam per hari dan berkontribusi besar bagi ekonomi Peru. Eksplorasi di wilayah tenggara yang baru-baru ini dilakukan dapat menggoda Peru untuk menyalurkan pipa melewati taman nasional dan menghubungkannya dengan jalur Camisea. Sebagian besar pengamat sependapat bahwa lokasi yang terpencil adalah pertahanan terbaik Manú. “Tempat ini dilindungi oleh kesulitan untuk mengaksesnya,” kata Ron Swaisgood, direktur saintifik Cocha Cashu. Tetapi, “penambangan emas dan minyak bumi mulai merusak area-area di sekitarnya. Sebagian kerusakan ini bisa berdampak buruk pada taman nasional.”
Jalan raya akan menambah kerusakan hutan, dan gubernur wilayah Madre de Dios, Luis Otsuka, tengah menggalakkan pembangunan jalan raya di sepanjang Alto Madre de Dios hingga Boca Manú. Desa Diamante terletak di sepanjang bakal jalan raya. Para penduduknya sangat bersemangat menyambut proyek ini, bahkan rela bekerja keras untuk mewujudkannya.
Ketika kami melewati Diamante dalam perjalanan keluar dari taman nasional, desa itu tampak sunyi. Rumah-rumah bercat cerah bergerombol di sepanjang sungai. Kami menemukan satu toko yang buka dan membeli bir, minuman dingin pertama kami sejak berminggu-minggu silam. Menjelang sore, para pria berbondong-bondong pulang ke desa, masing-masing memegang parang, punggung mereka basah oleh peluh. Di antara mereka terdapat kepala desa Edgar Morales. Dia menyampaikan bahwa para pria itu baru saja membuka jalan setapak bagi para petugas survei dari pemerintah agar mereka bisa mengumpulkan data yang diperlukan untuk mendapatkan persetujuan pembangunan jalan.
Warga Diamante, Morales menjelaskan, bertani pisang dan mengangkut panenannya dengan perahu untuk dijual di Boca Manú. Tetapi mereka tahu bahwa mereka bisa mendapatkan harga lebih tinggi di Cusco, dan secara umum mereka merasa ditipu. “Anak-anak kami yang bekerja keras menebang pohon tidak mendapatkan apa-apa,” kata Morales. “Kami memiliki lahan datar yang bagus di sini, dengan tanah berhumus yang subur. Kami bisa menanam pisang, pepaya, nanas, dan yucca untuk dijual di Cusco. Tak lama lagi, orang-orang di sini akan memiliki mobil sendiri. Sudah banyak yang memperingatkan kami bahwa orang-orang jahat akan datang dan merebut tanah kami, tapi ada 800 orang yang hidup di sini. Kami bisa membela diri kami sendiri.”
Kementerian Lingkungan Hidup Peru, yang mengelola taman nasional, beserta sebagian besar penduduk asli wilayah itu menentang pembangunan jalan, menurut direktur taman nasional John Florez. “Para kolonislah yang menuntut pembangunan jalan,” ujarnya. “Diamante adalah satu-satunya komunitas penduduk asli yang meminta jalan.”
Mauro Metaki, guru lulusan sekolah misi-onaris di Tayakome, menentang pembangun-an jalan dan frustrasi karena sebagian orang di komunitasnya mendukung. “Gubernur berbohong,” ujarnya. “Orang-orang itu bodoh karena memercayainya. Dia membuat mereka semua gembira dengan janji-janjinya tentang jalan raya yang akan menguntungkan mereka. Jalan itu akan menguntungkan dia dan teman-teman kulit putihnya, yang akan masuk hutan dan meng-ambil kayu, binatang, dan emas.”