Pada 1992 Cameron Todd Willingham dituduh membakar rumahnya sendiri di Corsicana, Texas, yang menewaskan tiga putrinya yang masih kecil. Para penyelidik kebakaran menafsirkan pola gosong di lantai rumah, serta kesan bahwa kebakaran dimulai di beberapa tempat, sebagai tanda bahwa api itu disulut dengan bensin secara disengaja. Pada 2011 negara bagian Texas menemukan bahwa penafsiran bukti dalam kasus ini salah besar. Tetapi, sudah terlambat bagi Willingham: Dia telah dihukum mati tujuh tahun sebelumnya.
Lalu, ada pengacara Oregon bernama Brandon Mayfield, yang ditangkap oleh FBI di kantor hukumnya pada Mei 2004. Mayfield ingat seorang agen mencacimakinya saat menangkapnya. Para agen tidak menjelaskan alasan penangkapan; untuk mengetahuinya, dia harus membaca surat perintah penangkapan dengan tangan terborgol di balik punggung.
Rupanya sidik jarinya muncul dalam penelusuran Sistem Identifikasi Sidik Jari Otomatis Terintegrasi (IAFIS, Integrated Automated Fingerprint Identification System), dan dua pemeriksa sidik jari FBI menganggapnya cocok dengan sidik jari yang ditemukan dalam pengeboman teroris di Madrid, yang menewaskan 191 orang. Namun, pihak berwenang Spanyol tidak sependapat. Dua minggu setelah penangkapan Mayfield, mereka mengabari bahwa mereka juga menemukan orang yang cocok dengan sidik jari itu—lelaki Aljazair, masih buron, kini dianggap sebagai salah satu perencana utama serangan itu.
Kesamaan di antara semua kisah ini adalah ketergantungan pada metode dan penafsiran yang sebenarnya lebih melibatkan keahlian daripada ilmu. Ketepatan analisis rambut, misalnya, terlalu dilebih-lebihkan. FBI mengakui bahwa para analisnya pernah menyampaikan pernyataan keliru dalam lebih dari 90 persen kasus perbandingan rambut mikroskopis yang dikajinya.!break!
Bukti kebakaran juga kini dipertanyakan. Selama bertahun-tahun penyelidik kebakaran menelaah pola di jendela tempat terjadinya kebakaran untuk memeriksa apakah jendela itu retak dengan cara yang khas. Mereka mencari apakah kosen pintu logam meleleh, atau lantai beton terlepas akibat panas, fenomena yang disebut pengelupasan (spalling). Jika suhu cukup tinggi untuk menyebabkan kerusakan seperti itu, kenyataan itu dipandang sebagai bukti bahwa zat seperti bensin digunakan untuk menyulut api. Tetapi, menurut penyelidik kebakaran John Lentini, salah seorang penulis laporan tentang kasus Willingham, asumsi seperti itu sudah usang.
“Menurut teori, setelah waktu singkat, kebakaran yang dimulai dengan bensin memancarkan panas jauh lebih besar daripada api yang hanya membakar kayu,” kata Lentini. “Jadi, suhu apinya pasti lebih tinggi, bukan? Salah!” Penelitian menunjukkan bahwa pengaruh ventilasi pada panas dan kecepatan kobaran jauh lebih besar daripada zat yang memulai kebakaran. Kaca retak seribu, beton terkelupas, dan logam meleleh—dalam pengujian dengan ruangan terbakar, semuanya dapat terjadi tanpa bensin, jika ventilasi dan faktor-faktor lain sesuai.
Keterandalan bukti sidik jari pun dipertanyakan. Meskipun komputer cukup mampu mencocokkan sidik jari cap tinta standar atau pindai elektronis melalui pencarian basis data, komputer masih belum menandingi mata manusia dalam mencocokkan sidik jari dari TKP dengan sidik jari tersangka. Dan karena sidik jari dari TKP biasanya terdistorsi atau ternoda, kecocokan tergantung pada pertimbangan pakar yang, seterampil apa pun, sebenarnya menyampaikan pendapat subjektif. Suatu kajian menemukan bahwa pemeriksa kadang menghasilkan kesimpulan berbeda tentang sidik jari yang sama jika diberi tahu bahwa sidik itu berasal dari tersangka yang sudah mengakui kejahatannya atau sudah ditangkap. Dalam kasus Brandon Mayfield, laporan federal mengungkapkan bahwa para analis itu meyakinkan diri bahwa sidik jari itu mirip, padahal sebenarnya tidak.
Pada 2009 National Academy of Sciences menerbitkan laporan pedas yang mempertanyakan keabsahan ilmiah analisis sidik jari, tanda gigitan, pola darah, serat pakaian, tulisan tangan, tanda pada peluru, dan banyak metode dasar lain dalam penyelidikan forensik. Laporan itu menyimpulkan bahwa, kecuali satu, tidak ada metode forensik yang dapat diandalkan dengan tingkat keyakinan tinggi untuk “menunjukkan hubungan antara bukti dengan orang atau sumber tertentu.”
Bukan kebetulan, satu-satunya metodologi forensik yang dinilai andal dalam laporan NAS bukan dikembangkan oleh penegak hukum untuk membantu penyelidikan kejahatan, melainkan oleh ilmuwan yang bekerja di laboratorium akademis. Pada 1984 ahli genetika Inggris bernama Alec Jeffreys secara tak sengaja menemukan kebenaran yang mengejutkan: Dia dapat membedakan orang-orang dalam percobaannya semata-mata melalui pola dalam DNA—kode genetis yang diwarisi dari orang tua—yang telah dipotong-potong.
Penemuan Jeffreys merupakan dasar bagi uji DNA generasi pertama. Tiga tahun kemudian lab Jeffreys memproses DNA dari tersangka berusia 17 tahun dalam kasus pemerkosaan dan pembunuhan dua gadis remaja di Inggris tengah, dan melihat bahwa sampel itu tidak cocok dengan DNA dari air mani yang ditemukan pada korban. (Pembunuh sebenarnya belakangan mengaku, setelah mencoba menghindari pengujian DNA terhadap sekelompok lelaki di wilayah itu.)
Tak lama kemudian, berbagai uji lain yang lebih sensitif pun digunakan, dan pada 1997 FBI sudah menggunakan uji yang memeriksa 13 tempat pada genom, tempat yang sering menampakkan pengulangan kode DNA. Peluang ada dua orang yang tidak berkerabat memiliki 13 pola yang sama adalah satu banding setidaknya ratusan miliar. Pola inilah yang kemudian mendasari basis data CODIS yang dimiliki FBI.
Pada 1990-an pengujian profil DNA sudah digunakan secara luas di kasus pengadilan di seluruh dunia—di Amerika Serikat, paling terkenal dalam pengadilan O. J. Simpson untuk kasus pembunuhan.