Dunia Lain di Peru

By , Rabu, 25 Mei 2016 | 00:00 WIB

John Terborgh, pakar ekologi dari Duke, telah bertahun-tahun menyampaikan harapannya agar orang-orang Matsigenka mau meninggalkan taman nasional—secara suka rela, dia menekankan—demi melestarikan alam liar dan kesempatan untuk memperbaiki ekonomi. “Apakah perlu ada permukiman permanen di dalam taman nasional?” tanyanya. “Tidak.”

Sebagian kaum muda Matsigenka mulai merantau, atau setidaknya berbolak-balik; sekolah lanjutan di dalam taman nasional ini terbatas. Samuel Shumarapague Mameria, mantan kepala suku Yomibato, berpendapat bahwa para pemuda yang merantau berubah. “Ketika mereka pulang kemari, mereka meneteskan getah tumbuhan ke mata dan makan piri-piri,” katanya. “Di hilir, mereka makan nasi dan bawang, dan kehilangan keahlian berburu. Kepala mereka dipenuhi buku dan pelajaran.” Sama halnya dengan para pemudi, ungkapnya, “setelah pulang dari perantauan di hilir, mereka menjadi terlalu malas untuk memintal kapas. Jiwa mereka hanya ingin membaca dan menulis. Jiwa dan raga mereka dipenuhi kertas.”

Sebagian pemuda yang merantau ke hilir menetap di sana, menjadi penebang kayu atau pekerjaan lain. “Banyak lelaki muda yang merantau untuk bekerja, meninggalkan istri dan anak-anak mereka, dan membentuk keluarga baru di luar,” kata ahli biologi Rob Williams.

Gambaran Matsigenka mengenai Manú, sebagaimana gambaran mereka tentang alam, mencakup diri mereka sendiri. Mereka memburu monyet, juga jaguar. Berbagai tumbuhan dan binatang yang dipandang penting memiliki roh dan daya, seperti manusia, dan tidak ada batasan yang jelas di antara mereka. Di Yomibato, saya mendengar cerita tentang seorang pria tua baik hati yang menjelma sebagai jaguar dan membunuhi ayam dan anjing. Akhirnya jaguar itu dipanah tepat di jantung dan dibakar agar rohnya tidak kembali lagi.

Orang-orang Matsigenka dan penduduk asli lainnya di dalam taman nasional tidak sekadar pemburu; secara de facto mereka adalah penjaga hutan bersenjata. Seandainya semua orang yang tinggal di dalam Manú merantau untuk mengejar pendidikan dan pekerjaan berupah, Shepard berpendapat, suku-suku lain akan masuk—dan mereka mungkin tidak akan mematuhi larangan penggunaan senjata api dan ekstraksi sumber daya alam komersial.

Saat ini Matsigenka bertindak sebagai sistem peringatan terpadu. Dengan permukiman di sepanjang sungai-sungai utama taman nasional, setiap penebang, penambang, atau petani coca yang bergerak ke dalam kawasan itu akan terlihat. Dengan panah mematikan, mereka—bersama Mashco-Piro—menjadi pengadang.

Dan, selama Matsigenka tidak menggunakan senjata api, menurut Shepard, kegiatan perburuan mereka tidak berbahaya. Mereka juga menemukan bahwa sekalipun populasi Matsigenka tumbuh pesat selama 50 tahun mendatang, kekurangan monyet laba-laba tidak akan mencapai 10 persen dari keseluruhan taman nasional—kecuali jika para pemburu menggunakan senjata api. Dengan senjata api mereka akan menyapu bersih hutan dari monyet hanya dengan berjalan kaki selama satu atau dua hari dari desa mereka.

Setelah lima jam berburu, Elias dan keluarganya masih mengamati pucuk-pucuk pepohonan, mencari monyet. Ketika menyusuri sebuah gigir, Elias menunjuk noda basah bekas kencing jaguar. “Itu baru,” katanya.

Tiba-tiba hutan seolah-olah meledak dengan jeritan ngeri. Sekawanan monyet bulu wol yang tidak terlihat oleh kami, hanya beberapa meter di bawah gigir, membunyikan alarm jaguar. Ku-cing besar itu berada di dekat kami. Saya terpaku dan merasakan siraman adrenalin. Elias dengan tenang duduk di sebatang kayu dan merogoh tas jaringnya. Dia mengeluarkan beberapa akar piri-piri dan mengunyahnya.

Setelah mendapatkan khasiatnya, dia menerjang semak-semak lebat. Dia berencana mendapatkan seekor monyet bulu wol dan juga seekor jaguar, jika bisa. Jaguar tidak hanya bersaing dengan orang Matsigenka dalam perburuan monyet; mereka juga memangsa anak-anak.

Sesaat kemudian hujan turun. Air tercurah dari langit dengan sangat deras.  Beberapa menit kemudian Elias muncul dengan tangan kosong.

Di rumah, tidak ada daging monyet yang bisa diserahkannya kepada sang istri. Namun, ada seekor bayi monyet laba-laba tengah menghangatkan diri di dekat perapian. Orang Matsigenka gemar menjinakkan binatang hutan untuk dijadi-kan peliharaan. Monyet laba-laba yang berhasil mereka bunuh biasanya betina yang lamban akibat membawa bayi, dan mereka membawa bayi terlantar itu pulang. Setelah monyet-monyet itu besar, mereka dilepaskan kembali di hutan. Bayi monyet ini basah kuyup, seperti kami semua. Kami menghangatkan diri di dekat perapian bersamanya. Asap membubung ke atas pucuk-pucuk pohon pepaya dan melintasi Yomibato, memayungi hutan.